Dari semenjak lahir Syailendra dipaksa untuk "tak terlihat", dirumah, disekolah dan juga di lingkungan sekitarnya. Namun ternyata seorang perempuan bernama Ratu memperhatikan dan dengan jelas dan tertarik padanya. Perempuan cantik dan baik yang memberikan kepercayaan diri untuknya.
Sedangkan Ratu, Ia sosok perempuan sempurna. Ratu terkenal tak mau berkomitmen dan berpacaran, Ia seorang pemain ulung. Hidup Ratu berubah saat Ia dan Syailendra satu team mewakili olimpiade kimia dari sekolahnya. Mereka tak pernah sekelas, dan Ratu bahkan baru mengenalnya. Tapi sosoknya yang misterius merubahnya, Ratu merasakan sesuatu yang berbeda dengan pria itu, membuatnya merasa hangat dan tak mau lepas darinya.
Namun dunia tak mendukung mereka dan mereka harus berpisah, mereka lalu bertemu sepuluh tahun kemudian. Apakah kisah kasih mereka akan tersambung kembali? Atau malah akan semakin asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 - Terlalu Menyakitkan
"Sumpah, demi apa Syailendra yang kita kira miskin ternyata dia yang punya hotel sebesar ini?! Gila ..., gila. Masih nggak percaya gue rasanya!"
"Sayang.... gimana, dong? Selama ini mulut kita jahat banget sama Syailendra. Gimana kalau ternyata dia dendam dan berujung nekan kita sama kekuasaannya?!"
"Nggak akan sejauh itu dia. Yakin aku. Mungkin dia nyamar jadi gembel di sekolah kita biar nggak jadi pusat perhatian kali ya? Orang kaya mah bebas...."
Telinga Ratu berdenging mendengar percakapan konyol dua sejoli itu. Terlalu malas rasanya ia menanggapi. Justru pikiran Ratu saat ini tidak lepas dari Syailendra. Mungkin tadi semua orang bersuka cita di meja makan, namun Ratu yang paham karakter Syailendra itu sama sekali tidak menemukan kebahagiaan di wajah cowok itu.
Ada banyak hal yang ingin Ratu tanyakan. Terutama tentang; apa yang terjadi pada Syailendra sampai cowok itu ke sekolah naik bis dan menutup diri dari pergaulan selama ini? Padahal orang tuanya sekaya raya itu. Ratu sendiri terkejut mengetahui fakta itu, namun yang lebih membuat Ratu khawatir adalah perasaan Syailendra saat ini. Makin yakin ia ada sesuatu yang terjadi di balik ini semua.
"Ngomong-ngomong Endra ngapain ya sekarang sama keluarganya? Ah, jadi kepo gimana kehidupan orang kaya. Nggak kebayang orang tua dia sebangga apa. Diajakin foto sih, yakin banget aku. Atau paling nggak dikasih hadiah barangkali," celetuk Sasa, membuat Ratu menoleh dengan gurat tidak tenang.
Diberi hadiah? Apa mungkin? Sedang selama ini Syailendra begitu malas membahas orang tuanya... pikiran Ratu berkelana. Serasa ingin ia susul Syailendra ke restoran itu untuk memastikan keadaan cowok itu. Namun Ratu berpikir logis, ia tidak mau mengganggu urusan keluarga Syailendra meski pun ia sama sekali tidak tenang saat ini.
"Lama banget Syailendra. Padahal kita mau bahas soal malam ini. Kalau kemalaman dia baliknya gue tidur duluan aja deh," celetuk Heri, yang mana hal tersebut membuat Ratu makin cemas.
Syai... semoga kamu baik-baik ajaa....
***
Jauh dari yang Ratu harapkan, Syailendra justru sedang tidak baik-baik saja. Sepeninggal teman-temannya, Syailendra merasa ruangan VVIP yang dilengkapi pendingin udara itu terasa panas. Jantungnya mencelus ke usus dua belas jari. Sekujur tubuhnya gemetar, tak berani mengangkat wajah menatap sang ayah dan ibu yang sejak tadi menahan marah terhadapnya.
Alih-alih dipuji karena mengikuti olimpiade nasional, Sekala malah mendapat tekanan batin dari keluarganya sendiri. Saking tertekannya, nasi pun tak sanggup ia menelan.
"Syailendra," panggil Gunawan dengan suara gemetar, membuat bulu kuduk Syailendra berdiri tegak.
"I—iya, Pa."
"Berdiri kamu!"
Syailendra menelan salivanya susah payah, namun akhirnya menuruti perintah sang ayah. Ia pun keluar dari meja makan tersebut, lantas berderap pelan ke samping bangku sang ayah. Detik itu juga Syailendra merasa di ambang hidup atau mati. Ngeri sekali.
"Ke—kenapa, Pa?"
Gunawan mengepalkan tangan erat. Buku-buku tangannya memutih karena aliran darahnya bertumpuk dalam kepalan jari-jarinya yang besar. Rahangnya mengetat memandangi wajah yang mirip dengannya tapi hadirnya tak pernah ia inginkan tersebut.
Begitu juga dengan Amelia. Tak ada tatapan keibuan di matanya. Yang ada hanyalah tatapan benci mendalam, seolah Syailendra sampah menjijikkan yang hadirnya tak ia inginkan sama sekali di sini.
"Kamu masih tanya kenapa? Kamu sudah membuat kesalahan fatal!" geram Gunawan.
Tanpa mengangkat wajahnya, dengan bibir gemetaran, Syailendra menjawab, "apa membanggakan Papa adalah suatu kesalahan? Apa ini dianggap kejahatan?"
"Masih berani kamu ngejawab Papa kamu?!" selak Amelia.
"Aku hanya menjelaskan. Kenapa ... kenapa kalian begitu marah hanya karena aku berusaha menjadi yang terbaik? Bukannya semua orang tua ingin melihat anaknya mendapat prestasi? Kenapa, Ma, Pa?" tanya Syailendra lirih. Hatinya tercabik saat menanyakan itu. Ingin menangis, namun air mata itu ia tahan-tahan agar tidak jatuh berderai.
Belum cukup dengan sakit batin yang mereka ciptakan, kini Syailendra merasakan sakit saat Gunawan menarik kerah bajunya hingga leher anak itu tercekik. Syailendra menggapai-gapai tangan sang ayah minta dilepaskan, namun Gunawan mengeratkan cekalannya sampai tangan lelaki paruh baya itu memerah.
"Anak kurang ajar kamu. Kamu udah banyak bicara dari tadi. Omongan kamu itu nggak bermutu sama sekali di telinga Papa. Dasar sampah!"
"Pa—lepas! Sakit, Pa!"
Alih-alih melepaskan cekalannya, Gunawan lantas berdiri dari dudukan, kemudian melayangkan serangan pukulan ke wajah sang anak.
"Ini buat kamu karena udah berani nunjukin muka kamu ke semua orang!"
Bugh!
Sudut bibir Syailendra mendapat jatah. Cairan kental keluar dari sela bibirnya.
"Ini buat bibir kamu yang berani kamu pakai buat lawan Papa!"
Bugh!
Gantian, sudut mata Syailendra mendapat giliran. Syailendra menjerit, mengaduh kesakitan dan meminta tolong pada orang-orang di luar sana. Malangnya, tidak ada yang mau menolong Syailendra karena tidak ada yang berani berurusan dengan sang pemilik hotel. Syailendra mau minta tolong ke siapa? Bahkan security di hotel ini pun digaji oleh Gunawan. Lelaki paruh baya itu memiliki kuasa yang cukup kuat. Tidak ada yang berani melawannya.
"Ini buat mata kamu yang berani memelototi Mama dan Papa. Apa perlu Papa habisi kamu detik ini juga biar kamu sadar diri kalau kehadiran kamu itu tidak pernah kami inginkan? Menyesal Papa membesarkan kamu. Bajingan!"
Gunawan lantas mendorong tubuh sang anak hingga membuat Syailendra terhuyung, lantas jatuh ke lantai dengan lebam di seluruh permukaan wajahnya. Syailendra meringis kesakitan. Rasanya panas dan perih. Liur Syailendra terasa asin dan anyir karena bercampur dengan darah. Dan yang lebih menyakitkan dari itu semua adalah saat Gunawan berkata menyesal membesarkannya. Tak ada hal yang lebih menyakitkan bagi Syailendra daripada kata-kata itu. Seolah nyawanya di sini tidak ada artinya....
"Kenapa, Pa? Kenapa berhenti? Ayo bunuh aku sekalian!" jerit Syailendra dengan napas naik turun. Sorot matanya menatap sang ayah penuh luka. "Kalau Papa bunuh aku, setidaknya aku nggak perlu ngerasain sakit lebih lama lagi. AYO BUNUH AKU SEKARANG!"
Gunawan terdiam. Ia menatap kepalan tangannya yang lecet dan berdarah karena terlalu keras menghajar Syailendra. Melihat hal itu membuat Syailendra terkekeh miris.
"Kenapa? Kurang? Ayo pukul lagi. Hajar aja aku sepuas yang Papa mau!"
"Eh, anak sial! Kamu jangan membentak ayah kamu seperti itu. Makin kelihatan watak asli kamu. Memang benar ya. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya!" Amelia menyindir.
"Maksud Mama aku nggak jauh beda sama Mama gitu?" ledek Syailendra. Tak peduli setelah ini ia akan kena hajar lagi.
"JANGAN PERNAH KAMU SAMAKAN KARAKTER KAMU DENGAN SAYA. SAYA CUMA PUNYA DUA ANAK. DAN KAMU? KAMU BUKAN BAGIAN DARI DIRI SAYA!"
Perkataan itu membuat Syailendra tertohok. Ini maksudnya apa? Kenapa ibunya bersikap seolah-olah ia bukan bagian dari keluarga ini? Syailendra memutar kembali memorinya, bahwa selama ini perlakuan orang tuanya itu beda dibandingkan dengan perlakuan mereka ke adik dan abangnya. Dada Syailendra bagai diremas. Tidak mungkin ia bukan anak kandung keluarga ini, 'kan?
"Maksud Mama apa?" tanya Syailendra cemas.
"Dasar anak haram. Saya benci sama kamu. Harusnya saya tidak pernah membiarkan kamu ada di rumah saya. Saya menyesal!"
"Ma, jaga ucapan kamu. Kamu udah janji!" kata Gunawan dengan muka panik.
"Diam kamu, Pa. Aku udah nggak tahan lagi sama anak ini. Ak—"
"Ma, udahlah! Ayo kita balik ke kamar. Biar Papa nanti yang hukum Syailendra!"
Namun Amelia tidak mau mendengar ucapan sang suami. Amelia menunjuk wajah Syailendra dengan tangan kirinya sambil berkata, "asal kamu tahu, kamu itu cuma anak haram hasil hubungan suami saya dengan selingkuhannya. Ibu kamu itu hina, perebut, perusak rumah tangga orang. Sama seperti kamu yang merusak kebahagiaan keluarga saya!"
Nyawa Syailendra serasa dicabut dari badan mendengar itu semua. Jantungnya kehilangan fungsi detak, sekujur tubuhnya melemas tak bertenaga. Jadi ... jadi ini alasannya kenapa selama ini ia dibedakan dan dipaksa 'tak terlihat' oleh semua orang?
"Pa ... apa yang Mama katakan itu ... benar?" tanya Syailendra gemetaran. I’m
Dan Gunawan hanya diam sambil menatapnya dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Dari sana Syailendra tahu ... bahwa semua yang Amelia katakan itu adalah kebenaran menyakitkan baginya.