Hidup hanya untuk berjalan di atas luka, itulah yang dialami oleh gadis bernama Anindira Sarasvati. Sejak kecil, ia tak pernah mendapat kasih sayang karena ibunya meninggal saat melahirkan dirinya, dan ayahnya menyalahkan Anin atas kematian istrinya karena melahirkan Anin.
Tak hanya itu, Anin juga selalu mendapat perlakuan tak adil dari ibu dan adik tirinya.
Suatu hari, ayahnya menjodohkan Anin dengan putra sahabatnya sewaktu berperang melawan penjajah. Anin tak memiliki pilihan lain, dia pun terpaksa menikahi pria bernama Giandra itu.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dina Aisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melepas Rindu
Seminggu berlalu, Anin duduk di kursi kayu di teras depan rumah. Jemarinya sibuk merajut baju bayi yang belum rampung. Sesekali ia berhenti, menatap kosong ke arah jalanan yang sepi.
“Ivana …” panggil Anin dengan lirih.
“Iya, Nin?” sahut Ivana yang duduk di kursi sebelahnya.
“Kenapa Gian dan Candra belum pulang juga? Mereka baik-baik aja, kan?” tanya Anin dengan suara bergetar.
Ivana menghela napas panjang. “Mungkin proyeknya belum selesai jadi mereka belum bisa pulang,” jawabnya berusaha menenangkan.
“Tapi aku rindu sama Giandra. Sejak mengandung anak kedua, rasanya mau lihat wajah Giandra terus,” ucap Anin.
Ia mengembuskan napas pelan, kemudian kembali menekuni rajutannya yang baru setengah jadi.
Tiba-tiba suara deru mobil terdengar mendekat. Anin langsung mengangkat wajahnya ketika mobil yang sangat familier terhenti di depan gerbang.
“Gian ...” gumamnya, lalu beranjak.
Giandra keluar dari mobil dan melangkah mendekat, Anin langsung menghampiri dengan wajah berseri.
“Gimana kabar kamu? Sehat, kan? Nggak kelaparan di sana, kan? Nggak sakit juga, kan?” cecar Anin dengan sorot mata yang dipenuhi rasa cemas.
Giandra terkekeh kecil, membuat Anin mengerutkan kening. “Ada yang lucu dari pertanyaanku?” tanyanya heran.
“Nggak ada cuma wajah kamu gemesin banget sampai bikin aku nggak tahan buat ketawa,” goda Giandra.
“Apa sih!” Anin mengerucutkan bibir hingga maju lima senti.
“Oh iya, aku bawa hadiah buat kamu,” ungkap Giandra tiba-tiba.
“Hadiah apa?” Mata Anin langsung berbinar penuh harap.
Giandra menunjukkan sebuah kanvas yang berisi lukisan seorang pria dan wanita duduk di antara rumput taman sembari menatap bulan di langit.
“Aku melukis kita berdua karena aku berharap bisa lakuin hal itu sama kamu,” ucap Giandra jujur.
Anin tercengang kagum, jemarinya gemetar menyentuh permukaan kanvas. “Indah banget, Mas ... Makasih yaa. Ini hadiah paling berharga buat aku,” ucap Anin lirih dengan mata berkilat haru.
“Sama-sama, sayang.” Giandra menaruh lukisan itu, kemudian menarik Anin ke dalam pelukan hangatnya.
“Cuma lukisan doang sampe segitunya. Nih gue juga punya buat Ivana,” cibir Candra dengan tatapan sinis.
Dia melangkah mendekati Ivana yang masih duduk tanpa menyambutnya.
“Kamu bawa apa?” tanya Ivana datar.
Candra mengeluarkan sebuah kotak berukuran sedang, menyerahkannya pada Ivana. Mata Ivana membelalak melihat emas dalam kotak itu.
“Wow, kamu beliin aku kalung dan gelang emas?” tanya Ivana antusias.
“Iya dong. Hadiah mahal untuk istri sesempurna kamu,” jawab Candra.
“Makasih ya, kamu emang suami terbaik di dunia,” puji Ivana, kemudian memeluk erat tubuh Candra.
Sementara itu, Giandra terpaku menatap Candra. Andai Ivana tahu suaminya kasih emas bukan karena cinta tapi karena menutupi kebejatannya yang selingkuh dengan tujuh wanita berbeda.
Candra melirik Giandra sembari menyeringai. “Lihat tuh gue yang cuma sopir aja bisa beliin emas. Masa lu yang insinyur muda cuma kasih Anin lukisan? Hasil sendiri pula,” sindirnya.
Giandra melepas pelukannya, kemudian berjongkok—menjajarkan posisi, dan menangkup kedua pipi Anin.
“Jangan lihat hadiah dari nilainya tapi lihatlah dari niat dan usahaku untuk selalu ingat kamu sebagai pendamping hidupku,” tutur Giandra lembut.
Anin mengangguk kecil. “Aku selalu menghargai pemberian kamu,” katanya.
Giandra tersenyum sumringah, kemudian mengecup kening dan bibir Anin dengan penuh cinta.
...🌹🌹🌹...
Pada malam hari, Anin berbaring di tempat tidur sembari menatap ke pintu, menanti Giandra yang tengah mandi.
“Gian lama banget sih! Aku kan pengen dipeluk,” gumam Anin sembari mengerucutkan bibir.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, Giandra masuk hanya mengenakan handuk yang terlilit di pinggangnya, bahkan rambutnya pun masih basah.
“Loh, belum tidur? Udah malem ini,” ungkap Giandra.
Dia berdiri di samping Anin, mengambil handuk kecil, dan mengelap rambutnya.
“Emm, aku nunggu kamu ...” sahut Anin dengan nada pelan.
“Nunggu apa, hayo?” tanya Giandra dengan mata menyipit dan menyeringai.
“Nunggu kamu selesai. Aku mau tidur bareng, rindu soalnya,” jawab Anin.
“Rindu sama aku atau rindu sama yang bawah?” Giandra menunjuk burung yang tertutup handuk.
“Dua-duanya sih,” jawab Anin sembari tersipu malu.
Giandra menyipitkan mata, lalu menuruni handuk yang terlilit di pinggang. Dia pun duduk di kasur, merangkak mendekati Anin, dan tanpa aba-aba, mendorong tubuh Anin, membuatnya terlentang.
Anin menelan saliva, melotot menatap Giandra yang berada di atasnya.
“Karena kamu berani minta duluan, aku akan apresiasi dengan menuhi hajat kita semalaman,” ucap Giandra sembari menaikkan satu alisnya.
Tanpa menunggu jawaban, Giandra langsung mencumbu leher Anin, kemudian tangannya menaikkan baju Anin hingga ke atas.
Anin memejamkan mata, merasakan hawa panas di sekujur tubuhnya. Giandra terus menjelajah tubuhnya membuat mereka semakin terasa panas.
“Kamu siap, sayangku?” Giandra berbisik di telinga Anin.
Anin mengangguk pelan. Giandra langsung menghentakkan burung yang telah berpuasa selama seminggu itu.
“Ah—”
Giandra langsung menutup mulut Anin. “Sttt, jangan berisik ... Nanti anak kita bangun,” ujarnya.
Anin menelan saliva, menatap wajah Giandra dengan napas tersengal-sengal.
Giandra terus menyatukan cinta mereka, bahkan membuat tempat tidur kayunya berdecit pelan. Anin menarik pelan rambut Giandra sembari mengigit bibir bawahnya—berusaha menahan suara yang mendesak keluar.
...🌹🌹🌹...
Keesokan harinya, cahaya matahari menembus melalui tirai jendela. Namun, Anin masih terbaring lemas di tempat tidur. Sementara Giandra tertidur lelap di dalam pelukannya.
“Duh, badanku pegel-pegel karena tempur berjam-jam,” ucap Anin dengan suara pelan.
Anin menghela napas berat, menunduk, dan menatap wajah Giandra yang tampak polos seperti bayi.
“Pasti nggak mudah nahan hasrat kamu sebagai pria selama jauh dari aku ...” tutur Anin.
Anin menepuk-nepuk pelan kepala Giandra, kemudian mencium kening. Embusan napas Giandra mengenai wajahnya, Anin menatap sejenak, dan mencium bibir Giandra.