Anindita (40), seorang istri yang berdedikasi, menjalani kehidupan rumah tangga yang tampak sempurna bersama Bima, suaminya, seorang insinyur. Namun, semua ilusi itu runtuh ketika ia mencium aroma sirih dan parfum vanila murahan yang melekat di pakaian suaminya.
Bima ternyata menjalin hubungan terlarang dengan Kinanti, seorang siswi SMP yang usianya jauh di bawahnya dan merupakan teman sekolah putra mereka. Pengkhianatan ini bukan hanya merusak pernikahan yang sudah berjalan delapan belas tahun, tetapi juga melukai harga diri Anindita secara telak, karena ia dibandingkan dengan seorang anak remaja.
Dipaksa berhadapan dengan kenyataan pahit ini, Anindita harus memilih: berjuang mempertahankan kehormatan keluarganya yang tercoreng, atau meninggalkan Bima dan memulai hidup baru.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sansan Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Retakan Pertahanan
Di sebuah ruangan hotel mewah yang disewa Dani Wijaya sebagai markas darurat, Bima mondar-mandir seperti singa di kandang. Di hadapannya, Dani sedang meninjau tuntutan Anindita.
"Anindita tidak main-main, Bima," ujar Dani, melipat berkas tuntutan tes psikologi. "Ini adalah serangan pribadi yang sempurna. Setelah kau lolos dari tuduhan kriminal, dia langsung menargetkan kewarasanmu. Jika kau gagal tes ini, hak asuh Rayhan mutlak menjadi miliknya."
Bima mengusap wajahnya yang lelah. "Aku tahu. Aku harus stabil. Aku akan berhenti merokok herbal itu, dan aku tidak akan minum pil tidur selama seminggu ke depan."
"Terlambat," potong Dani. "Tes itu akan dilakukan lusa. Pil penenang dan obat herbal itu meninggalkan jejak. Anindita tahu ini. Dia bahkan mungkin sudah menghubungi psikolog yang akan melakukan tes."
"Apa katamu?"
"Purbaya menawarkan tes independen bersama. Tapi percayalah, Bima, dia akan memilih psikolog yang cenderung mendukung ibu atau seseorang yang memiliki afiliasi tidak langsung dengan jaringan Anindita. Kita harus berasumsi bahwa Anindita sudah mengatur pertanyaan jebakan."
Strategi Pembersihan
Dani mengambil sebuah buku tebal tentang psikologi forensik. "Kita tidak bisa membersihkan jejak fisik dalam dua hari, tapi kita bisa mempersiapkan pertahanan mental."
"Ajari aku, Dani. Apa pun itu."
"Oke. Tes ini bukan hanya tentang apakah kau pengguna. Ini tentang profil psikologis-mu. Anindita akan mencoba membuktikan kau memiliki ciri-ciri Narsistik-Kompulsif yang membuatmu tidak aman untuk Rayhan: kecenderungan berbohong, kurangnya empati, dan perilaku impulsif (seperti perselingkuhan dan penggelapan)."
Dani menunjuk Bima. "Kau harus melakukan hal yang bertentangan dengan dirimu: Tunjukkan Kerentanan dan Penyesalan."
* Pengakuan Cerdas: "Saat ditanya soal Kinanti atau penggelapan, jangan berbohong. Akui bahwa itu adalah kesalahan besar yang didorong oleh kecemasan dan tekanan kerja, bukan kenikmatan. Alihkan fokus dari 'nafsu' ke 'stres'."
* Fokus pada Rayhan: "Setiap jawaban harus berpusat pada Rayhan. Tunjukkan kau menyesal karena Rayhan harus melihatmu berjuang, bukan menyesal karena tertangkap. Purbaya bilang kau memiliki moralitas yang tidak pantas. Kau harus membalikkan itu menjadi perjuangan seorang ayah yang sakit."
* Tolak Label: "Jika mereka mencoba melabeli kecemasanmu sebagai severe, tolak. Tegaskan bahwa kau sudah berupaya aktif mencari bantuan (seperti obat tidur itu), dan kau bersedia terapi jangka panjang demi Rayhan. Ini menunjukkan tanggung jawab, bukan ketidakstabilan."
Bima mendengarkan, mencatat setiap detail. Ini adalah peran terberat yang pernah ia mainkan: peran sebagai ayah yang rapuh namun penuh tanggung jawab.
Perangkap Tersembunyi
Di tengah sesi pelatihan intensif itu, ponsel Bima berdering. Itu adalah nomor sekolah Rayhan.
"Halo?"
"Tuan Bima, ini Nyonya Ratna, guru Rayhan. Saya menelepon karena ada sedikit insiden di kelas tadi," suara guru itu terdengar cemas. "Rayhan tiba-tiba menangis saat kami membahas proyek keluarga. Dia bilang, dia takut ayahnya akan pergi selamanya seperti yang ada di sinetron yang ia tonton."
Jantung Bima mencelos. "Apa yang Rayhan katakan lagi?"
"Dia terus bertanya, 'Apakah Ayah baik-baik saja? Apakah Ayah akan dipenjara?' Tuan Bima, dia sangat stres. Saya rasa dia mendengar sesuatu tentang kasus perceraian Anda dan dia salah mengartikannya."
Bima menutup telepon, tangannya gemetar. Anindita dan Purbaya tidak hanya menyerang Bima. Mereka menggunakan Rayhan untuk menciptakan tekanan psikologis. Guru Rayhan pasti menelepon atas "saran" dari Anindita, yang ingin memastikan Bima berada dalam kondisi emosi paling labil menjelang tes.
Dani melihat ekspresi Bima dan langsung mengerti. "Itu taktik Bima. Provokasi emosional. Anindita ingin kau panik, ingin kau kehilangan fokus saat tes, ingin kau menunjukkan kecemasan yang parah itu."
Bima mengepalkan tinjunya. "Dia menggunakan anakku sendiri."
"Sekarang kau tahu betapa jauh dia akan melangkah. Jika kau menunjukkan kemarahan, frustrasi, atau pertahanan diri berlebihan di tes itu, Anindita menang. Dia akan punya bukti dari psikolog bahwa kau mudah terprovokasi dan impulsif."
"Aku harus menemuinya," kata Bima, beranjak menuju pintu.
"Jangan!" seru Dani. "Jangan temui Rayhan sampai setelah tes! Fokus. Rayhan akan lebih baik jika ayahnya tidak dipaksa menjalani pemeriksaan mental!"
Namun, Bima tidak mendengarkan. Rasa bersalah dan khawatir pada putranya jauh lebih kuat daripada ketakutan pada tes.
Bima memutuskan untuk menemui Rayhan. Tindakan impulsif ini adalah persis apa yang Anindita inginkan.
