"Jangan pernah berharap ada cinta dalam hubungan ini, Ndu." - Wisnu Baskara Kusuma.
"Aku bahkan tidak berharap hubungan ini ada, Mas Wisnu." - Sewindu Rayuan Asmaraloka.
*****
Sewindu hanya ingin mengejar mimpinya dengan berkuliah di perantauan. Namun, keputusannya itu ternyata menggiringnya pada garis rumit yang tidak pernah dia sangka akan terjadi secepat ini.
Di sisi lain, Wisnu lelah dengan topik pernikahan yang selalu orang tuanya ungkit sejak masa kelulusannya. Meski dia sudah memiliki kekasih, hubungan mereka juga masih tak tentu arah. Belum lagi Wisnu yang masih sibuk dengan masa dokter residen di tahun pertama.
Takdir yang tak terduga mempertemukan kedua anak manusia ini dalam satu ikatan perjodohan.
Pernikahan untuk menjemput ketenangan hidup masing-masing. Tanpa cinta. Hanya janji bahwa hati mereka tak akan ikut terlibat.
Akankah perjanjian yang mereka buat dalam pernikahan ini dapat ditepati? Atau malah membawa mereka jatuh ke dalam perasaan masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amerta Nayanika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salah Arti
Sewindu meringis pelan begitu terbangun dari tidurnya. Dia melirik pergelangan kakinya yang dibiarkan tanpa selimut.
Tampak sebuah perban elastis membalut pergelangan kaki kirinya. Sebuah handuk kecil dan plastik es yang sudah mencair juga tergeletak di atas meja belajarnya.
“Sudah bangun?”
Wisnu berdiri di depan pintu kamar yang dibiarkan sedikit terbuka. Padahal, Sewindu yakin dia menutup pintu kamarnya rapat-rapat semalam.
Setelah daun pintu terbuka lebih lebar, Sewindu dapat mencium aroma kuah bakso hangat dari luar sana. Aroma yang berhasil membuatnya lebih semangat membuka mata.
“Semalam Mas Wisnu masuk ke kamarku?” tanyanya seraya bangkit dari rebahnya.
“Tadi pagi,” timpal Wisnu.
Wisnu yang seolah sedang menjaga jarak — berdiri di dekat meja belajar dan bersandar di sana. Tatapannya tak lepas dari pergelangan kaki Sewindu.
“Masih sakit nggak?” tanya pria itu tanpa mendekat.
Jangankan mendekat, Wisnu bahkan tidak melirik ke arah wajah Sewindu sama sekali. Dia hanya membalikkan badan dan membereskan kantong es beserta handuk kecil di atas meja.
Bukannya menjawab, Sewindu malah melemparkan tanya. “Kenapa langsung masuk gitu aja? Kenapa nggak ijin dulu sama aku?”
Wisnu akhirnya menatap pada mata Sewindu yang jelas baru bangun dari tidur lelapnya.
“Kan kamu tidur,” sahut Wisnu dengan santainya.
Sewindu yang mendengar jawaban tak acuh dari pria yang lebih tua darinya itu lantas berkerut kesal. Dia bergerak perlahan untuk bangkit dari kasurnya.
“Mau dibantu?”
“Nggak usah,” sahut Sewindu cepat, “Aku tahu, kamu cuma basa-basi.”
Masih seperti semalam, dia melompat-lompat kecil untuk berpindah tempat. Dengan berpegangan pada berbagai barang dan dinding di sekitarnya, Sewindu berjalan tertatih.
Namun, saat di ambang pintu, dia berhenti sejenak. Gadis itu kembali menoleh pada Wisnu yang masih di dalam kamar.
“Aku cuma keseleo, Mas. Nggak perlu sampai dibalut perban begini. Gerah tahu!”
Wisnu yang mendengar itu, tak menggubris. Dia berjalan begitu saja melewati Sewindu untuk berjalan ke dapur lebih dulu.
Raut sengit yang semula bersemayam di wajah manis itu, sirna seketika. Sewindu tak dapat menutupi sorot lapar di matanya.
Semangkuk bakso yang masih panas tersaji di atas meja makan — hal yang menjadi pusat tatapannya sekarang.
Namun, bibirnya sedikit mengerucut saat menyadari bahwa hanya ada satu mangkuk bakso di sana. Padahal mereka tinggal berdua. Sudah pasti itu milik Wisnu, pikirnya.
Pria yang sedang menuangkan air ke dalam gelas bersih itu melirik pada Sewindu yang melanjutkan langkahnya menuju kulkas. Entah apa yang dia cari di sana.
Yang pasti, mata Sewindu langsung melebar saat benda itu terbuka. “Waahh!” Satu kata yang keluar dari bibirnya.
Jika sebelumnya kulkas itu hanya berisi sayuran yang Sewindu beli di warung, kini bermacam minuman dan makanan instan memenuhinya. Tak hanya itu, berbagai buah dan sayuran segar tampak mendominasi di sana.
Satu hal yang sangat menarik perhatiannya. Sambil masih berpegangan di pintu kulkas, dia mengambil satu cup es krim dari dalam sana.
“Makan nasi dulu!” ucap Wisnu sambil merebut makanan manis itu dari tangan Sewindu.
Pria itu menutup pintu kulkas yang menarik perhatian Sewindu sebelumnya. “Nanti malah nggak makan, kalau kamu makan ini dulu.”
Sewindu mencibir pelan. Sikap Wisnu benar-benar seperti orang tua pada umumnya.
“Ya, ini aku mau masak. Sambil nunggu masakannya matang, aku makan es krim,” sahutnya, berusaha merebut es krim di tangan Wisnu.
Wisnu mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Sudah saya hangatkan bakso itu buat kamu. Makan itu saja, nggak usah masak.”
Mendengar itu, Sewindu berhenti dalam perebutan es krim dari Wisnu. Wajahnya sumringah.
“Beneran, buat aku?” tanyanya.
Begitu Wisnu mengangguk, Sewindu sontak melesat tertatih ke arah semangkuk bakso hangat itu. Dia mendudukkan dirinya dengan nyaman di sana.
Benar saja, aroma dari kuah kaldu semakin mengguncang perut kosongnya. Asap tipis yang menguar, menggelitik Sewindu untuk segera menyantapnya.
Wisnu yang melihat itu, menggeleng pelan. Diletakkannya es krim itu di hadapan Sewindu. Biar gadis itu memakannya setelah menyantap makanan utama.
“Mas Wisnu nggak ikut makan?” tanyanya sambil mendongak.
Pria itu menggeleng sebagai jawaban. Sepertinya dia juga masih enggan duduk dalam jarak yang terlalu dekat dengan Sewindu.
Selama mereka tinggal berdua ini, tak pernah sekali pun mereka menyantap makan bersama. Jika Sewindu makan di meja makan, Wisnu akan mengambil tempat di depan televisi.
“Kangen sama Ibu?” tanya Wisnu tiba-tiba di sela suara aliran air cucian piring.
Pria itu kini tengah berkutat dengan busa sabun dan panci bekas menghangatkan bakso di tangannya. Tak repot-repot membalikkan tubuhnya untuk berbicara dengan Sewindu.
Sewindu menaikkan alis tanpa menghentikan kegiatan makannya. Lalu, gadis itu mengedikkan bahunya sekilas.
“Biasa aja. Memangnya kenapa?”
Wisnu kembali menggeleng sebagai jawaban. Dia kembali menggosok panci kecil itu dengan spons berbusa di tangannya.
Dari pantulan kaca yang menutupi rak piring, dia dapat melihat samar bayangan Sewindu.
Gadis itu tampak lahap menyantap menu sarapannya. Seolah demam yang hinggap di tubuhnya tadi pagi hanya sebuah halusinasi yang menghampiri Wisnu.
Padahal jelas sekali Wisnu mendengar gadis itu mengigau tentang Ibu dalam tidurnya. Suhu tubuhnya juga tergolong panas tadi pagi. Mungkin karena terlalu lama menahan nyeri yang menjalar di kakinya.
Itulah alasan mengapa Wisnu masuk ke dalam kamar Sewindu saat pagi buta. Mengompres kakinya dan membalutnya dengan perban elastis.
“Tempat obat kamu taruh di mana?” tanya Wisnu seraya mengeringkan tangan.
Tampak Sewindu mengerutkan keningnya sebentar. “Kayaknya di rak, di bawah tv.”
“Kenapa? Mas Wisnu sakit?” lanjutnya bertanya.
Bukannya menjawab atau segera menuju tempat yang disebutkan Sewindu, pria itu malah diam dan mendekat pada Sewindu.
Kunyahan gadis itu memelan saat tangan Wisnu menyentuh dahinya. Aroma sabun cuci piring menguar dari tangan besar itu.
Dingin langsung menyapa Sewindu begitu tangan itu menempel sempurna di dahinya. Hanya beberapa detik sebelum akhirnya Wisnu kembali menarik tangannya.
Lalu, pria itu berlalu begitu saja dari sana. Meninggalkan Sewindu yang kini menyentuh dahinya sendiri.
Setelahnya, dia kembali menoleh pada sosok Wisnu yang kini muncul bersama selembar paracetamol di tangannya.
“Itu nanti diminum setelah makan.”
“Mas Wisnu suka sama aku?” Pertanyaan itu meluncur mulus dari bibir Sewindu.
Wisnu yang mendengarnya sontak menunduk. Ditatapnya Sewindu yang kini mendongak padanya dengan kening berkerut dalam.
TUK!
Satu sentilan pelan mendarat di dahi mulus itu. Namun, dari suaranya tentu tidak sepelan itu.
“Jangan mikir kejauhan,” sahutnya santai sambil berjalan pergi.
Samar suara televisi yang dinyalakan terdengar dari ruang keluarga. Seperti biasanya, mereka tak pernah betah berada di satu ruangan yang sama.
Sementara, Sewindu mengusap dahinya yang memerah. Rasanya panas, tentu saja.
“Mas!” teriaknya tanpa repot-repot berdiri. “Nanti bisa antar aku ngumpulin berkas daftar ulang nggak?”
“Nggak!”
Sewindu terperangah mendengar jawaban cepat itu. Wisnu seolah sudah menyiapkannya saat Sewindu baru membuka mulutnya untuk bertanya.
Sepertinya, memang benar Wisnu tidak menyukainya. Lebih tepatnya, tidak akan pernah menyukainya. Sekedar membantunya pun, Wisnu ogah-ogahan.
“Mas!”
Tak ada jawaban dari sana. Tapi, Sewindu tahu Wisnu mendengarkannya.
“Aku juga nggak suka sama kamu!” lanjutnya.
Sementara, Wisnu yang mendengar itu sontak menatap jauh pada dinding yang membatasi tempat mereka. Sebuah senyum tipis terbit di wajahnya tanpa sadar.