Gimana jadinya gadis bebas masuk ke pesantren?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelatih Beladiri
...BAB 26...
...PELATIH BELADIRI...
Pagi itu, Pesantren milik Kiyai Hasyim mendadak geger. Bukan karena masalah serius, tapi karena kedatangan seorang pelatih beladiri yang bikin para santri histeris, terutama santri putri. Posturnya tinggi, badan atletis, wajah bersih, senyumnya ramah, mirip aktor drama silat korea versi lokal. Devan, Balwa dan Balwi auto langsung absurd.
“Bro, liat deh tot gue... udah lumayan kan?” seru Devan sambil nekat buka lengan bajunya yang ternyata masih putih polos.
“Mana ototnya?! Itu sih masih otot kelas puasa!” timpal Balwa sambil tertawa ngakak.
“Gue udah curiga, ni pelatih pasti rajin minum jamu tolak angin sama push up sambil bawa galon!” sambung Balwi tengil.
Semua santri dikumpulkan di lapangan. Pelatih muda itu berdiri di depan, bersiap memperkenalkan diri. Tiba-tiba Arabella melangkah masuk lapangan, santai seperti biasa. Tapi begitu melihat siapa pelatihnya, langkahnya langsung berhenti. Matanya membelalak.
“Hah? Erlan?!”
Ya... dia adalah Erlan Erlangga, adik tingkat Arabella saat mereka masih aktif di pedepokan silat dulu. Anak baru yang dulu sering kena jahilan Arabella, dari disuruh lari muterin lapangan sepuluh kali, disuruh sparing sambil tutup mata, sampai disuruh push up gara-gara salah panggil ‘Kak’.
Dan kini... seorang Erlan Erlangga tengah berdiri gagah, siap melatih Arabella dan para santri. Erlan sendiri pun kaget setengah mati. Matanya nyaris keluar begitu melihat Arabella datang. Dia langsung berbisik dalam hati,
“Mati gue! Kak Arabella... si Pelatih Barbar itu ada disini! Kenapa takdir jahat banget sama gue?!”
Tapi Arabella dengan ekspresi cool pura-pura jalan santai, nyapa seadanya ke para santri, lalu dengan ekspresi datar jalan melewati Erlan tanpa sapa. Erlan pun memicingkan mata.
“Dia pura-pura nggak kenal? Duh... jangan bilang dia lagi nyusun rencana jailnya lagi?!”
Devan berbisik ke Balwa dan Balwi, “Eh, kok kayaknya pelatih baru itu takut sama si Bella, ya?”
“Mungkin dia udah pernah di tendang si Bella dulunya, siapa tau dia masih trauma?” timpal Balwa.
“Bisa jadi mereka saling kenal dulunya,” ucap Balwi.
Santri-santri makin penasaran, apalagi melihat Arabella yang biasanya bawel, sekarang jadi diam tapi terlihat dari matanya yang menyala-nyala tiap ngelirik pelatih baru. Kayaknya... sesi latihan kali ini bakal seru.
Sesi latihan dimulai dengan serius. Erlan, si pelatih baru yang kelihatannya gagah dan percaya diri, memimpin pemanasan di tengah lapangan.
“Oke, santri semua... lengan kanan ke atas! Tarik napas dalam... hembuskan...” ucapnya, tapi matanya menatap ke arah barisan santri putri, tepatnya ke satu titik, ya Arabella... keringat dingin mulai muncul.
Karena Arabella tidak hanya ikut gerakan, tapi.. dia mulai mengendap-endap seperti sedang menyiapkan sesuatu. Arabella berpura-pura kikuk, salah-salah gerakan, hingga Erlan mendekat.
“Kak... eu... maksudnya Arabella,” gumam Erlan pelan,mencoba bersikap formal.
Arabella hanya menoleh dan tersenyum manis, lalu membisikan sesuatu dengan nada menggoda khasnya, “Masih inget gak waktu lo salah formasi jurus trus kelempar ke kolam lele?” lirih Arabella.
Erlan langsung melotot, mukanya pucat. “Astagfirullah... kenapa sih harus diungkit sekarang?” batin Erlan tersenyum canggung.
Para santri bingung, sementara Arabella balik ke posisinya, masih dengan senyum jail penuh kemenangan. Dari sisi lapangan, Ustad Izzan dan Ustad Azam berdiri menyimak. Wajah keduanya menegang. Izzan yang biasanya datar, kali ini matanya menatap tajam. Sementara Azzam diam-diam mengepalkan tangan, senyum ramahnya hilang entah ke mana. Ustad Jiyad si ceria, datang dengan gaya santainya sambil nyeruput teh dari cangkir plastik.
“Baru juga satu hari, pelatih itu masuk sini... Udah bisa bikin Arabella ketawa-ketawa, gimana kalau udah satu minggu? Satu bulan?” Ustad Jiyad langsung menatap tajam ke arah Izzan dan Azzam, sambil menahan tawa. “Kalian berdua sap-siap aja... saingan makin nyata!” celetuk Ustad Jiyad.
Izzan Cuma mendesah pelan, tapi matanya masih tajam mengarah ke Erlan dan Arabella. Sementara Azzam? Dia langsung jalan ke lapangan pura-pura bantu Erlan... tapi sambil pasang wajah serius.
“Boleh saya bantu contohin teknik berikutnya?” ucap Ustad Azzam.
Arabella yang melihat itu Cuma senyum simpul. Latihan teknik beladiri mulai terasa serius. Erlan dengan semangat memperagakan gerakan tangkisan dan kuncian. Semua santri mulai mengikuti arahan... kecuali satu, Arabella. Alih-alih fokus, Arabella malah asik ngobrol dengan preman-premannya yaitu Devan, Balwa dan Balwi.
Gurauan mereka bahkan terdengar sampai barisan depan.ustadzah Halimah, yang sedari tadi memperhatikan, akhirnya tak tahan.
“Arabella! Fokus latihan! Lomba tingal sebentar lagi. Kenapa kamu tidak perhatikan tekniknya?”
Arabella menoleh dengan wajah polos, sambil nyengir.
“Maaf, Ustadzah... tekniknya susah. Saya nggak bisa,”
Semua yang mengenal Arabella langsung menoleh heran, bahkan Erlan nyaris keselek napasnya sendiri. Erlan tau betul, Arabella bukan hanya bisa—tapi master di bidang beladiri. Untuk menghindari keanehan, Erlan cepat menyarankan agar latihan dilanjutkan dengan berpasangan. Ustad Azzam, dengan semangat membara dan harapan di dada, langsung angkat tangan.
“Kalau boleh... saya bantu Arabella latihan.” Ucapnya dengan wajah berbinar, dan dia yakin kalau Arabella akan menyetujuinya. Tapi...
“Terima kasih Ustad tawarannya,” ucap Arabella sambil berdiri, tapi ujung mata Arabella malah melirik tajam ke arah sudut lapangan, dengan tengilnya menatap Ustad Izzan yang sedang ngobrol santai dengan Ustad Jiyad dan Ustad Hamzah.
HIAAATT!!!
Dan tanpa aba-aba... Arabella langsung menyerang! Gerakannya cepat dan tiba-tiba dari Arabella membuat semua orang terkejut. Tapi Ustad Izzan yang refleksnya tinggi, mengimbangi serangannya dengan tenang. Benturan teknik dimulai.
Arabella menyerang dengan kombinasi pukulan rendah dan tendangan melingkar, Izzan menangkis dan balik menyerang dengan teknik kuncian ringan. Erlan berdiri terpaku.
“Itu... teknik ‘Sakura Biru’... dan yang ini... ‘Bulan Menurun’!” jelas Erlan pada para santri.
Seluruh santri putra putri menghentikan latihan, menonton duel seru di tengah lapangan. Ustad Azzam melongo.
“Hah... kalau saya yang jadi lawan, udah diguling dari tadi...” gumamnya pelan.
Sementara itu, di pojok lapangan, santri senior Maya, Erni, Ani, Heni, Herna menggosip sinis seperti biasanya.
“Pasti lagi caper tuh ke Ustad Izzan...” celetuk Heni.
“Gak bosen apa si Arabella tuh selalu cari perhatian terus?” Herna.
“Sok jual mahal, padahal Ustad Azzam sudah menawarkan diri,” tambah Maya menimpali.
Ustadzah Halimah dan Ustadzah Rahmah, yang diam-diam menyimpan rasa pada Ustad Izzan dan Ustad Azzam hanya bisa mendengus, pura-pura tidak perduli padahal hatinya terbakar.
Dan serangan terakhir dari Izzan berhasil menjatuhkan Arabella, dengan posisi awkward terjepit antara tanah dan bahu Izzan, semua mata melotot. Arabella membeku. Mukanya merah padam. Sementara Ustad Izzan hanya tersenyum tipis, berusaha bersikap netral, tapi matanya... jelas menyimpan rasa.
Dari kejauhan Kaisar menatap tajam. Tangannya mengepal, wajahnya tak bisa menyembunyikan cemburu. Uma Salma dan Kiyai Hasyim yang berdiri di sampingnya saling melirik. Uma mendesah pelan.
“MasyaAllah... ini kisah cinta anak muda atau jurus-jurus silat ya?” gumam Uma Salma.
Kiyai Hasyim hanya geleng-geleng, “Yang jatuh bukan Cuma badan... kayaknya perasaan juga mulai tumbang.”
Setelah pertarungan tak sengaja dengan Ustad Izzan yang membuat seisi lapangan heboh dan Kaisar cemburu, Arabella bangkit dengan wajah memerah. Bukan karena terluka, tapi karena malu setengah mati. Semua mata tertuju padanya, belum lagi posisi awkward tadi yang masih terbayang jelas di kepala.
Saat semua kembali sibuk, empat Ustadzah diam-diam mulai berkumpul di sudut aula santri putri. Ustadzah Halimah, Ustadzah Rahmah, Ustadzah Nadira dan Ustadzah Laila, saling bertukar tatapan penuh rasa... ya, cemburu.
“Nggak ngerti ya, kenapa dia bisa segampang itu dekat sama Izzan...” gumam Rahmah sambil menyesap teh hangat dengan kasar.
“Bukan Cuma Ustad Izzan, Ustad Azzam juga,” timpal Laila dengan nada tak suka. “Dan sekarang si pelatih Erlan pun kayaknya tunduk banget sama dia.”
Halimah yang biasanya kalem dan menjaga sikap, bahkan tidak bisa menahan komentarnya.
“Dari awal, saya sudah merasa dia terlalu bebas. Cara bicaranya, caranya bercanda dengan para santri putra...” tutur Ustadzah Halimah.
“Bisa-bisa nanti dia malah jadi Ustadzah favorit para ikhwan. Kita? Dilupakan.” Kesal Ustadzah Rahmah.
Mereka semua terbakar oleh rasa iri dan takut kehilangan perhatian. Sebab tidak bisa dipungkiri, Arabella memang memikat, bukan dengan niat pamer, tapi karena sikapnya yang apa adanya dan keunikan dalam dirinya.
Sementara itu, di kamar santri, Arabella baru selesai mandi dan bersiap ganti baju ketika Ustadzah Rahmah tiba-tiba masuk.
“Arabella, bisa bicara sebentar?”
Arabella yang masih menggulung kerudungnya, mengangguk sopan. “Tentu, Ustadzah. Ada apa?”
Ustadzah Rahmah tidak berbasa-basi. “Saya harap kamu bisa menjaga sikap, terutama saat di lapangan. Santri lain melihatmu, Arabella. Apalagi para ikhwan dan Ustad.”
Arabella memiringkan kepala, bingung. “Maksudnya?”
“Posisi kamu dengan Ustad Izzan tadi... sangat tidak pantas. Kamu bisa membuat banyak orang salah paham.” Ucap Ustadzah Rahmah lagi. Nada bicaranya memang halus, tapi terasa menusuk.
Arabella menatap lurus-lurus, menahan napas, lalu mengangguk. “Saya mengerti, Ustadzah. Tapi saya tidak berniat membuat siapa pun salah paham. Saya hanya... spontan, karena ingin ikut latihan. Dan saya tau Ustad Izzan kuat untuk jadi sparing partner.”
Rahmah hampir tersedak mendengar jawaban tenang dan percaya diri itu. Sebelum sempat membalas, Ustadzah Halimah ikut masuk.
“Kami hanya khawatir, Arabella. Jangan sampai auramu merusak fokus semua orang-orang...”
Arabella menunduk sopan, lalu berkata pelan tapi tegas. “Baik, Ustadzah. Tapi... bukan salah saya jika fokus orang lain goyah.”
Jawaban itu membuat udara hening. Rahmah menatap Arabella tajam, tapi tak bisa berkata-kata lagi. Setelah mereka keluar, Dina, Sari dan Elis langsung menyerbu masuk. Mereka sudah menguping dari luar.
“Ya Allah, Bell... kamu barusan ngomong kayak pemain drama loh!”
“Keren banget, sumpah! Tapi... agak nyelekit juga sih,” ucap Sari geli.
“Mereka cemburu, Bell. Itu sih keliatan jelas banget,” tambah Elis.
Arabella hanya tersenyum lelah, lalu mendesah. “Gue nggak minta disukai semua orang, tapi gue juga nggak bisa terus disalahin karena jadi diri sendiri...”
Malam hari setelah kejadian di lapangan, suasana pondok mulai tenang. Tapi di ruang guru santri putri, justru terjadi pertemuan diam-diam antara Ustadzah senior yaitu, Ustadzah Rahmah dan Ustadzah Halimah. Lampu redup, hanya secangkir teh yang mengepul di atas meja. Rahmah melipat tangan di depan dada, matanya tajam, penuh rencana.
“Kita tidak bisa terus membiarkan Arabella menjadi pusat perhatian seperti ini,” bisiknya pelan.
Halimah mengangguk. “Apalagi kalau sampai dia benar-benar dekat dengan Izzan atau Azzam. Mereka dua aset terbaik pondok ini. Kalau jadi milik Arabella, habis kita.”
Rahmah menyipitkan mata. “Kita harus buat orang-orang sadar... bahwa Arabella tidak sebaik kelihatannya.”
“Kamu mau menjatuhkannya?” tanya Halimah pelan.
Rahmah tersenyum miring. “Bukan menjatuhkan. Hanya... mengungkapkan sisi lain yang orang belum tau.”
Halimah terlihat ragu. “Tapi Arabella nggak pernah melakukan kesalahan besar. Bahkan Uma Salma selalu memujinya.”
Rahmah menyandarkan tubuhnya. “Kita hanya perlu membuat satu momen. Satu kejadian... yang menggeser pandangan orang tentang dia. Misalnya, kita buat dia terlihat terlalu dekat dengan para ikhwan. Atau... menyebar gosip kecil tentang kedekatannya dengan Kaisar, Erlan, Farhan...”
Halimah menelan ludah. “Kalau ketahuan, bisa-bisa kita yang dimarahi Kiyai.”
Rahmah tersenyum tenang. “Itu kenapa kita gak akan melakukannya langsung. Kita gunakan santri-santri yang iri. Maya, Heni, Ani, Herna... mereka cukup mudah dipengaruhi.”
Halimah akhirnya mengangguk setuju. “Baik, tapi harus rapih. Jangan sampai ada jejak.”
“Tentu.” Sahut Rahmah. “Arabella terlalu terang. Kita hanya perlu sedikit bayangan... dan dia akan mulai kehilangan sorotan.”
Dan tanpa mereka sadari, dari balik jendela ruang guru, seseorang diam-diam menyimak percakapan mereka. Sosok itu melangkah mundur, wajahnya gelisah.
“Astagfirullah... mereka benar-benar ingin menjatuhkan Arabella...”
Siapakah sosok misterius itu? Dan apakah rahasia licik Rahmah dan Halimah akan berjalan mulus?