NovelToon NovelToon
Last Chance

Last Chance

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Teen Angst / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: CutyprincesSs

Daniel Ferondika Abraham adalah cucu pertama pemilik sekolah menengah atas, Garuda High School.
Wajahnya yang tampan membuatnya menjadi idaman siswi sekolahnya bahkan di luar Garuda juga. Namun tidak ada satupun yang berani mengungkapkan rasa sukanya karena sikap tempramen yang di miliki laki-laki itu.
Hal itu tak menyurutkan niat Dara Aprilia, gadis yang berada di bawah satu tingkat Daniel itu sudah terang-terangan mengungkapkan rasa sukanya, namun selalu di tolak.
Mampukah Dara meluluhkan hati Daniel? dan apa sebenarnya penyebab Daniel menjadi laki-laki seperti itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CutyprincesSs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 26

Aula pernikahan itu perlahan sepi. Hiasan bunga yang semula tampak segar dan mewah kini layu seiring waktu. Kursi-kursi kosong, piring-piring kotor, dan balon yang mulai kempes jadi saksi bahwa pesta sudah selesai. Namun hal lain justru dirasakan Daniel, bapak baru yang akan segera dimulai.

Iya duduk di kursi belakang kok majasnya sudah nampak kusut dengan dasi yang longgar dengan lengan kemeja yang tergulung hingga siku. Tangannya gemetar sedikit karena rasa gugup yang belum pergi sejak pagi.

Suara langkah kaki Ebie terdengar mendekat, "Sayang" panggilnya pelan, menyentuh bahu suaminya yang baru saja resmi. "Sudah pada pulang rumah kita ke kamar yuk." Daniel mengangguk kecil, ia berdiri perlahan menatap sekeliling terutama area panggung yang kosong. Pikirannya kembali mengingat satu nama yang kini menjadi khayalannya "Dara"

"Gua pikir setelah hari ini, gua bakal tenang." Gumam Daniel lirih. Ebie menatapnya tajam, "Maksud kamu?" Daniel tak menjawab, ia meninggalkan Ebie sendiri yang berdiri dengan masih menggunakan gaun putih dan tatapan yang penuh kecemasan.

Di lantai 2 hotel, tempat di mana mereka beristirahat Daniel malah memilih duduk di balkon. pemandangan Jakarta di malam hari seharusnya menjadi hiburan baginya, namun dibenaknya hanyalah perasaan pagi tadi saat Dara menghilang.

Di tangannya, ponselnya menyala. ia lalu membuka galeri, tersimpan puluhan foto dara yang diambil secara diam-diam di sekolah. Ia menggulir terus menatap wajah bulat dengan pipi yang sedikit chubby, memberi kesan gemas yang sulit diabaikan. Kulitnya bening dan cerah matanya bulat dan berbinar, memancarkan keceriaan yang khas, membuat Daniel tersenyum.

Rambut panjangnya yang tergerai lembut dengan sedikit gelombang di ujung membingkai wajahnya yang manis.

Entah Sejak kapan Daniel menyadari pesona darah hingga jatuh sedalam ini. Ia tertawa getir, "Kenapa gua baru sadar sama segalanya setelah lo pergi Dara?"

Tiba-tiba pintu terbuka. "Daniel lo nggak bisa gini terus!" Ebie meninggikan suaranya. Daniel menoleh, wajahnya tenang tapi tatapannya penuh amarah.

"Apa gua pernah bilang kalau gua cinta sama lo bie?" Pertanyaan Daniel justru membuat Ebie terdiam. "Apa gua pernah janji bakal bahagiain lo?"

Ebie melangkah mendekat. "Dan..."

"Jawab bi, sebelum makin jauh!" Ebie menatap suaminya– pria yang jadi suaminya di atas kertas. Ia tersadar pernikahan ini hanya formalitas, untuk memenuhi ekspektasinya, bukan tentang perasaannya.

"Gue pikir setelah beberapa bulan kita bersama, lo bakal lupain dia." suara Ebie tercekat. Daniel menggeleng, tatapannya tajam, "Orang kaya gua nggak bisa jatuh cinta dua kali."

Hening.

Ebie membalikkan badannya, menghapus air mata dan masuk ke dalam kamar tanpa sepatah kata pun. Hanya suara pintu yang tertutup pelan dan rasa sesak yang menggantung dalam kamar hotel yang mahal itu.

Daniel menatap langit, lalu membuka pesan.

To : Dara

Ketikannya ragu, lalu dihapusnya, ia mengetik ulang.

"Lo bener, gua pengecut." Kirim? Tidak. Ia hapus semuanya lalu dia mengetik

"Bahagia selalu di sana, Dara"

Akhirnya dia kirim, pesan itu terkirim tanpa balasan. Namun untuk pertama kalinya, Daniel mendapat jawaban berupa keheningan.

Pandangan Daniel kosong melihat langit malam. Namun matanya menangkap bayangan sebuah mobil hitam yang keluar dari area hotel. Plat dinas itu tidak asing. Itu adalah mobil milik kakeknya.

"Kakek belum pulang?" Daniel mengernyit pelan, ia tahu jika kakeknya berada di tempat formal itu pasti ada sesuatu yang tidak beres selain acara pernikahannya.

Dalam diam, Abraham menghubungi satu-satunya orang yang ia percaya : Suryo (mantan kepala keuangan yang sudah pensiun 5 tahun lalu). Mereka sepakat bertemu di kediamannya.

"Pak Abraham, saya sebenarnya ingi membicarakan ini sejak lama," ucap Suryo dengan pelan, sambil menyerahkan sebuah flashdisk. "namun karena saya menghargai hubungan keluarga bapak, dan saya waktu itu belum memiliki keberanian seperti sekarang, saya urungkan niat saya. Di dalam flashdisk itu berisi rekaman cctv dan duplikat laporan yang saya simpan diam-diam. Waktu saya lihat banyak tanda tangan saya di palsukan, saya baru mengerti ini ada yang tidak beres."

Abraham menerimanya dengan tangan gemetar. Malam itu juga, di bantu teknisi tepercaya, ia membuka file dalam flashdisk tersebut. Di sana terlihat Arvin... Dengan tenang, pria yang selama ini di panggil "adik" oleh Rena itu menandatangani dokumen palsu, mentransfer dana dari rekening yayasan ke rekening tak di kenal yang setelah di selidiki lebih dalam, terhubung dengan sebuah perusahaan fiktif milik keluarga Ebie.

Abraham menutup laptopnya perlahan, jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena sakit, namun amarah yang sudah menguasainya.

"Kau..." suaranya berbisik, "mengkhianati keluargamu sendiri..." tangannya mengepal kuat. Keesokan harinya, setelah mengetahui kebenaran itu, Abraham mencetak semua bukti dan menyimpan dokumen itu di map coklat yang di sembunyikan di balik lukisan tua di ruang kerjanya.

Rasanya beban itu sangat berat. Ia tak langsung memberitahu siapapun, bahkan pada Daniel, cucu yang paling ia andalkan. Karena Abraham tahu, jika kebenaran ini terungkap, semua tak lagi sama.

 

Hari berikutnya, hujan turun dengan deras. Abraham baru saja menyelesaikan sholat dhuhur saat tubuhnya goyah. Ia terjatuh di ruang kerja, di depan lukisan tua tempat nya menyimpan dokumen bukti penting.

Rebecca, si bungsu berusia 7 tahun yang pertama kali menemukannya. "Kakek tidur ya? Tapi kenapa dingin banget?" suara jeritannya yang tiba-tiba membuat seisi rumah panik.

Sementara itu, Daniel masih berada di hotel bersama Ebie. Mereka sedang mengunjungi toko aksesoris di samping hotel, tiba-tiba ponselnya berdering. Ada 1 telepon masuk dari sekertaris yayasan.

"Pak Daniel, kami minta maaf karena sudah mengganggu. pak Abraham baru saja pingsan di ruang kerjanya dan kami bawa ke rumah sakit, keadaannya kritis."

Daniel meremas ponselnya, ia menatap Ebie. "Bi, Kakek masuk rumah sakit! gua mau ke sana. Lo ikut atau pulang?" Ebie yang masih asik memilih jepit rambut menoleh, dia terkejut. "Gue ikut ke rumah sakit!"

Rumah sakit Gracella

Lorong rumah sakit malam itu dingin dan sepi, hanya suara AC central dan detak jam dinding yang menemani kecemasan yang menggantung. Daniel duduk di kursi panjang dekat ICU. Ia mengepalkan jarinya di pangkuan. Ebie duduk di sebelahnya, memegang tangannya, hangat namun tak menenangkan titik tak lama, pintu ruangan dokter terbuka, seorang pria paruh baya berseragam putih berjalan keluar. Di saat bersamaan, Hao dengan langkah berat, disusul Nicko dan Rebecca yang baru datang bersama Rena. semua menatap dokter penuh tanya.

"Keluarga dari bapak Abraham?" Rena maju, suaranya bergetar. "Saya anaknya, dok." dokter menarik nafas panjang, "Kami sudah melakukan tindakan sesuai protokol. Jantung beliau sempat berhenti selama 2 menit sebelum akhirnya kembali berdetak. namun dari hasil CT scan dan pantauan neorologi, Kami menemukan adanya pendarahan hebat di bagian otak." Daniel menelan ludah, air matanya keluar tanpa permisi.

"Kondisi ini... menyebabkan kerusakan permanen pada sistem kesadaran. Kami mohon maaf... bapak Abraham saat ini dalam kondisi vegetatif." Rena menutupi mulut dengan kedua tangannya. Air matanya jatuh. Hao memeluknya erat, meskipun ia sendiri tak kalah terkejut dan kacau.

"Vegetatif?" Nicko bertanya pelan. Dokter mengangguk, "Beliau bisa bernapas dan jantungnya berdetak karena alat bantu dan refleks tubuh, tapi beliau tidak sadar, tidak bisa merespon dan kemungkinan untuk pulih sangat kecil." Rebecca terisak, Daniel duduk terpaku. "Nggak... Nggak mungkin! kakek sehat! kemarin masih ada di acara nikahan Daniel." bisiknya, matanya berkaca-kaca. Ebie mengusap bahunya, namun Daniel tidak merasakan apa-apa.

"Kami akan terus pantau perkembangannya. namun saat ini, sebaiknya keluarga mempersiapkan diri untuk kondisi jangka panjang." semua terdiam, suasana menjadi sunyi bukan karena malam, namun karena hati yang sesak.

Beberapa saat kemudian, setelah keluarga diperbolehkan masuk bergiliran untuk melihat Abraham, Ebie berbicara pelan pada Daniel. suaranya lembut dan jelas, "Daniel, Gue capek banget. Bisa minta tolong anterin gue pulang?" Daniel menoleh, dan hanya mengangguk tanpa sepatah katapun. iya tahu, Ebie juga manusia yang butuh istirahat.

***

Selamat siang, jangan lupa tinggalin jejak ya?

suasana mulai panas nih, siapin AC gih hehe

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!