Camelia tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam satu malam.
Hanya karena hutang besar sang ayah, ia dipaksa menjadi “tebusan hidup” bagi Nerios—seorang CEO muda dingin, cerdas, namun menyimpan obsesi lama padanya sejak SMA.
Bagi Nerios, Camelia bukan sekadar gadis biasa. Ia adalah mimpi yang tak pernah bisa ia genggam, sosok yang terus menghantuinya hingga dewasa. Dan ketika kesempatan itu datang, Nerios tidak ragu menjadikannya milik pribadi, meski dengan cara yang paling kejam.
Namun, di balik dinding dingin kantor megah dan malam-malam penuh belenggu, hubungan mereka berubah. Camelia mulai mengenal sisi lain Nerios—sisi seorang pria yang rapuh, terikat masa lalu, dan perlahan membuat hatinya bimbang.
Apakah ini cinta… atau hanya obsesi yang akan menghancurkan mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Biebell, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 — Pasar Malam
Jarak antara tempat pasar malam dan rumah Nerios memang benar hanya memakan waktu 30 menit. Tapi itu jika tidak macet, karena malam ini adalah malam minggu—waktunya orang berpacaran, jadi jelas jalanan sangat macet. Jarak tempuhnya jadi berubah menjadi 1 jam.
Belum lagi kendaraan yang digunakan oleh Nerios adalah motor sport, bukan mobil yang biasa dirinya pakai. Ini semua jelas permintaan Camelia yang katanya sekalian menikmati suasana malam hari yang ramai dan dingin.
Lalu, mereka berdua kini sudah berada di area parkiran yang disediakan oleh beberapa oknum di sana. Motor mereka digantungi sebuah nomor, membuat Nerios mengerutkan keningnya.
Nerios sedikit menunduk, menatap Camelia yang merapihkan pakaiannya. "Nomor di motorku untuk apa?" tanyanya bingung.
Camelia mendongak, melirik Nerios lalu beralih pada nomor yang dimaksud. "Itu tanda parkir aja, jadi nanti kalo mau keluar kasih nomor itu ke tukang parkirnya sekalian bayar," jelasnya.
Wanita itu paham sekali kalau misalnya Nerios belum pernah menginjakkan kaki di tempat-tempat seperti ini. Karena keluarga Miller jelas mainnya luar negeri, biar pun di dalam negeri pasti di tempat yang mahal.
"Oh, berapa bayarnya? Dua ratus?" tanya Nerios yang membuat Camelia tercengang.
"Heh, yang bener aja! Mana ada dua ratus? Paling cuman dua ribu, paling mahal lima ribu." Jika sekali parkir dua ratus ribu lebih baik Camelia langsung pergi ke Mall saja dari pada ke sini.
Kini gantian Nerios yang terkejut. "Dua ribu? Murah banget, apa mereka nggak rugi?"
Camelia mendesah malas. "Kendaraan kita nggak akan seaman di Mall, jadi jelas murah."
"Kalau tidak aman lebih baik kita kulineran di Mall saja, aku tidak—"
"Sudah, tidak apa-apa! Lebih baik kita masuk sekarang, aku sudah tidak sabar!" Camelia memotong cepat ucapan Nerios. Lalu berjalan lebih dahulu ke area pasar malam.
Lampu-lampu warna-warni menggantung berderet di sepanjang jalan pasar malam. Bau jajanan seperti jagung bakar, sate, dan gulali bercampur jadi satu, memenuhi udara dengan aroma khas malam minggu. Suasana ramai oleh suara musik dangdut dari panggung kecil di ujung jalan, ditambah tawa anak-anak yang menaiki komidi putar.
Nerios menyusul wanitanya lalu melangkah di samping Camelia dengan outfit santainya—kaos hitam polos, jaket denim, dan jeans gelap, terlihat jauh lebih sederhana dari biasanya. Ia berjalan santai sambil sesekali melirik Camelia, bibirnya terangkat tipis.
"Kau nampak begitu senang," ujarnya pelan.
Camelia dengan blouse pastel sederhana dipadukan jeans highwaist, rambut diikat ekor kuda, dan sneakers putih yang membuatnya terlihat segar. Tangannya menenteng sling bag kecil, sesekali ia sibuk menatap kios makanan yang berjajar.
"Tentu saja aku senang. Aku sudah hampir setengah tahun tidak ke sini," balasnya riang, matanya berbinar seperti anak kecil.
Senyum Camelia menular pada Nerios, walau sebenarnya ia cukup risih dengan keramaian ini, terlebih tanah yang tidak rata membuatnya sulit berjalan.
Nerios menarik tangan Camelia saat wanitanya hampir tertabrak orang. "Kau mau beli apa? Biar semuanya aku yang bayar."
Tubuh Camelia sedikit tidak seimbang saat ditarik, ia menyengir lebar pada Nerios. Dirinya terlalu fokus menatap makanan.
Lalu ia menunjuk salah satu kios makanan yang akhir-akhir ini sedang viral. "Aku mau itu!" pintanya dengan semangat.
Pria itu melirik tempat yang ditunjuk, kemudian mengangguk kecil. "Yaudah, ayo kita ke sana!" ajaknya sambil menggenggam tangan Camelia.
Camelia hanya menurut, ia tidak protes saat tangannya digenggam, karena ia paham bahwa kondisi di sini sangat ramai. Begitu sampai di depan kios itu, Camelia langsung menatap Nerios yang berdiri di sebelahnya.
"Kau mau juga atau tidak? Jika kau mau tidak usah pakai chilioil," tawarnya sebelum memesan.
"Tidak, aku akan memberi yang lain saja," tolak Nerios dengan halus.
"Baiklah!" Camelia menatap sang penjual. "Mbak, saya pesan satu porsi cireng kuah kejunya, ya."
Penjual itu mengangguk. "Iya, tunggu sebentar!"
Sembari melihat proses pembuatan itu, Camelia menggoyangkan tangannya yang digenggam Nerios, ke depan dan belakang. Tanda bahwa dirinya sedang bahagia.
Nerios senang sekali melihat Camelia seperti ini. Tidak ada perlawanan, tidak ada teriakan, tidak ada tangisan. Ia ingin hal ini terjadi seterusnya, jika bisa Nerios ingin menjadikan Camelia sebagai miliknya seutuhnya.
"Ini pesanannya." Penjual itu menyodorkan satu kantung plastik pada Camelia. "Jadi lima belas ribu, ya."
"Murah sekali?" gumam Nerios di dalam hati sambil mengeluarkan dompet dari saku celana.
Nerios memberikan satu lembar uang berwarna merah, lalu menerima kembalian delapan puluh lima ribu, ia memberikannya pada Camelia. "Pegang, aku malas memegang uang receh."
"Sombong sekali manusia ini," cibir Camelia, tapi tangannya tetap mengambil uang itu dan memasukannya ke dalam tas.
...———...
Satu setengah jam kemudian, mereka telah selesai menikmati jajanan. Nerios nampaknya bisa menerima rasa jajanan kaki lima yang berbeda jauh dari makanan yang biasa ia santap sehari-hari. Raut wajahnya tidak lagi sekaku tadi, seolah pasar malam berhasil meruntuhkan tembok dingin yang biasa ia pasang.
Lalu kini mereka berdiri di depan deretan wahana yang berputar dengan lampu kelap-kelip. Suara teriakan orang-orang yang sedang menaiki kora-kora dan roller coaster terdengar bergema, membuat suasana semakin semarak.
Camelia menoleh ke arah Nerios, matanya menyipit jahil. “Kau tidak takut pada ketinggian, kan?” tanyanya sambil menunjuk bianglala besar yang menjulang tinggi dengan kursi berwarna-warni.
“Tentu tidak,” jawab Nerios singkat, nada santainya membuat Camelia semakin tersenyum.
“Bagus. Karena kita akan naik itu!” Camelia langsung menarik tangan Nerios, membuat pria itu terpaksa mengikutinya.
Di dalam kabin bianglala, mereka duduk berhadapan. Saat perlahan naik ke atas, angin malam menerpa wajah mereka. Dari ketinggian, kerlap-kerlip lampu pasar malam terlihat begitu indah, seperti lautan bintang di bumi.
Camelia bersandar ke jendela kecil kabin, matanya berbinar. “Cantik sekali. Aku suka suasana seperti ini.”
Nerios menatapnya beberapa detik tanpa berkata apa-apa. Bukan pemandangan lampu yang menarik perhatiannya, tapi raut wajah Camelia yang terlihat begitu hidup. Senyum itu tulus, sederhana, tanpa beban.
“Kenapa menatapku seperti itu?” Camelia menyadarinya, matanya mendelik tajam.
Nerios tersenyum miring. “Aku hanya melihat kau yang lebih indah dibanding pemandangan ini."
Camelia cepat-cepat mengalihkan pandangan ke bawah. “Jangan menakutiku begitu. Rasanya kursi ini makin goyang.”
Nerios menahan tawa, ia tahu bahwa wnaita itu sedang mengalihkan pembicaraan. “Tenang saja. Kalau jatuh, aku akan pastikan kau tidak sendirian!”
Setelah bianglala, Camelia mengajak mencoba rumah hantu. Di dalamnya, suara-suara aneh dan boneka menyeramkan muncul di setiap sudut. Camelia spontan meraih lengan Nerios erat-erat saat sosok hantu bohongan meloncat keluar.
“Astaga! Kenapa kau diam saja?!” serunya setengah panik.
Nerios hanya berjalan santai sambil menahan senyum. “Karena aku tahu itu hanya trik murahan. Tapi kau terlihat lucu saat ketakutan.”
Camelia mendelik, wajahnya merah karena malu. “Berhenti mengejekku!”
Namun genggaman tangannya pada tangan Nerios tidak juga terlepas hingga mereka keluar dari rumah hantu.
Wahana terakhir yang mereka naiki adalah kora-kora. Saat ayunan mulai melambung tinggi, Camelia menutup mata rapat-rapat sambil berteriak, sementara Nerios hanya duduk tenang di sampingnya.
Begitu permainan usai, Camelia langsung terengah-engah, pipinya merah padam. “Aku menyesal memilih ini …”
Nerios menatapnya sekilas, lalu terkekeh pelan. “Kau kata tidak akan takut menaiki itu, tapi nyatanya kau hampir muntah!" ledeknya.
Camelia mendengus sambil memukul tangannya pelan. “Diam lah, dasar kau menyebalkan!”
Namun dalam hati, ia tak bisa menolak rasa hangat yang tumbuh dari kebersamaan ini.