NovelToon NovelToon
Bercerai Setelah Lima Tahun Pernikahan

Bercerai Setelah Lima Tahun Pernikahan

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Nagita Putri

Nathan memilih untuk menceraikan Elara, istrinya karena menyadari saat malam pertama mereka Elara tidak lagi suci.

Perempuan yang sangat ia cintai itu ternyata tidak menjaga kehormatannya, dan berakhir membuat Nathan menceraikan perempuan cantik itu. Namun bagi Elara ia tidak pernah tidur dengan siapapun, sampai akhirnya sebuah fakta terungkap.

Elara lupa dengan kejadian masa lalu yang membuatnya ditiduri oleh seorang pria, pertemuan itu terjadi ketika Elara sudah resmi bercerai dari Nathan. Pria terkenal kejam namun tampan itu mulai mengejar Elara dan terus menginginkan Elara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nagita Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22

****

Perlahan, ujung bibir Marvin melengkung. Senyum yang hangat tapi misterius muncul di wajahnya.

“Apakah kau merasa kalau kita pernah bertemu?” tanyanya balik dengan nada lembut, tapi entah mengapa pertanyaan itu membuat dada Elara bergetar aneh.

Elara mengerutkan alis, mencoba mencari jawaban.

“Saya tidak tahu. Mungkin hanya perasaan saja.” balas Elara akhirnya.

Marvin menatapnya beberapa detik lebih lama, lalu menunduk sejenak memperbaiki posisi Lucas di gendongannya.

“Perasaan tidak datang tanpa sebab, Elara,” ucapnya lirih.

Elara tersenyum kaku, tidak tahu harus menjawab apa.

“Mungkin saya hanya terlalu sering membaca novel, Tuan. Jadi suka membayangkan hal yang aneh-aneh.” ucap Elara.

Marvin tertawa kecil, tawa yang begitu jarang keluar dari pria itu.

“Novel, ya?” Ia menatap wajah Elara sebentar, kemudian menggeleng. “Kalau begitu, anggap saja ini salah satu adegan dalam novelmu.” ucap Marvin melanjutkan dengan senyum.

Elara ikut tersenyum kecil meski pipinya terasa memanas. Ia menunduk, lalu melangkah masuk ke lift lebih dulu.

“Silakan, Tuan,” katanya sopan.

Marvin menatap punggung Elara yang masuk ke dalam lift, lalu mengikutinya pelan.

Elara menunduk, jari-jarinya bermain di ujung tasnya. Tapi sesekali matanya mencuri pandang pada Marvin dan Lucas, pemandangan yang begitu menenangkan.

Pria tampan berjas hitam dengan garis wajah tegas dan mata tajam, tapi di lengannya ada bocah kecil yang tidur dengan wajah damai, seolah dunia ini tempat paling aman di dada Daddy nya itu.

Marvin menyadari tatapan itu, tapi tidak menegurnya. Ia hanya menatap ke depan sambil berbicara pelan.

“Lucas jarang sekali bisa tidur senyaman ini.” ucap Marvin.

Elara langsung mengangkat wajahnya.

“Benarkah?” tanya Elara menghilangkan rasa gugupnya.

“Ya,” Marvin menjawab sambil menunduk sedikit, memperhatikan Lucas.

“Dia keras kepala, sepertiku. Biasanya butuh waktu lama untuk membuatnya tidur, bahkan di kamarnya sekalipun.” ucap Marvin berharap Elara paham kalau Lucas merasa nyaman karena berada di dekat Elara.

Elara tersenyum.

“Mungkin karena hari ini dia bermain terlalu banyak.” balas Elara.

Jujur Marvin ingin menggeleng.

“Bisa jadi,” ucap Marvin pelan. “Atau mungkin karena ada seseorang yang membuatnya merasa aman.” lanjutnya.

Tatapannya berpindah pada Elara saat mengucapkannya, tapi Elara justru terdiam, wajahnya memerah tanpa tahu harus membalas apa.

Lift akhirnya berhenti di lantai bawah. Elara buru-buru keluar, berusaha menyembunyikan wajahnya yang bersemu.

“A-akan saya bantu bukakan pintu mobilnya, Tuan,” katanya gugup, melangkah cepat ke arah lobi.

Marvin berjalan pelan di belakangnya, langkahnya tenang tapi dalam hatinya bergemuruh.

'Apakah kau benar-benar tidak mengingat apa pun, Elara?' batinnya berkata dalam diam sambil menatap punggung wanita itu yang terlihat begitu akrab di matanya.

Begitu sampai di parkiran, Elara membuka pintu mobil Marvin dengan hati-hati, membiarkan sang atasan masuk lebih dulu.

Marvin menurunkan Lucas perlahan di kursi belakang, memastikan sabuk pengamannya terpasang sempurna.

Elara berdiri di samping, memperhatikan dengan senyum kecil.

“Dia tidur nyenyak sekali,” ucap Elara lembut.

Marvin melirik Elara sebentar, lalu tersenyum.

“Ya. Sama seperti Mommy nya.” balas Marvin.

Elara tertegun.

“Mommy nya Lucas?” tanya Elara.

“Ya,” jawab Marvin tenang sambil menutup pintu mobil.

“Dia juga dulu mudah sekali tertidur di dalam mobil.” balas Marvin.

Nada suaranya penuh nostalgia, tapi ada sesuatu di sana, luka, rindu, dan rahasia yang tidak Elara pahami.

Dalam perjalanan pulang, suasana di dalam mobil cukup tenang.

Elara duduk diam di samping Marvin, sementara Lucas masih terlelap di kursi belakang.

“Terima kasih sudah mengantar saya, Tuan,” ucap Elara pelan.

Marvin menoleh sedikit, satu tangan tetap di setir.

“Aku tidak keberatan. Lagipula rumahmu searah dengan jalanku.” balas Marvin.

Elara mengangguk kecil.

“Anda selalu punya alasan yang logis.” ucap Elara tersenyum.

Marvin ikut tersenyum tipis.

“Karena kalau kukatakan alasanku tidak logis, kau akan menolaknya, bukan?” balas Marvin lagi.

Elara tertawa kecil, ia menunduk.

“Mungkin benar, Tuan.” ucapnya.

Suasana hening lagi beberapa saat sebelum Marvin menambahkan dengan suara pelan.

“Kadang logika tidak cukup untuk menjelaskan kenapa seseorang merasa harus melakukan sesuatu.” ucap Marvin.

Elara menoleh, menatap wajah Marvin sekilas. Tapi Marvin tetap fokus pada jalan.

Sesampainya di depan rumah Elara, Marvin menghentikan mobil dan menoleh.

“Sudah sampai.” ucap Marvin.

Elara tersenyum dan mengangguk.

“Terima kasih, Tuan Marvin. Semoga Lucas tidak terbangun dalam perjalanan pulang nanti.” ucap Elara.

Marvin menatap Lucas sebentar, lalu menatap Elara lagi.

“Dia akan baik-baik saja. Tapi kau…”

Ia berhenti sejenak, menatap Elara dalam. “…jangan terlalu memikirkan pesan dari masa lalu, Elara.” lanjut Marvin ketika mengingat pesan dari Nathan yang masuk ke ponsel Elara.

Elara mengangguk pelan.

“Saya tidak akan, Tuan. Masa lalu tidak lagi berarti apa-apa.” balas Elara.

Marvin mengangguk, lalu tersenyum lagi.

“Kau cepat belajar.” ucap Marvin.

Ketika Elara hendak keluar dari mobil, Marvin sempat menahan dengan satu kalimat lagi, suaranya terdengar pelan.

“Elara, kalau suatu hari nanti kau mulai mengingat sesuatu tentang apapun, jangan takut untuk mengatakannya padaku.” ucap Marvin.

Elara membeku di tempatnya, jantungnya berdebar tak karuan. Ia menatap Marvin dalam diam, tapi pria itu hanya memberi senyum tenang sebelum melambaikan tangan singkat dan melajukan mobilnya pergi, meninggalkan Elara berdiri di depan rumahnya.

Sementara di dalam mobil, Marvin menatap Lucas lewat kaca spion, lalu bergumam lirih pada dirinya sendiri.

“Jika takdir memberiku satu kesempatan lagi, semoga kali ini kau benar-benar mengingatku, Elara. Setidaknya kau tidak membenciku. Tolong ingat aku.” gumam Marvin.

****

Malam itu.

Nathan tampak kusut dan lelah. Dasi kerjanya masih tergantung di leher, kemejanya kusut, dan matanya merah karena terlalu lama menatap layar ponselnya, menatap foto Elara yang entah sudah berapa kali ia lihat sejak tadi.

Nathan menunduk, jemarinya meremas ponsel itu kuat-kuat, napasnya berat dan tidak teratur.

“Kenapa aku baru merasa kehilangan sekarang?” gumamnya lirih, suaranya parau, hampir tidak terdengar.

Ia bersandar di kursi dekat ranjang, menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Bayangan Elara seolah menari di kepalanya, cara wanita itu tersenyum lembut, suaranya yang selalu menenangkan.

Nathan mengusap wajahnya dengan kedua tangan.

“Aku bodoh, aku benar-benar bodoh!” maki Nathan untuk dirinya sendiri.

Pikirannya berputar cepat, mengingat setiap detail kecil dari masa lima tahun pernikahan mereka, pernikahan dingin yang ia rusak sendiri karena kesalahpahaman.

Ia teringat malam pertama mereka. Malam ketika ia tahu sesuatu yang membuatnya berubah, atau mungkin memilih berubah.

Namun kini, semua itu terasa tidak penting. Luka lama itu tidak lagi berarti dibandingkan dengan rasa kehilangan yang membakar dirinya sekarang.

Ponselnya berdering pelan, bukan pesan baru, melainkan notifikasi dari foto yang baru saja ia buka lagi. Foto Elara di acara perusahaan, berdiri di samping seorang pria tampan yang ia kenal.

Marvin Luther.

Nama itu membuat darah Nathan mendidih.

Ia memukul meja dengan keras hingga gelas di atasnya terguling dan air tumpah ke lantai.

“Dia bahkan tidak pantas berdiri di samping milikku!” desis Nathan marah.

“Elara milikku. Dia milikku!” ucap Nathan tegas.

Pintu kamar terdengar diketuk pelan. Suara Maria, terdengar dari luar.

“Nathan? Kau belum tidur juga?” tanya Maria.

Nathan menarik napas kasar, mencoba menguasai diri, lalu menjawab datar.

“Belum, Mom.” balasnya.

“Mommy ingin masuk, apakah boleh?” suara Maria lembut tapi penuh khawatir.

Nathan mengangguk pelan meski tahu Maria tidak bisa melihat.

“Masuk saja.” balas Nathan.

Maria masuk dengan langkah tenang. Ia menatap putranya yang kini duduk di tepi ranjang dengan wajah muram.

“Wajahmu seperti orang yang baru kalah perang,” katanya setengah bercanda, mencoba mencairkan suasana.

Nathan hanya menatap lantai.

“Mungkin memang begitu.” balas Nathan.

Maria mendekat, duduk di kursi depan putranya.

“Ini masih tentang Elara, hm?” tanya Maria.

Nathan tak menjawab, hanya diam beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas panjang.

“Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku, Mom. Aku pikir aku sudah melupakannya, aku pikir aku sudah membuang semua perasaan itu. Tapi setelah melihatnya bersama pria itu…”

“Pria itu?” Maria mengerutkan alis.

“Marvin Luther,” jawab Nathan pelan tapi tegas.

“Pemimpin tempat Elara bekerja. Aku melihat mereka di acara perusahaan. Mereka tampak dekat.” ucap Nathan melanjutkan.

Maria menghela napas panjang.

“Nathan, jangan mulai lagi. Elara sudah tidak menjadi bagian hidupmu. Kau sendiri yang memilih itu.” ucap Maria.

Nathan mendongak, matanya tajam dan merah.

“Aku tahu! Tapi aku menyesal! Aku menyesal sudah melepaskannya! Aku pikir aku membenci dia, Mom. Tapi ternyata aku hanya bodoh! Aku buta!” ucap Nathan frustasi.

Maria menatap Nathan dalam diam, lalu berkata tegas.

“Bukan buta, tapi kau kehilangan arah karena egomu sendiri, Nathan.” ucap Maria.

Nathan terdiam. Ia tahu Mommy nya benar.

“Dulu,” lanjut Maria pelan, “kau menghukum Elara karena sesuatu yang bahkan bukan kesalahannya. Sekarang ketika dia sudah bebas dan menemukan tempat baru untuk berdiri, kau ingin menariknya kembali? Untuk apa? Untuk membuatnya hancur lagi?” tanya Maria.

Nathan menatap Maria.

“Aku tidak ingin menghancurkannya, Mom, aku ingin memperbaikinya. Aku ingin membuatnya bahagia, kali ini sungguh-sungguh. Aku ingin dia kembali.” ucap Nathan yakin.

Maria memejamkan mata, menahan amarah yang mulai naik.

“Nathan, perempuan seperti Elara, jika sudah belajar dari luka, tidak akan kembali pada orang yang membuatnya berdarah. Kau harus sadar itu.” ucap Maria mencoba menyadarkan putranya itu.

Nathan terdiam cukup lama. Tapi semakin lama ia menunduk, semakin keras perasaannya berteriak.

“Aku tahu, tapi aku tidak bisa membiarkannya bersama pria itu. Aku tidak bisa.” balas Nathan.

Maria menatapnya dengan kecewa.

“Kau bahkan tidak tahu siapa Marvin Luther sebenarnya. Jangan biarkan rasa cemburumu mengendalikanmu, Nathan. Jangan bertingkah seperti anak kecil.” ucap Maria lagi.

Nathan tersenyum pahit.

“Mungkin aku memang anak kecil, Mom. Anak kecil yang baru sadar kehilangan hal paling berharga dalam hidupnya setelah semuanya terlambat.” ucap Nathan semakin putus asa.

Maria berdiri perlahan, menatap putranya dengan wajah sedih.

“Kalau begitu, tanggung akibatnya. Tapi jangan seret Elara lagi ke dalam luka masa lalumu.” ucap Maria.

Setelah Maria keluar dari kamar, Nathan menatap kosong ke arah jendela yang menampilkan langit malam penuh bintang.

“Aku tidak peduli lagi dengan masa lalu, Elara. Aku tidak peduli kau dulu bagaimana, yang aku tahu sekarang, aku ingin kau kembali. Aku ingin kau di sisiku lagi, apa pun caranya.” tegas Nathan yakin.

Ia menggenggam ponselnya erat-erat, menatap foto Elara sekali lagi. Tatapan matanya kini penuh tekad dan obsesi yang berbahaya.

Ia tahu yang akan ia lakukan mungkin salah, tapi hatinya, atau mungkin egonya sudah terlalu dalam terjebak.

“Tunggu saja, Elara,” ucapnya pelan tapi tajam. “Kau akan kembali padaku. Aku akan pastikan itu.” tegas Nathan.

Nathan tampak berusaha mengukir senyum walau keadaan pikirannya begitu frustasi.

Bersambung…

1
Rasmi Linda
kau bodoh dia naksir kau
Jumiah
jangan kawatir lara kmu akan mendapatkan yg lebih baik dri sebelum x..
Siti Hawa
aku mmpir thoor... dari awal aku baca, aku tertarik dengan ceritanya... semangat berkarya thoor👍💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!