"Ambil saja suamiku, tapi bukan salahku merebut suamimu!"
Adara yang mengetahui pengkhianatan Galang—suaminya dan Sheila—sahabatnya, memilih diam, membiarkan keduanya seolah-olah aman dalam pengkhianatan itu.
Tapi, Adara bukan diam karena tak mampu. Namun, dia sudah merencanakan balas dendam yang melibatkan, Darren—suami Sheila, saat keduanya bekerjasama untuk membalas pengkhianatan diantara mereka, Darren mulai jatuh dalam pesona Adara, tapi Darren menyadari bahwa Adara tidak datang untuk bermain-main.
"Apa yang bisa aku berikan untuk membantumu?" —Darren
"Berikan saja tubuhmu itu, kepadaku!" —Adara
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Lima
Hari itu cuaca cukup cerah saat Sheila menyusuri jalan pulang dari kantor. Setiap langkah terasa semakin berat, bukan karena kelelahan, tetapi karena rasa kesalnya pada Adara. Baru sehari dia di kantor, sudah membuat dia jadi bulan-bulanan.
"Awas kau, Dara. Aku akan buat kau menangis kejang setelah tau suami yang kau cintai lebih memilihku!" seru Sheila.
Sesampainya di rumah, Sheila membuka pintu dengan senyum yang merekah. Namun, senyumnya perlahan-lahan memudar saat melihat sosok yang tidak asing lagi di hadapannya. Darren, suaminya yang merupakan seorang aktor ternama, sedang duduk di lantai, dikelilingi oleh mainan Fuji. Terlihat jelas senyum ceria di wajah putri mereka, namun itu tak menghilangkan rasa khawatir yang tiba-tiba membuncah di dada Sheila.
Jika suaminya telah berada di rumah akan banyak peraturan yang harus dia taati. Mulai dari pulang tepat waktu dan harus memasak buat anak mereka. Darren tak mau jika pembantu yang membuat lauk buat anaknya.
"Eh, ini siapa yang tamasya di rumah kita?" Sheila membuat nada bercanda, berharap bisa mencairkan suasana hatinya yang sedang kacau.
Darren, yang sedang asyik bermain puzzle bersama Fuji, langsung menatap Sheila dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Surprise! Aku ada di rumah, Sayang! Pasti kamu terkejut karena aku pulang lebih awal!" seru Darren sambil mengalihkan perhatian ke Fuji.
Sheila menyadari ada yang tidak beres. Dia melangkah lebih dekat, melihat putrinya dengan seksama. "Fuji, sayang, tadi kamu main di mana?" Tanya Sheila, penasaran.
“Mama lihat, Fuji jatuh!” teriak Fuji sambil menunjuk lututnya yang sedikit berdarah. Sheila merasakan jantungnya terhenti sejenak. Luka itu tampak cukup dalam.
Darren langsung berdiri, menghampiri Fuji. "Sheila! Ini yang aku tak suka kalau kamu bekerja. Anak jadi nggak ke urus. Kenapa kamu tak berhenti saja? tanya Darren, tone nada suaranya tajam, jelas terkesan marah.
Sheila terkejut. "Darren, tenang dulu. Itu hanya luka kecil, dia baik-baik saja," jawab Sheila berusaha tampak tenang. Namun, hatinya bergetar melihat suaminya yang diliputi kekhawatiran.
"Jadi, kamu lebih memilih kerja ketimbang menjaga anak kita? Apa yang kamu cari di luar rumah sana?" Darren bertanya, matanya menatap tajam ke arah Sheila.
"Darren, kamu juga tahu aku sudah berusaha sebaik mungkin. Kerja itu memang penting,” Sheila balas, suaranya pelan namun menampakkan ketegasan. "Dan aku juga butuh aktivitas di luar rumah. Mungkin aku punya anak, tapi itu tidak berarti aku harus berhenti dari apa yang aku cintai."
“Cintai? Atau hanya untuk mengalihkan rasa bosan? Lihatlah, putri kita terluka karena tidak ada yang memperhatikannya!” Darren mengeluarkan nada emosional, dan Sheila mulai merasakan potongan hatinya yang lainnya turut terhempas.
Sheila menarik napas dalam-dalam. "Darren, rasa suntuk di rumah membuatku hampir gila. Tanggung jawab sebagai ibu itu berat, dan terkadang, aku ingin menikmati hidupku juga."
Fuji berusaha menghibur ayahnya dengan senyuman manisnya, "Papa, Fuji mau bermain sama Papa. Jangan marah, ya!"
Darren melunak sedikit, tetapi mata tajamnya tetap menyorot Sheila. "Kamu tidak mengerti apa yang aku rasakan. Setiap kali aku melihatmu keluar, aku khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi pada kalian."
"Itu bukan alasan untuk memintaku berhenti dari pekerjaanku, Darren," jawab Sheila, tegas. "Aku mencintaimu dan Fuji, tapi aku juga mencintai pekerjaanku dan apa yang aku lakukan."
Suasana di ruangan itu menjadi semakin tegang. Fuji kini duduk di antara mereka, wajahnya bingung melihat kedua orang tuanya berdebat.
"Papa, Mama, jangan berantem! Ayo kita main!" Fuji menggenggam tangan ibunya dan ayahnya, mencoba menarik mereka kembali ke momen bahagia yang sempat terputus.
Sheila dan Darren berusaha menahan emosi, sampai akhirnya Darren menggenggam tangan Fuji, “Baiklah, aku akan beri kamu satu kesempatan lagi. Seandainya aku melihat kamu melakukan satu kesalahan kecil aja di dalam bekerja, jangan harap aku memaafkan kamu!"
"Apa maksudmu?" tanya Sheila.
"Jika aku mendengar kamu melakukan sesuatu yang salah di tempat kerja, aku akan bertindak tegas. Kamu bekerja bukan untuk memenuhi kebutuhan kita tapi hanya untuk gaya hidupmu. Padahal apa pun yang kamu minta akan aku berikan, jika itu bukan untuk sekedar pamer dan foya-foya," ucap Darren.
Darren membatasi pemberian uang pada Sheila sejak melihat istrinya suka berfoya-foya dan membeli barang branded hanya untuk sekedar pamer dengan tetangga dan teman-temannya.
Bukannya Darren pelit jika dia membatasi pemberian uang untuk Sheila. Seberapa pun yang dia berikan tak pernah cukup bagi istrinya sehingga dia membatasi pemberian uang.
"Sudah aku katakan jika aku kerja untuk mengisi waktu luang. Dengan kerja aku juga tak meminta uang lagi denganmu untuk membeli barang-barang yang aku inginkan. Dari pada aku harus pergi ke luar negeri atau ke luar kota terus. Lebih baik bekerja, aku masih bisa pulang setiap hari!" seru Sheila.
"Sudahlah, jangan berdebat lagi. Lihatlah Fuji jadi takut," kata Darren. Dia melihat putrinya jadi terdiam dengan wajah ketakutan. Darren lalu menggendong putrinya dan membawanya masuk ke kamar. Meninggalkan Sheila seorang diri.
**
Galang membuka matanya setelah merasakan sinar matahari masuk ke kamarnya. Dia melihat jam telah menunjukan. pukul tujuh pagi. Dia langsung bangun. Matanya melihat sang istri yang sedang berdandan, membuat pria itu keheranan.
"Kamu mau kemana, Sayang?" tanya Galang dengan raut wajah keheranan.
"Mau ke kantor dong!" jawab Adara singkat
Dahi Galang berkerut memikirkan jawaban istrinya. Yang dia tahu, istrinya memiliki beberapa butik, tapi sepagi ini tak mungkin dibuka. Siapa yang mau beli? Tanya Galang dalam hatinya.
"Kenapa sepagi ini kamu pergi? Apa ada meeting?" tanya Galang dengan raut wajah penasaran.
"Tak ada meeting. Aku hanya ingin melihat apa saja yang karyawan lakukan di perusahaan milik ku," jawab Adara.
"Jadi kamu ingin ke perusahaan?" tanya Galang lagi.
"Ya. Aku ingin memastikan semua baik-baik saja. Aku tak mau perusahaan yang aku bangun dari nol itu akhirnya bangkrut!" seru Adara.
Perusahaan yang saat ini dipimpin suaminya, merupakan perusahaan milik pribadinya. Dia bangun dari uang tabungan yang papa Adara beri.
"Jadi ucapan Adara untuk datang ke perusahaan bukanlah sekedar omongan saja. Aku harus mengatakan pada Sheila jika Adara benar -benar datang ke perusahaan setiap harinya," gumam Galang dalam hati.
Good Andara jangan mau di injak 2 sama nenek gombel Sheila
kl mau pngsan,slakan aja....drpd mkin malu....😝😝😝