Calista Blair kehilangan seluruh keluarganya saat hari ulang tahunnya ke-10. Setelah keluarganya pergi, ia bergabung dengan pembunuh bayaran. Tak berhenti di situ, Calista masih menyimpan dendam pada pembantai keluarganya, Alister Valdemar. Gadis itu bertekat untuk membunuh Alister dengan tangannya untuk membalaskan dendam kematian keluarganya.
Suatu saat kesempatan datang padanya, ia diadopsi oleh Marquess Everhart untuk menggantikan putrinya yang sudah meninggal menikah dengan Duke Alister Valdemar, sekaligus sebagai mata-mata musuhnya itu. Dengan identitasnya yang baru sebagai Ravenna Sanchez, ia berhasil menikah dengan Alister sekaligus untuk membalas dendam pada pria yang sudah membantai keluarganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fatayaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyakit Karina
“Tuan Duke, apa anda benar-benar tidak mau mencobanya, teh ini cukup enak. Sama sekali tidak beracun,” tawar Lukas menawarkan teh yang baru saja disajikan Ravenna. Sejak ia menjadi Duchess, Ravenna selalu menyempatkan diri untuk membawakan teh untuk Alister, namun pria itu tidak pernah mencobanya.
“Aku tidak tertarik,” timpal Alister, fokus dengan dokumennya.
“Baiklah, kalau begitu saya akan menghabiskannya,” ujar Lukas kembali menyesap teh nya.
Terdengar suara keras dari luar, Lukas dan Alister berpandangan sejenak kemudian keduanya bergegas keluar untuk melihat kondisi di luar.
Mary menghampiri Karina yang terbaring di bawah tangga dengan raut khawatir, “Astaga, Karina, bagaimana kau bisa jatuh?” tanya Mary panik.
Karina menunjuk pada seorang wanita yang berdiri mematung di atas tangga, “Dia, dia yang mendorong ku!”
“Ada apa ini?” tanya Alister menghampiri Karina.
“Kakak, dia mendorong ku sampai aku jatuh” tuduhnya pada Ravenna sembari meringis kesakitan memegangi kakinya yang sakit.
“Apa yang kau pikirkan, apa kau masih menyebut diri mu seorang Duchess setelah melakukan semua ini?” pekik nyonya Mary dengan raut wajah kesal, wanita itu menunjuk kerah Ravenna.
“Aku tidak mendorongnya, Karina jatuh sendiri,” bela Ravenna menyangkal tuduhan yang di layangkan padanya.
“Apa? kau berbohong! kenapa aku menjatuhkan diri sendiri?” ujar Karina menatap tajam pada Ravenna, gadis itu kemudian mengalihkan pandang kearah Alister, “Kakak, kaki ku sakit sekali, sepertinya kaki ku patah,” ucapnya dengan raut wajah memelas.
“Cepat panggil dokter!” titahnya pada pelayan yang bergerombol, Alister kemudian menggendong adik perempuannya menuju kamar. Nyonya Mary dan pelayan yang lain meninggalkan tempat kejadian, sementara Ravenna kembali ke kamarnya.
Lily bergegas masuk ke dalam kamar Ravenna setelah ia mendengar kabar kalau nyonya nya itu mencelakai Karina.
“Nyonya, apa anda tidak apa-apa? Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa mereka menuduh anda mencelakai nona Karina?” Lily menghujani wanita itu dengan berbagai pertanyaan.
“Karina mengajak ku bertengkar di tangga, lalu dia tidak sengaja jatuh sendiri,” timpal Ravenna jujur.
“Sudah saya duga, anda tidak mungkin mencelakai nona Karina, tapi mereka pasti tidak akan percaya, nyonya kenapa nona Karina sangat membenci anda, tidak hanya dia, tuan Duke, bahkan semua pekerja disini sepertinya tidak menyukai anda, beberapa kali saya mendengar pelayan berbicara buruk tentang anda,” ujar Lily lesu.
“Kehadiran ku memang tidak pernah mereka harapkan Lily, sudahlah tidak perlu terlalu di pikirkan. Lagi pula aku tidak akan selamanya berada di tempat ini,” ucap Ravenna yang tidak mempermasalahkan hal tersebut.
Lily memandang Ravenna dengan tatapan iba, ia sendiri tahu kalau pernikahannya dengan Alister hanya pernikahan politik semata, namun tidak seharusnya mereka memperlakukan Ravenna dengan kejam seperti ini.
***
“Apa yang sedang dia lakukan?” tanya Alister penasaran seraya menatap keluar jendela, dibawah sana terlihat Ravenna dan Lily tengah sibuk memetik beberapa bunga di taman.
Lukas berjalan kearah jendela untuk melihat keluar, “Akhir-akhir ini saya dengar nyonya sedang merangkai bunga untuk di letakkan di beberapa ruangan. Oh, iya tuan, tadi pagi nyonya membawa bunga ke sini, dia meletakkannya di atas meja kerja anda,” ujar Lukas sembari menunjuk vas bunga diatas meja. Alister mengalihkan pandang kearah meja, ia baru sadar ada bunga di sana.
“Padahal di taman ada banyak sekali bunga, tapi kenapa nyonya hanya merangkai bunga berwarna putih saja untuk diletakkan di meja anda,” heran Lukas.
Alister menatap kearah vas dengan mengerutkan alisnya, ia tiba-tiba teringat kenangan sepuluh tahun yang lalu, saat ia berkunjung ke kediaman Count Blair.
“Kak Alister, kau suka bunga apa?” tanya Calista pada Alister di taman.
“Aku tidak menyukai bunga,” timpal Alister singkat.
“Tidak seru, setidaknya kau harus punya satu bunga yang kau suka,” Calista mengerucutkan bibirnya.
“Entahlah, tapi bunga berwarna putih tidak terlalu buruk,” ujar Alister.
“Baiklah, kalau begitu aku akan merangkaikan bunga berwarna putih untuk mu,” ujar Calista bersemangat. Gadis kecil itu langsung berjongkok untuk memetik bunga berwarna putih.
“Tuan, sudah waktunya anda pergi ke istana,” ujar Lukas seketika menyadarkan lamunan Alister.
“Baiklah, kita pergi sekarang,” ujar Alister melangkah keluar, diikuti Lukas.
Sudah dua minggu Ravenna berada di kediaman Valdemar. Namun dirinya dianggap seolah tidak pernah terlihat di keluarga ini, bahkan urusan rumah tangga yang harusnya di kerjakan oleh nyonya rumah masih di pegang oleh Countess Mary, tentu saja Alister tidak mempercayainya memegang urusan rumah tangga, karena baginya ia hanyalah bidak Marquess, orang yang sudah membunuh ke dua orang tuanya.
Siang ini, setelah Ravenna kembali dari taman, terlihat keramaian di pintu kamar Karina. Para pelayan terlihat khawatir, tidak lama kemudian, seorang dokter paruh baya bergegas masuk ke kamar gadis itu.
Wanita itu kemudian berjalan kerah kerumunan dan bertanya pada salah satu pelayan wanita disana, “Apa yang terjadi?” tanya Ravenna penasaran.
“Saat kelas berlangsung nona Karina batuk batuk sampai mengeluarkan darah, setelah itu dia pingsan, nyonya” timpal pelayan muda itu terlihat khawatir.
Ravenna berjalan masuk ke dalam, di sana sudah ada Mary dan dokter yang tengah memeriksa Karina.
“Kenapa kau kesini ha? Siapa yang mengizinkan mu masuk?” tanya Mary kepada Ravenna yang baru saja masuk.
“Apa yang anda bicarakan, saya hanya ingin melihat kondisi Karina,” tanggap Ravenna mengerutkan keningnya.
Mary tersenyum sinis, “Melihat kondisinya? Sebaiknya kau keluar sekarang!” perintah Mary.
Dokter kembali merapikan peralatan medisnya setelah selesai memeriksa kondisi Karina. Mengetahui hal itu, Mary kemudian menghampiri dokter itu.
“Bagaimana dokter, apa yang terjadi dengan Karina?” tanya Mary dengan raut cemas.
“Kondisi paru-paru nona sudah semakin parah, saya khawatir jika kondisinya terus seperti ini akan mengancam hidupnya, tapi saya akan berusaha sebaik mungkin meracik resep obat terbaik dan memantau kondisinya,” timpal dokter berkumis tebal menjelaskan dengan berhati-hati.
“Astaga Karina, kenapa ini bisa terjadi padanya. Dokter aku mohon tolong selamatkan Karina, dia itu keponakan perempuan ku satu satunya, tolong selamatkan nyawanya,” mohon Mary mencemaskan Karina.
“Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan nona, kalau begitu saya permisi dulu,” dokter paruh baya kemudian berjalan keluar ruangan, diikuti Ravenna dibelakang.
“Dokter, tunggu!” panggil Ravenna saat di depan pintu kamar Karina. Dokter paruh baya itu menghentikan langkahnya kemudian berbalik.
“Sebenarnya apa yang terjadi dengan Karina, sejak kapan dia menderita penyakit paru-paru?” tanya Ravenna penasaran.
“Nona Karina memang menderita penyakit ini sekitar satu tahun yang lalu, namun anehnya penyakit ini datang tiba-tiba tanpa sebab, padahal sebelumnya nona Karina cukup sehat. Baru kali ini saya menemukan gejala yang tidak di ketahui asal usulnya,” ujar sang dokter. Ravenna mengerutkan keningnya, terlihat memikirkan sesuatu.
“Nyonya apa ada lagi yang ingin anda tanyakan?” tanya dokter kemudian, membuyarkan lamunan Ravenna.
“Tidak, terima kasih dokter,” ujar wanita itu sembari mengulas senyumnya.