Gendhis Banuwati, wanita berusia 20 tahun itu tidak percaya dengan penyakit yang dialami sang Ayah saat ini. Joko Rekso, dinyatakan mengalami gangguan mental, usai menebang 2 pohon jati di ujung desanya.
Hal di luar nalar pun terjadi. Begitu jati itu di tebang, darah segar mengalir dari batangnya.
"KEMBALIKAN TUBUH KAMI KE TEMPAT SEMULA!"
Dalam mimpi itu, Pak Joko diminta untuk mengembalikan kayu yang sudah ia tebang ke tempat semula. Pihak keluarga sempat tak percaya. Mereka hanya menganggap itu layaknya bunga tidur saja.
Akan tetapi, 1 minggu semenjak kejadian itu ... Joko benar-benar mendapat balak atas ulahnya. Ia tetiba menjadi ling lung, bahkan sampai lupa dengan jati dirinya sendiri.
2 teman Pak Joko yang tak lain, Mukti dan Arman ... Mereka juga sama menjadi gila.
Semenjak itu, Gendhis berniat mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan tempat yang di juluki dengan TANAH KERAMAT itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jati Keramat 21
Siang itu, setelah mengurus semua administrasi, akhirnya Eyang Wuluh terpaksa menjalani perawatan inap karena bujukan cucu kesayanganya itu. Tidak ingin dijaga banyak orang, jadi hanya Nanda saja sementara yang menemani.
Ruangan kenangan itu tidak begitu jauh dengan ruangan anggrek, tempat dimana Wira dirawat.
Setelah menjalani pemeriksaan dan diambil sample darah, kini Eyang terlelap akibat obat yang di masukan infus tadi.
"Ibu temani disini, ya?" Bu Asih menatap suaminya bermaksud meminta izin.
"Ibu pasti menolak! Lebih baik carikan orang lain saja," kata Lurah Woyo dingin.
Bu Asih tampak berpikir sejenak. "Pak, bagaimana kalau Ibu suruh Gendhis buat temani Eyang. Nanti biar Gendhis libur dulu dari toko."
"Terserah! Bilang saja sama Ibu." Lagi-lagi Lurah hanya bersikap acuh kepada Istrinya.
Bu Asih masuk kedalam. Ia menepuk bahu putranya sambil berkata, "Biar dijaga Gendhis bagaimana, Nda? Nanti coba kamu bujuk Eyangmu, biar Gendhis libur dulu dari toko."
Nanda mengulas senyum tipis, 'Kesempatan Emas. Aku akan meyakinkan Eyang, agar dia mau dijaga oleh Gendhis.' batin Nanda. "Sepertinya Eyang juga sudah terbiasa dengan Gendhis. Nanti biar Nanda yang bicara."
"Ya sudah, kalau begitu Ibu sama Bapak pulang dulu. Jangan lupa kabari kalau ada masalah mendesak." Mendapat anggukan dari putranya, Bu Asih segera berjalan keluar kembali.
Pintu sudah tertutup rapat. Keadaan ruangan inap itu terasa mencekam, karena tiba-tiba Nanda mencium aroma khas bunga melati. Ia yang semula fokus menaikan selimut pada tubuh Neneknya, kini reflek kedua matanya melirik ke kanan dan ke kiri. Dan benar saja, didepan pintu terdapat sosok wanita berambut panjang dengan daster bewarna putih tulang menjuntai.
Wanita itu hanya tertunduk diam, lalu perlahan mulai mengangkat pandangannya. Wajahnya pucat, namun dibalik sorot mata itu penuh dengan luka yang tertahan.
Nandaaaa....
Suara itu nyaring, bahkan menggema dalam telinga Nandaka. Ia masih tetap diam, tenang, tahu siapa wanita itu.
Tolong aku, Nandaaaa....
Begitu Nanda menoleh, wanita tadi menangis pilu, dan lagi-lagi enggan mengangkat pandanganya. Tangisanya nyaris patah, menyirat rasa keputusasaan yang mendalam.
Nandaka bangkit. Ia menatap wanita tadi dengan intens. Langkahnya teratur, tak goyah dan pasti. Setelah itu ia berhenti. "Kenapa kamu menipuku, Garini? Apakah kau sering mengganggu orang?"
Tangisan itu semakin dalam. Garini sosok cantik yang banyak dikagumi pada masanya, kini harus gentayangan demi menuntut haknya dengan layak. Tak menjawab apa-apa, sosok Garini itu langsung menghilang.
Nanda hanya mampu mendesah dalam, selalu saja ia mendapat teror dari makhluk-makhluk astral itu.
"Nda ...." panggil Eyang yang sudah kesulitan mengucapkan kalimatnya. Suara Eyang Wuluh semakin sulit, dan sebelah kakinya yang satu sulit untuk di gerakan.
Nandaka segera mendekar lagi. Ia kini duduk kembali sambil mengusap lengan lemah Neneknya. "Eyang ... Eyang makan ya, biar Nanda suapin!"
Eyang wuluh menggeleng lemah. Sejak pagi hingga siang, purut wanita tua itu belum kemasukan apa-apa. "Ambilkan bunga kantil, Nda!" lirihnya.
Nanda terdiam dan sedikit berpikir. "Jika Nanda pergi, Eyang sama siapa? Nanda nggak tega ninggalin Eyang sendirian," katanya pelan.
"Ndak papa. Ada banyak suster disini! Cepat carikan bunga kantil dirumah. Tanyakan sama Sri." Sahut kembali Eyang Wuluh.
Dengan berat hati Nandaka mengangguk. Namun sebelum keluar dari rumah sakit, ia sudah menitipkan sang Eyang kepada suster disana.
Waktu sudah menunjukan pukul 2 siang. Dan saatnya sang perawat mengecek infus milik Eyang Wuluh. Perawat perempuan itu datang sendiri. Wajahnya tenang, karena memang ia tidak meraskan apa-apa sebelum sampai di depan ruangan rawat Eyang Wuluh.
Sebelum perawat itu menegang handle pintu, wajah cantiknya sontak saja menegang kuat. Perawat tadi menghatamkan pendengarannya pada pintu didepannya itu.
Deg!
Bagaimana bisa? Padahal sebelumnya Nanda sudah bilang jika Neneknya sendirian. Tapi mengapa suara didalam ruangan itu tampak riuh, seolah suara orang saling bersahutan dalam bercerita.
Semakin dalam perawat tadi mendengar, tiba-tiba suara riuh tadi menghilang dalam sekejab. Tubuh sang Perawat meremang, hingga langkahnya terasa berat.
Hihihihi .....
Ckikikikikiii ....
Suara wanita cekikikan itu melengking kuat menggema dalam ruangan rawat Eyang wuluh. Demi menyalurkan rasa penasarannya, Perawat tadi langsung saja membuka pintu itu.
Nafas perawat tadi terengah-engah, dan matanya terbuka lebar ketika ruangan itu kembali senyap. Diatas ranjang Eyang Wuluh masih terlelap dalam tidurnya.
'Ya Allah ... Apa yang aku dengar tadi? 3 tahun aku bekerja disini, baru kali ini mengalami hal mistis seperti ini.' batin Perawat tadi sambil masuk kedalam.
***
Sementara dilain tempat, Gendhis baru saja tiba dirumahnya. "Makasih ya, Fan!"
"Iya, Ndis. Aku pamit dulu ya." Irfan kembali menjalankan motornya dan langsung meninggalkan pekarangan rumah Bu Siti.
Gendhis berjalan masuk kedalam, dan tak lupa menghampiri ayahnya yang berada dikamar. Pak Joko masih termenung, tidak ada perubahannya meski sudah di obatkan kemana-mana. Biasanya, saat siang begini Pak Joko baru saja pulang dari ladang, dan selalu membawakan hasil kebun. Menjadi tulang punggung sejak dulu, mungkin sudah saatnya Pria tengah baya itu beristirahat.
Gendhis memandangi Ayahnya dengan sorot mata sendu. Ia usap lengan kering nan kecil itu sambil berlirih, "Pak, kapan Bapak sembuh. Gendhis nggak tega melihat Bapak seperti ini."
Dan sudah 2 minggu ini, Pak Joko sama sekali tidak mengenali keluarganya. Ia selalu menghindar, bahkan ketakutan tidak jelas.
"Ndis ..." Bu Siti masuk kedalam kamar juga.
Gendhis menolah, "Ada apa, Bu?"
"Kamu nanti malam di suruh jaga Eyang Wuluh di rumah sakit. Tadi Bu Lurah sama Pak Lurah dateng kesini. Untuk sementara, kerjamu ya jagain Eyang Wuluh dulu." Ujar Bu Siti setelah kedatangan Lurahnya siang tadi.
'Mungkin ini kesempatan aku, agar tahu dimana letak susuk konde emas itu. Meskipun aku takut, tapi demi Bapak aku harus kuat.' batin Gendhis menatap keraha Bapaknya. "Baik, Bu! Nanti Gendhis kesana."
"Nanti kamu di jemput Nak Nanda, Ndis! Kalau pagi kamu jaga sendiri. Tapi kalau malam ... Katanya Lurah di temani Nak Nanda." Lanjut kembali Bu Siti.
'Apa? Sama Mas Nanda? Bagaimana kalau Mas Wira tahu?'
"Oh ya, Ndis ... Bagaimana keadaan Nak Wira? Siapa yang tega memukuli dia. Padahal Wira itu pria baik-baik lo." Bu Siti merasa iba dengan calon menantunya itu.
"Mas Wira agak mendingan, Bu. Hanya pemulihan lukanya saja." kata Gendhis sambil memegang lengan Ibunya. "Ya udah, Bu ... Gendhis mau istirahat sebentar. Nanti jangan lupa bangunin Gendhis ya. Hehe ...."
Mana bisa Gendhis beristirahat. Ia hanya tidak ingin kesedihannya didapati langsung oleh Ibunya. Wanita cantik itu termenung di kamar, bagaimana caranya memasuki kamar Eyang Wuluh.