NovelToon NovelToon
Miranda "Cinta Perempuan Gila"

Miranda "Cinta Perempuan Gila"

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Romansa / Mantan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Nanie Famuzi

Cerita ini adalah lanjutan dari The Secret Miranda


Aku hanya perempuan yang dipenuhi oleh 1001 kekurangan. Perempuan yang diselimuti dengan banyak kegagalan.

Hidupku tidak seberuntung wanita lain,yang selalu beruntung dalam hal apapun. Betapa menyedihkannya aku, sampai aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli apalagi menyayangi ku . Jika ada rasanya mustahil. .

Sepuluh tahun aku menjadi pasien rumah sakit jiwa, aku merasa terpuruk dan berada di titik paling bawah.

Hingga aku bertemu seseorang yang mengulurkan tangannya, mendekat. Memberiku secercah harapan jika perempuan gila seperti ku masih bisa dicintai. Masih bisa merasakan cinta .

Meski hanya rasa kasihan, aku ucapkan terimakasih karena telah mencintai ku. Miranda.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanie Famuzi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 26

Sat ini, Jodi menatap layar komputer di depannya. Data medis Miranda terbuka, grafik EEG dan catatan hasil observasi harian berserakan di meja. Ada yang tidak sesuai, pola lupa Miranda terlalu acak, tidak konsisten seperti penderita amnesia traumatik biasa.

“Ini aneh…” gumamnya pelan sambil mengetik beberapa catatan tambahan.

Biasanya, pasien dengan trauma kepala atau tekanan psikis berat hanya mengalami selective amnesia, lupa pada kejadian tertentu yang memicu rasa sakit atau ketakutan. Tapi Miranda berbeda. Ia bisa berbicara lancar, memahami konteks, bahkan berinteraksi secara emosional… lalu lima menit kemudian, melupakan semuanya seolah tak pernah terjadi.

Jodi menggigit ujung pulpen, matanya menelusuri laporan EEG yang menunjukkan gelombang otak tidak stabil pada area hippocampus, bagian otak yang berperan menyimpan memori jangka pendek.

Namun yang membuatnya merinding, gelombang itu bukan hanya melemah… melainkan fluktuatif, seakan ada sesuatu yang “mengatur ulang” memori Miranda secara berulang.

“Bukan cuma trauma… ini seperti ada intervensi,” pikir Jodi.

Bisa karena obat penenang dosis tinggi yang diberikan terlalu sering… atau lebih buruk lagi, seseorang memang sengaja memanipulasi kondisi mental Miranda agar terlihat gila.

Ia mengusap wajahnya, napasnya berat.

“Siapa yang akan mendapat keuntungan kalau Miranda tetap kehilangan ingatannya?”

Jodi menarik napas panjang, matanya menatap kosong ke layar komputer yang menampilkan riwayat pengobatan Miranda.

“Masalahnya,” gumamnya lirih, “tidak ada satu pun pihak rumah sakit yang mengetahui di mana keluarganya. Tidak ada data, tidak ada kontak darurat, bahkan catatan asal-usulnya pun kabur.”

Ia membuka rekam medis lama Miranda, awal Miranda dirawat. Ada daftar obat penenang, stabilizer emosi, dan beberapa jenis antipsikotik dengan dosis yang berubah-ubah tanpa keterangan dokter penanggung jawab yang jelas.

Dahi Jodi berkerut.

“Ini… tidak masuk akal. Kenapa dosisnya bisa berubah seperti ini tanpa catatan evaluasi?”

Ia menelusuri lebih jauh. Beberapa nama obat membuatnya tercekat. Salah satunya adalah Scopolamine, senyawa yang dalam dosis tertentu bisa menekan fungsi hippocampus, area otak penyimpan memori jangka pendek.

Obat itu jarang digunakan kecuali dalam kondisi tertentu… atau untuk membuat seseorang kehilangan kendali terhadap ingatannya.

Napas Jodi tertahan.

“Jadi… ada seseorang yang sengaja membuat Miranda melupakan segalanya?”

Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap langit-langit ruangan dengan pandangan kosong.

Miranda bukan hanya pasien dengan trauma mental. Mungkin… dia adalah korban dari sesuatu yang lebih gelap.

Dan yang paling mengganggu pikirannya, kenapa dalam setiap sesi terapi, Miranda selalu menyebut satu nama yang sama, seolah itu satu-satunya kebenaran yang ia miliki, Gala.

“Apa dia benar-benar suaminya? Atau hanya nama yang ditanamkan dalam pikirannya… lewat obat, atau sesuatu yang lebih kejam dari itu?”

Jodi terus menelusuri rekam medis Miranda, lembar demi lembar, hingga akhirnya tiba pada catatan dari tahun kelima perawatan. Di sana, sebuah nama muncul di kolom dokter penanggung jawab:

dr. Reza Gunawan, Sp.Kj.

Alis Jodi langsung berkerut. Nama itu terasa familiar, samar-samar ia pernah mendengarnya. Ia menatap layar lama, mencoba mengingat.

“Reza Gunawan…” gumamnya pelan, “psikiater senior, kalau tidak salah, dia meninggal beberapa tahun lalu.”

Jodi menggulirkan data lebih jauh. Benar saja, catatan medis menunjukkan bahwa dr. Reza hanya menangani Miranda selama satu tahun sebelum statusnya dinyatakan non-aktif karena meninggal dunia secara mendadak. Setelah itu, tak ada dokter pengganti selama hampir dua tahun penuh.

“Dua tahun kosong…” Jodi berbisik lirih, “tidak ada laporan pemeriksaan rutin, tidak ada evaluasi, tapi obatnya tetap diberikan?”

Matanya menatap tajam ke layar.

Lalu sebuah kesadaran perlahan menyelinap ke benaknya,

di tahun ketujuh, tepat setelah kekosongan itu, dirinyalah yang mulai menangani Miranda.

Tangannya mengepal.

“Jadi selama dua tahun tidak ada dokter, tapi Miranda terus diberi obat penenang, antipsikotik, bahkan scopolamine dalam dosis rendah.”

Ia menghela napas berat, dadanya terasa sesak.

“Siapa yang melanjutkan resep itu? Dan… atas dasar apa?”

Kursinya berderit ketika Jodi bersandar, menatap langit-langit ruangan dengan tatapan kosong yang kini mulai berubah jadi rasa curiga.

“dr. Reza meninggal… dua tahun tanpa pengawasan… lalu aku datang, dan Miranda sudah kehilangan sebagian besar ingatannya. Semua ini… terlalu kebetulan.”

“Hmm... Kenapa aku baru menyadarinya sekarang…” gumam Jodi lirih, suaranya nyaris tenggelam di antara desau pendingin ruangan.

Ia menatap layar di depannya, matanya tak berkedip. Jantungnya berdetak tak beraturan.

Semua data itu selama ini ada di hadapannya, tapi entah kenapa, baru malam ini pikirannya mampu merangkainya jadi satu.

Setiap catatan, setiap tanda tangan, setiap tanggal… seperti potongan puzzle yang baru saja menemukan bentuknya.

Ia menunduk, mengusap wajahnya dengan kedua tangan.

“Tuhan… bagaimana bisa aku luput selama ini?”

Nada suaranya berat, setengah marah pada dirinya sendiri.

Di dadanya, muncul perasaan bersalah yang sulit dijelaskan, karena mungkin selama ini, tanpa sadar, ia ikut menjadi bagian dari kesalahan besar itu.

......................

Sementara itu, di rumah orang tua Alin.

Pintu kamar membanting keras hingga menimbulkan gema di seluruh rumah. Suara benda-benda berjatuhan menyusul setelahnya, vas bunga pecah, bingkai foto terhempas, bantal beterbangan ke lantai.

Alin berdiri di tengah kekacauan itu, napasnya memburu, matanya memerah. Tubuhnya gemetar oleh amarah yang tak lagi bisa ia kendalikan.

“Aaaarrrgh!! Mas Jodi!!” teriaknya, suaranya pecah di antara isak dan amukan. “Kenapa kamu gak datang?! Kenapa selalu kamu yang bikin aku menunggu!”

Tangannya menepis meja rias hingga semua pernak-pernik jatuh berserakan. Ia menunduk, rambutnya berantakan menutupi wajah.

Satu helai foto Jodi yang jatuh ke lantai membuatnya terdiam sesaat.

Alin menatap foto itu dengan tatapan kabur oleh air mata. “Kamu bilang mau jemput aku… kamu janji, Mas…” suaranya melemah, bergetar. “Apa janji kamu sekarang cuma tinggal kata-kata?”

Ia tersungkur di lantai, memeluk lututnya sendiri. Di antara tangis dan amarah, yang tersisa hanya satu hal, rasa takut kehilangan kendali atas seseorang yang ia cintai terlalu dalam.

Dari ruang kerja, Pak Armand yang tengah menyelesaikan pekerjaannya sontak menegakkan tubuhnya. Dahi pria paruh baya itu mengerut, mendengar suara kaca pecah disusul jeritan.

“Alin?” panggilnya, suaranya berat namun tenang. Tak ada jawaban, hanya suara benda terhempas lagi.

Dengan langkah cepat, ia menuju kamar putrinya.

Begitu pintu didorong terbuka, pemandangan di depan matanya membuatnya tertegun. Kamar itu berantakan, tirai terlepas, vas bunga pecah, dan Alin duduk di lantai, bahunya naik turun, wajahnya basah oleh air mata.

“Alin!” seru Pak Armand, mendekat, menunduk di hadapan putrinya. “Kamu kenapa, Nak?”

Alin mendongak perlahan. Tatapannya liar, marah, dan penuh kekecewaan.

“Mas Jodi, Pa… Mas Jodi gak datang!” suaranya serak, nyaris terisak. “Dia janji mau jemput aku, tapi sampai sekarang dia gak datang juga! Selalu begitu, Pa! Selalu!”

Pak Armand menatapnya lama. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri sebelum bicara.

“Alin…” suaranya rendah tapi tegas. “Berhenti menyiksa diri kamu seperti ini. Kalau dia tidak datang, bukan berarti dunia runtuh.”

Namun Alin justru tertawa kecil, getir, dingin, seperti seseorang yang kehilangan kendali atas logikanya sendiri.

“Papa gak ngerti…” katanya pelan. “Aku cuma ingin dia menepati janjinya. Aku cuma ingin dia milikku, seutuhnya. Apa itu salah?”

Pak Armand terdiam. “Alin…” suaranya nyaris serak, seperti menahan sesuatu yang berat di dadanya. “Dengar, Nak… kamu nggak salah. Apa pun yang terjadi, jangan pernah merasa sendirian.”

Ia meraih tangan Alin, menggenggamnya erat.

“Kamu punya Papa di sini,” lanjutnya dengan nada penuh ketegasan namun hangat. “Selama Papa masih berdiri, nggak akan ada satu pun yang bisa nyakitin kamu. Papa janji.”

Alin mengangguk pelan, matanya masih basah.

Pak Armand mengusap lembut kepala putrinya, suaranya menurun menjadi hangat dan tenang.

“Kamu tahu kan, sayang… sedari dulu, apa pun yang kamu mau, selalu Papa usahakan. Selalu.”

Ia menarik napas dalam, menatap wajah Alin yang murung.

“Jadi, sudah ya… jangan nangis lagi, jangan marah terus. Semua itu cuma bikin kamu capek sendiri.”

Jemarinya menyeka air mata di pipi Alin dengan lembut.

“Papa cuma mau lihat kamu bahagia. Itu saja, Alin… cuma itu.

Alin mengangkat wajahnya perlahan, sudut bibirnya tertarik membentuk senyum tipis, dingin, nyaris tanpa perasaan.

“Iya…” suaranya rendah, hampir seperti bisikan yang menyimpan bara, “aku punya Papa yang selalu mewujudkan semua keinginanku.”

Ia menatap kosong ke arah cermin, bayangan dirinya memantul samar di sana.

“Apapun itu…” lanjutnya pelan, namun tegas, “termasuk hal yang mustahil sekalipun.”

Senyum di bibirnya melebar sedikit, tajam.

“Seperti… melenyapkan seseorang, misalnya.”

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

1
partini
kalau berjodoh ma dokternya kasihan jg Miranda lah dokter suka lobang doang nafsu doang
Nunna Nannie: 🙏🙏
Terimakasih sudah mampir,
total 1 replies
Aal
bagus... saya suka ceritanya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!