NovelToon NovelToon
Rindu Di Bawah Atap Yang Berbeda

Rindu Di Bawah Atap Yang Berbeda

Status: tamat
Genre:Cintapertama / Cinta Terlarang / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga / Cinta Murni / Romansa / Tamat
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: Sang_Imajinasi

Berawal dari sebuah gulir tak sengaja di layar ponsel, takdir mempertemukan dua jiwa dari dua dunia yang berbeda. Akbar, seorang pemuda Minang berusia 24 tahun dari Padang, menemukan ketenangan dalam hidupnya yang teratur hingga sebuah senyuman tulus dari foto Erencya, seorang siswi SMA keturunan Tionghoa-Buddha berusia 18 tahun dari Jambi, menghentikan dunianya.

Terpisahkan jarak ratusan kilometer, cinta mereka bersemi di dunia maya. Melalui pesan-pesan larut malam dan panggilan video yang hangat, mereka menemukan belahan jiwa. Sebuah cinta yang murni, polos, dan tak pernah mempersoalkan perbedaan keyakinan yang membentang di antara mereka. Bagi Akbar dan Erencya, cinta adalah bahasa universal yang mereka pahami dengan hati.

Namun, saat cinta itu mulai beranjak ke dunia nyata, mereka dihadapkan pada tembok tertinggi dan terkokoh: restu keluarga. Tradisi dan keyakinan yang telah mengakar kuat menjadi jurang pemisah yang menyakitkan. Keluarga Erencya memberikan sebuah pilihan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12

Dua minggu pertama di bulan Desember terasa seperti sebuah mimpi yang aneh dan menegangkan bagi Akbar dan Erencya. Kenyataan bahwa tiket pesawat itu ada—sebuah file PDF di ponsel Akbar yang sering ia tatap hingga hapal nomor penerbangannya—mengubah atmosfer hubungan mereka. Euforia telah sedikit mereda, digantikan oleh debaran antisipasi yang konstan, sejenis energi gugup yang membuat perut terasa tergelitik dan tidur menjadi kemewahan yang langka. Setiap panggilan video kini selalu diakhiri dengan kalimat yang sama: "Tinggal... hari lagi."

Di Padang, hari-hari Akbar dipenuhi dengan persiapan sunyi. Perjuangannya mencari uang telah usai, kini digantikan oleh perjuangan melawan rasa gugupnya sendiri. Ia membongkar lemari pakaiannya yang tidak seberapa isinya, memilih pakaian terbaik yang ia miliki. Dua kemeja flanel yang masih terlihat bagus, selembar kemeja batik yang biasa ia pakai untuk acara formal di kampus, dan beberapa kaus oblong yang warnanya belum pudar. Ia menyetrikanya dengan hati-hati, melipatnya dengan rapi, dan memasukkannya ke dalam tas ransel lamanya. Rasanya begitu sureal, berkemas untuk sebuah perjalanan yang beberapa bulan lalu hanya ada dalam angan-angannya yang paling liar.

Ia sadar ia harus membawa sesuatu untuk Erencya. Bukan sesuatu yang mahal—ia tidak punya kemewahan itu—tetapi sesuatu yang bermakna. Suatu sore, ia pergi ke Pasar Atas Bukittinggi, menghabiskan waktu berjam-jam menyusuri lorong-lorong yang menjual kerajinan tangan. Matanya akhirnya tertambat pada sehelai selendang songket kecil berwarna biru lembut, ditenun dengan benang perak yang berkilauan samar saat terkena cahaya. Motifnya adalah pucuk rebung, sebuah simbol harapan dan pertumbuhan. Itu sempurna. Harganya cukup menguras sisa tabungannya, tapi ia tidak peduli. Ia membayangkannya tersampir di bahu Erencya.

Malam sebelum ia berangkat, saat ia selesai memasukkan selendang yang sudah terbungkus rapi ke dalam tasnya, ibunya masuk ke kamar. Wanita itu membawakan segelas susu jahe hangat, penawar lelah andalannya.

"Sudah selesai berkemas?" tanya Ibu sambil meletakkan gelas di meja belajar Akbar.

Akbar mengangguk. "Sudah, Bu."

Ibunya duduk di tepi tempat tidur, memandangi tas ransel putranya. "Jaga diri baik-baik di kota orang, ya, Bar. Ingat, kamu itu bawa nama baik keluarga. Jaga salatmu, jangan ditinggal. Bicaralah yang sopan, bersikaplah yang santun."

"Pasti, Bu. Akbar akan ingat semua nasihat Ibu," jawab Akbar, hatinya tersentuh oleh perhatian ibunya yang tak pernah putus.

Ibunya lalu merogoh saku daster batiknya, mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu yang sudah sedikit lecek. "Ini, pegang. Ibu tidak punya banyak, tapi pakailah untuk tambahan jajan di sana. Jangan sampai kamu kelaparan. Beli oleh-oleh untuk temanmu itu."

Mata Akbar berkaca-kaca. Ia tahu betapa berartinya uang itu bagi ibunya. "Tidak usah, Bu. Uang Akbar sudah cukup, sungguh."

"Ambil," kata ibunya tegas, meraih tangan Akbar dan meletakkan uang itu di telapaknya. "Ini bukan utang, ini doa restu dari Ibumu. Biar perjalananmu lancar."

Akbar tidak bisa menolak. Ia menggenggam uang itu erat-erat, lalu memeluk ibunya. "Terima kasih, Bu. Doakan Akbar selamat sampai tujuan dan pulang lagi dengan selamat."

"Pasti, Nak. Pasti," bisik ibunya sambil menepuk-nepuk punggungnya.

Di Jambi, persiapan Erencya berjalan dalam tensi yang berbeda. Misinya adalah mengeksekusi alibi yang telah ia bangun dengan hati-hati bersama Lusi. Momen penentu itu datang saat makan malam keluarga, empat hari sebelum kedatangan Akbar.

"Papa, Mama," Erencya memulai dengan suara yang ia usahakan terdengar santai. "Jadi, soal proyek fotografi yang Erencya ceritakan itu, Bu Guru sudah kasih tanggal pastinya. Kita harus kumpulkan foto sebelum liburan selesai. Jadi... Erencya sama Lusi rencananya mau mulai hunting foto dari hari Jumat sampai Minggu besok."

Papanya yang sedang membaca berita di tabletnya menurunkan sedikit perangkat itu. "Jumat? Itu kan hari sekolah?"

"Sekolah sudah selesai, Pa. Tinggal terima rapor saja hari Sabtunya. Jadi Jumat itu sudah bebas," jawab Erencya, jantungnya berdebar. Lusi sudah membantunya memeriksa jadwal sekolah hingga detail terkecil.

"Kalian mau pergi ke mana saja?" tanya Mamanya.

"Rencananya hari pertama mau ke daerah Candi Muaro Jambi, Ma. Terus hari keduanya mau ke pusat kota, foto-foto Jembatan Gentala Arasy malam hari. Hari ketiganya mungkin ke Taman Hutan Kota," jawab Lusi yang kebetulan sedang ikut makan malam, mendukung alibi sahabatnya dengan lancar.

Papanya tampak berpikir sejenak. "Perginya naik apa?"

"Lusi nanti pinjam mobil mamanya, Om. Nanti Lusi yang antar-jemput Erencya," sahut Lusi sigap.

"Baguslah kalau begitu," kata Papanya akhirnya. "Boleh. Asal kalian hati-hati. Dan ingat, pulang jangan lewat jam sembilan malam."

"Siap, Pa!" jawab Erencya, berusaha keras menyembunyikan sorak sorai kemenangan di dalam hatinya. Ia dan Lusi saling bertukar pandang sekilas, sebuah kilatan lega terpancar dari mata mereka. Langkah pertama berhasil.

Hari-hari berikutnya Erencya habiskan dengan merancang rencana perjalanan untuknya dan Akbar. Ia mencari kafe-kafe terbaik dengan sudut yang nyaman untuk mengobrol, taman-taman yang tidak terlalu ramai, dan tempat makan yang menyajikan masakan Jambi paling otentik. Setiap rencana yang ia tulis di buku catatannya terasa begitu nyata, begitu dekat. Namun, rasa gugup juga semakin menjadi. Apa yang harus ia kenakan? Bagaimana kalau di dunia nyata mereka justru menjadi canggung?

Malam tanggal 18 Desember, malam terakhir mereka terpisah oleh jarak, terasa begitu panjang. Panggilan video mereka malam itu diwarnai oleh keheningan yang sarat makna.

"Aku nggak bisa percaya besok kita ketemu," bisik Erencya, wajahnya terpantul di layar, matanya menunjukkan campuran antara euforia dan kecemasan.

"Aku juga," jawab Akbar dari kamarnya di Padang. Tas ranselnya sudah berdiri tegak di sudut ruangan, siap berangkat. "Aku sudah periksa tiketnya mungkin seratus kali hari ini. Takut salah tanggal."

Mereka tertawa, sebuah tawa gugup yang sama-sama mereka pahami.

"Kalau nanti ketemu, aku boleh langsung peluk Kakak, nggak?" tanya Erencya tiba-tiba, sebuah pertanyaan impulsif yang membuat pipinya merona.

Akbar tertegun sejenak, lalu senyum terlembut terukir di wajahnya. "Lakukan apa pun yang membuatmu nyaman, Ren. Aku akan menunggu."

Mereka mengakhiri panggilan itu lewat tengah malam, bukan karena kehabisan kata-kata, tetapi karena mereka tahu mereka butuh istirahat sebelum hari besar itu tiba. Namun, tidur adalah hal terakhir yang bisa mereka lakukan. Erencya berulang kali mencoba pakaian di depan cermin, sementara Akbar berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit, membayangkan bagaimana rasanya menghirup udara di kota yang sama dengan gadis yang telah mencuri hatinya.

Pagi tanggal 19 Desember datang bersamaan dengan fajar yang kelabu di Padang. Akbar sudah bangun, berpakaian rapi, dan meminum teh terakhir buatan ibunya sebelum berangkat. Setelah sebuah pelukan perpisahan yang hangat, ia memesan ojek online menuju Bandara Internasional Minangkabau.

Saat ia berdiri di tengah terminal keberangkatan yang ramai, dengan pengumuman penerbangan yang menggema di sekelilingnya, semua terasa seperti mimpi. Ia menatap papan informasi besar, menemukan nomor penerbangannya menuju Jambi. Nyata. Semua ini nyata.

Ia mengeluarkan ponselnya dan mengirim sebuah pesan singkat, sebuah sinyal bahwa babak baru dalam kisah mereka akan segera dimulai.

Akbar: Aku di bandara. Sebentar lagi berangkat. Sampai ketemu di Jambi, Erencya.

Di kamarnya di Jambi, Erencya yang baru saja selesai menata rambutnya, merasakan ponselnya bergetar. Ia membaca pesan itu, dan seluruh tubuhnya seakan dialiri listrik kebahagiaan. Ia berlari ke jendela, menatap langit biru yang cerah, seolah ia bisa melihat pesawat yang akan membawa Akbar kepadanya.

Perjuangan itu telah berakhir. Penantian itu akan segera usai. Hitung mundur terakhir telah mencapai angka nol.

1
👣Sandaria🦋
sepertinya aku hanya bisa membaca dalam diam, Thor. kehabisan kata-kata😭
👣Sandaria🦋
masa iya kisah cinta anak SMA bisa bikin aku baper begini, Kak? konyol banget rasanya bagi aku yg udah emak-emak ini. tapi iya kenyataannya kisah cinta Akbar-Erencya memang bikin aku sebaper itu. hiks hiks hwaaaa...😭😭😭😆
👣Sandaria🦋
jadi ini beneran kisah nyata, Kak? kalaupun nanti berakhir sedih. keknya ini kisah cinta paling epik yg pernah kubaca. padahal baru awalnya lho😀
Sang_Imajinasi: hihi, gpp kok nangis, aku aja baca nangis 😭😆
total 1 replies
👣Sandaria🦋
waduh. kata2 Akbar sungguh menyentuh hatiku, Kak. boleh nangis gak nih?!?😭😅
👣Sandaria🦋
kentara sekali ini Akbar yg pegang kendali, Kak. mungkin itu enaknya punya hubungan dengan bocil😅
👣Sandaria🦋
anak SMA punya cowok anak kuliahan pasti senang banget dia, Kak. bisa dibanggakan pada temannya. tapi bagi cowok yg anak kuliahan punya cewek SMA pasti sering diledek temannya. biasanya begitu. malah dikatain pedofill🤦😂
Sang_Imajinasi: tapi muka anak kuliahan baby face kok 🤣🤣🤣
total 1 replies
👣Sandaria🦋
iya. siapa tahu sebentar lagi Akbar jadi seorang CEO. kek di nopel-nopel🤦😂
Sang_Imajinasi: hahaha ga sampai ceo2 an 🤣🤣
total 1 replies
👣Sandaria🦋
wah. sholeh juga Akbar. tebakanku kalau mereka berjodoh. si cewek yg login🤔🤣
Sang_Imajinasi: iya cewek nya yang login, udh belajar juga sebagian 🤣
total 1 replies
👣Sandaria🦋
dunia maya penuh tipu-tipu. hati menginjak otak mah lumayan. yg parahnya yg enggak kebagian otak itu, Thor😂
Sang_Imajinasi: Hahahaha 🤣
total 3 replies
👣Sandaria🦋
aduh! ini lagi. 18 tahun baru kelas 1 SMA, Thor? berapa tahun itu tinggal kelasnya?😭😭😭 atau authornya masuk SD umur 8 th kali..?🤔
👣Sandaria🦋
nama gurun banget ya?😆
👣Sandaria🦋
24 tahun baru nyusun skripsi, Thor? model-model mahasiswa sering nitip absen ini nampaknya🤔😆
Sang_Imajinasi: 🤣🤣🤣🤣🤣
total 1 replies
👣Sandaria🦋
aku dulu juga pernah mengalami hal konyol serupa, Thor. terpaku melihat profil aktor-aktor Korea. rasa-rasa bisa kumiliki😭😂
👣Sandaria🦋
mampir, Kak. menarik kayaknya nih. cinta menabrak aturan. Muslim Minang - Budha Tionghoa. kita lihat bagaimana cara authornya menyelesaikan perkara ini. dan seberapa cantik manuvernya. berat lho ini. gas, Kak!😅
Fendri
wah hp yang disita dibalikin ayahnya, jadi bakal hubungin akbar donk
Fendri
kalau dihayati cerita nya jadi sedih juga berasa diposisi mereka 🤭
Sang_Imajinasi: jangan sampai 🤣🤣
total 1 replies
Fendri
lanjut lagi thor jadi penasaran wkkw
Sang_Imajinasi
ON-GOING
Fendri
lanjut thor baguss
Fendri
awal dari segalanya ini
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!