Obsesi Sang Ceo

Obsesi Sang Ceo

Bab 1 — Jaminan Hutang

Ketukan keras terdengar di pintu rumah minimalis berlantai 2 itu. Malam baru saja turun, hujan gerimis menitik di luar, dan suasana keluarga Camelia mendadak mencekam.

Ayah Camelia—Pak Rendra—membuka pintu dengan wajah pucat. Di hadapannya berdiri seorang pria muda tinggi tegap, berjas hitam elegan, rambut tersisir rapi, dan tatapan tajam bagaikan pisau.

“Nerios …” suara Pak Rendra bergetar. “Kenapa kau datang ke sini malam-malam begini?”

Pria itu melangkah masuk tanpa diundang. Sepatu kulitnya menginjak lantai itu menimbulkan bunyi yang membuat suasana semakin menegangkan.

“Aku datang untuk menagih,” jawab Nerios dingin. “Hutangmu, Pak Rendra. Sudah 3 bulan dari tanggal yang ditentukan."

Camelia yang baru saja keluar dari kamar bersama dua adiknya, Lila dan Maira, tertegun. Jantungnya berdegup kencang. Ia sudah sering mendengar kabar bahwa ayahnya punya hutang, tapi ia tidak pernah tahu pada siapa. Kini semuanya jelas—pada Nerios, teman lamanya sejak SMA.

“Aku… aku butuh waktu, Nerios. Bisnisku baru saja bangkit lagi,” suara Pak Rendra memohon.

Nerios menatapnya tanpa belas kasihan. “Hutangmu bukan ratusan juta tapi sudah sampai 3 milliar! Waktu sudah kuberi cukup banyak. Sekarang aku ingin pembayaran.”

Camelia maju selangkah, dengan berani ia mendongak, menatap mata Nerios. “Kami tidak punya uang sebanyak itu. Tolong beri kami kesempatan lagi!” ucapnya memohon, ia rasa dulu Nerios bukanlah orang yang kejam, jadi ia berpikir bahwa pria itu seharusnya bisa memberikan keringanan.

Nerios menoleh, menatap Camelia. Tatapan itu menusuk, dingin tapi penuh obsesi. Seolah sejak lama ia menunggu momen ini. “Ada cara lain untuk membayar,” katanya lirih.

Ketiga gadis itu menegang. Pikiran mereka melayang, menerka apa sekiranya cara lain yang dimaksud olehnya.

“Aku akan memilih salah satu putrimu,” lanjut Nerios, suaranya penuh kuasa. “Salah satu harus ikut denganku sebagai jaminan hutang.”

“APA?!” teriak Camelia, matanya terbelalak mendengarnya. Dengan spontan ia kembali menghampiri kedua adiknya, berdiri di hadapan mereka seakan melindungi dari pria yang sangat berbeda jauh dari yang ia kenal dulu.

Pak Rendra gemetar. “Itu … itu keterlaluan, Nerios! Mereka masih muda. Mereka bukan barang yang bisa dijadikan jaminan!” bentaknya.

Nerios mendekat, tubuhnya hanya beberapa inci dari Pak Rendra. “Aku tidak main-main. Kau tidak punya pilihan. Kalau kau menolak, besok rumah ini akan kusita sebagai jaminan awal, dan keluargamu akan tidur di jalanan.”

Suasana hening seketika. Hanya suara tangisan lirih Lila dan Maira yang terdengar. Hati Camelia berdenyut nyeri mendengar tangisan kedua adiknya, mereka pasti ketakutan, banyak hal buruk yang bisa saja terjadi kepada mereka bertiga, seperti menjadi alat transaksi jual-beli organ manusia—itu hal paling buruk yang Camelia pikirkan.

Camelia menoleh ke belakang menatap sendu adik-adiknya. Lila baru 18 tahun, baru lulus sekolah. Maira bahkan baru masuk SMA. Mereka masih terlalu muda, mereka bahkan memeluk Camelia sangking takutnya.

Dengan suara serak, Camelia berkata, “Kalau memang harus ada yang pergi, aku yang akan ikut. Tapi jangan sentuh adik-adikku sedikit pun!"

“Camelia, tidak!” jerit ayahnya. “Aku tidak akan membiarkanmu—”

Namun Nerios menyeringai tipis, tatapan matanya berkilat penuh kemenangan. “Tidak perlu repot memilih. Aku memang hanya menginginkan satu orang, yaitu dirimu.”

Camelia membeku. Itu artinya memang dirinya sudah diincar oleh Nerios, tapi apa alasannya? Mereka hanya teman satu kelas saat SMA dan kuliah, interaksi mereka pun tidak terlalu sering.

"Kenapa harus aku?" tanya Camelia penuh rasa penasaran.

Nerios menatapnya tanpa berkedip. “Karena sejak lama, aku sudah menunggumu. Dan sekarang kau akhirnya jadi milikku.”

“Mil—milikmu?” suara Camelia tercekat, campuran marah dan takut. Siapa yang tidak takut melihat perubahan besar dalam diri Nerios? Pria itu kini terlihat kejam.

Nerios mendekat, menunduk hingga wajahnya sejajar dengan Camelia. “Ya. Kau yang kupilih. Bukan adikmu. Bukan orang lain. Hanya kau.”

Camelia menggertakkan gigi. “Kau gila! Aku bukan barang!”

Senyum Nerios melebar tipis, tangannya terkepal kuat di samping tubuhnya, berusaha keras agar tidak menyentuh pipi Camelia yang terlihat merona. “Tidak. Kau jauh lebih berharga dari itu. Kau adalah hutang yang tidak ternilai. Dan mulai malam ini, kau akan tinggal bersamaku sampai hutang itu lunas… atau selamanya.”

Tangisan adik-adiknya pecah lebih keras, mereka semakin erat memeluk Camelia, terlihat sangat tidak rela kehilangan kakak yang selama ini membantu mereka. Pak Rendra jatuh berlutut, menutupi wajah dengan kedua tangan. “Maafkan Papa, Camelia… Papa tidak bisa berbuat apa-apa.”

Camelia menahan air mata. Ia tahu, jika ia menolak, keluarganya akan hancur. Rumah disita, adik-adiknya menderita. Tidak ada pilihan.

Dengan suara serak ia berkata, “Baik. Aku ikut. Tapi jangan pernah sakiti mereka.”

Tatapan Nerios melunak sesaat, lalu kembali tajam. “Aku tidak peduli dengan mereka. Aku hanya peduli padamu.”

Ia meraih tangan Camelia tanpa bertanya, menariknya dengan paksa. Camelia sempat berusaha melepaskan diri, tapi genggaman Nerios kuat seperti besi.

“Ayo, Camelia. Mulai malam ini, kau akan mengenal arti sebenarnya dari kata ‘milikku’,” ucapnya dingin.

"Sebentar! Aku harus mengambil barang-barangku terlebih dahulu!" Camelia menyentak tangan Nerios lebih kuat membuat cengkraman itu terlepas.

Nerios menatap marah Camelia, ia tidak suka dengan suara wanita itu yang bernada tinggi dan juga hentakan pada tangannya.

"Kau tidak membutuhkan barang jelek itu, aku sudah menyediakan semua kebutuhanmu!" ungkap Nerios.

"Br*ngs*k! Jadi kau sudah merencanakan semua ini sejak awal!" maki Camelia, ia menggeleng pelan, tak percaya dengan perbuatan Nerios.

Nerios tertawa sumbang, ia kembali menarik tangan Camelia, kali ini lebih kasar. "Jangan menguji kesabaranku, Camelia!" bentaknya.

"Cepat ikut aku, atau aku akan menyakiti keluargamu!" ancam Nerios, membuat Camelia menggertak giginya.

Tak ada pilihan lain, wanita itu mengangguk pasrah, tanda siap dibawa oleh Nerios. Dan Nerios tersenyum kemenangan melihat anggukan itu, suara hujan dan tangisan membuat hatinya semakin senang seakan telah mendapatkan sebuah penghargaan yang selama ini ia kejar.

Camelia menoleh sekali lagi ke arah ayah dan adik-adiknya yang menangis. Air matanya jatuh.

"Nanti bilang sama bundanya pelan-pelan aja, ya, ayah! Jangan bikin bunda khawatir, karena aku yakin aku bakalan baik-baik aja!" pesan Camelia sebelum tubuhnya keluar dari dalam rumah.

Pintu itu tertutup, tapi ia masih jelas mendengar suara raungan ayahnya, meminta maaf padanya, memohon agar dirinya bisa menjaga diri baik-baik, membuat hati Camelia seakan remuk.

"Tak perlu menangis, aku tidak suka melihat air matamu turun karena mereka!" sentak Nerios, lalu dengan perlahan mengusap air mata yang turun membasahi pipi Camelia.

Camelia menepis tangan pria itu dengan kasar, ia tak sudi disentuh olehnya. Dengan mata yang memerah dan linangan airmata, ia menatap tajam Nerios.

"Pria br*ngs*k!"

Tolong dukung cerita pertama aku ya!

Jangan lupa vote dan komen

Salam cinta, biebell

Terpopuler

Comments

MilitaryMan

MilitaryMan

Ceritanya bikin saya ketagihan, gak sabar mau baca kelanjutannya😍

2025-08-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!