Amor Tenebris (Cinta yang lahir dari kegelapan)
“Di balik bayangan, ada rasa yang tidak bisa ditolak.”
...
New Book, On Going!
No Plagiat❌
All Rights Reserved August 2025, Eisa Luthfi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eisa Luthfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
...◾▪️Amor Tenebris ▪️◾...
Bab 6 – Bayangan Pertama
Udara dalam koridor batu itu dingin, meski api obor di dinding berkedip-kedip, seakan berusaha keras mengusir kegelapan. Lyra berjalan setengah tertatih, tangannya masih digenggam Theron yang tidak pernah melepasnya sejak pintu besar itu ditutup. Suara langkah sepatu bot Theron bergema berat, sementara langkah Lyra terdengar lebih cepat—antara gugup dan berusaha menyesuaikan diri.
Di belakang mereka, Lucian menyelipkan tangan ke saku mantel hitamnya, wajahnya santai tapi matanya menyapu setiap detail dengan waspada. Di sisi lain, Eveline berjalan anggun, bibirnya melengkung dengan senyum tipis yang entah ditujukan untuk siapa. Lyra bisa merasakan bulu kuduknya berdiri setiap kali mata Eveline menoleh, seolah wanita itu tak hanya melihat, tapi menelanjangi isi kepalanya.
Mereka berhenti di hadapan sebuah ruangan bundar. Pintu logam berukir lambang kelelawar bersayap terbuka otomatis, menyingkap ruang ritual yang diterangi puluhan lilin berwarna merah darah. Di tengah, terdapat lingkaran rune yang dipahat langsung di lantai batu. Aura kuno menyelimuti udara—campuran aroma besi, tanah basah, dan sesuatu yang asing bagi Lyra.
Theron menarik napas panjang. “Ini tradisi yang tidak bisa dielakkan,” katanya pelan, suaranya hampir bergetar meski berusaha tegas. “Setiap mate dari keluarga Valecrest harus melewati ujian pertama.”
“Ujian?” Lyra menelan ludah. “Maksudmu, kayak... tes masuk sekolah gitu?”
Lucian terkekeh keras, suaranya menggema di dinding. “Kalau kau gagal, sekolahnya meledak bersamamu.”
Lyra menoleh cepat, wajahnya tegang. “Apa—itu serius?”
Lucian mengangkat bahu pura-pura santai. “Siapa tahu.”
“Lucian.” Suara Theron terdengar rendah, penuh peringatan.
Tapi Lyra justru berusaha menahan tawa gugup. “Oke... catatan: jangan pernah jadi murid Valecrest. Membahayakan jiwa dan raga.”
Theron melirik ke arahnya, sedikit terkejut. Meski jelas Lyra takut, keberaniannya untuk bercanda membuat hatinya bergetar.
Eveline melangkah maju, gaun merahnya menyapu lantai. “Ujian ini sederhana. Lingkaran rune akan menilai apakah darahmu cukup kuat untuk bertahan hidup di sisi Theron. Jika tidak…” ia berhenti sejenak, senyum dinginnya melebar, “…lingkaran itu sendiri akan menolaknya.”
“Menolak… dalam arti apa?” Lyra mencoba memastikan, tapi hatinya sudah tahu jawabannya.
Lucian berdehem sambil menyeringai. “Dalam arti ‘bye-bye selamanya’, darling.”
Lyra menarik napas cepat. Tangannya yang masih digenggam Theron terasa dingin. “Dan kalau aku berhasil?”
Theron menatap matanya dalam-dalam. “Kau akan resmi diakui oleh lingkaran pertama Valecrest. Tidak ada yang bisa membantah posisimu… bahkan Eveline.”
Tatapan Eveline menusuk ke arah Theron, tapi ia tidak membalas kata-kata itu.
Lingkaran rune.
Lyra berdiri di tepi lingkaran batu itu. Simbol-simbol bercahaya merah gelap mulai menyala, berdenyut seperti jantung. Ia merasa seolah ada ribuan mata tak kasatmata yang memperhatikannya, menimbang-nimbang nilai kehidupannya.
Theron menggenggam kedua bahunya. “Aku akan ada di sini. Jangan lepaskan fokusmu. Tarik napas… dan biarkan energi itu menyentuhmu.”
“Biarkan menyentuhku?” Lyra meliriknya dengan wajah antara takut dan bingung. “Kedengarannya kayak nasihat meditasi… atau iklan yoga.”
Bibir Theron menegang, lalu nyaris tersenyum. “Kalau kau masih bisa bercanda di sini, mungkin itu pertanda baik.”
Lucian menyahut sambil bersandar di dinding. “Atau pertanda dia akan terbakar lebih cepat.”
“LUCIAN.” Kali ini Theron menggeram rendah.
Lyra menutup mata. Ia melangkah masuk ke dalam lingkaran. Begitu kakinya menginjak rune, tubuhnya langsung diguncang sensasi panas dan dingin sekaligus. Jantungnya berdegup kencang, seakan sedang berlari maraton.
Gambar-gambar asing melintas di pikirannya. Bayangan istana gelap, darah yang menetes di altar, suara jeritan bercampur nyanyian purba. Ia melihat kelelawar raksasa terbang di atas langit merah, dan di antara semuanya, sosok bermahkota hitam berdiri menatapnya.
“Siapa… kau…?” Lyra bergumam lirih.
Suara itu menjawab dalam pikirannya—dalam, bergema, kuno.
"Pewaris ku. Atau pengorbanku."
Tubuh Lyra bergetar. Ia mencoba mundur, tapi rune semakin menyalakan cahaya, menahannya di dalam lingkaran. Tubuhnya seolah disedot ke dalam pusaran tak kasatmata.
Di tepi lingkaran.
“Theron, dia kesulitan,” Eveline berkata dengan nada puas yang samar. “Mungkin sebaiknya kau lepaskan sebelum terlambat.”
Theron mencengkeram tepi rune, urat di lengannya menegang. “Tidak. Dia bisa melaluinya.”
Lucian menyipitkan mata, memperhatikan. Untuk pertama kalinya wajahnya serius. “Rune itu bereaksi lebih keras dari biasanya. Seakan… mengenali sesuatu dalam dirinya.”
Eveline mendengus. “Itu hanya tanda kelemahannya. Manusia tetap manusia.”
Namun Lucian tidak menjawab. Ia melihat mata Lyra yang terpejam, keringat bercucuran di pelipisnya, tapi bibirnya bergumam—seakan melawan sesuatu.
Di dalam pusaran.
Lyra melihat sosok bermahkota hitam semakin dekat. Mata merah menyala itu menatap tajam ke dalam jiwanya.
"Apakah kau cukup kuat untuk berjalan di sisi Valecrest?"
Lyra ingin berteriak bahwa ia hanya manusia biasa. Tapi tiba-tiba, wajah Theron terlintas di benaknya. Cara pria itu menahan tangannya, suara lembutnya saat menyuruhnya bernapas, tatapan matanya yang penuh tekad.
“Aku… aku tidak tahu siapa diriku, atau apa yang kalian cari. Tapi aku tahu satu hal…” Suaranya bergetar, namun tegas. “Aku tidak akan tinggalkan dia sendirian.”
Simbol di sekeliling lingkaran mendadak menyala terang, seakan tersambar petir. Suara dalam pikirannya terdiam sesaat, lalu menggaung kembali:
"Keberanian dari jiwa fana… menarik."
Cahaya itu meledak, membuat semua orang di ruangan menutup mata.
Setelah ledakan.
Saat cahaya mereda, Lyra terduduk di tengah lingkaran, terengah-engah tapi masih hidup. Rune di lantai perlahan meredup, meninggalkan aroma ozon di udara.
Theron segera masuk dan meraih tubuhnya. “Lyra! Kau baik-baik saja?”
Lyra membuka mata, wajahnya pucat tapi bibirnya tersungging lemah. “Aku… tidak terbakar, kan?”
Theron nyaris tertawa lega. “Tidak, kau tidak terbakar.” Ia memeluknya erat, tanpa peduli siapa yang melihat.
Lucian menepuk-nepuk tangan dengan ekspresi puas. “Impresif. Tidak setiap manusia bisa membuat lingkaran itu ‘tersenyum’. Kau mungkin benar-benar mate Valecrest.”
Eveline menggertakkan gigi halus. Senyumnya menghilang, berganti tatapan dingin menusuk.
“Ini… baru permulaan,” katanya lirih. “Lingkaran pertama hanyalah pintu. Masih ada banyak ujian lain yang akan menghancurkannya.”
Theron menatap balik Eveline, matanya menyala dengan kemarahan yang jarang terlihat. “Kalau begitu, biarkan mereka datang. Karena dia tidak sendirian.”