"Tubuhmu milikku. Waktumu milikku. Tapi ingat satu aturan mutlak, jangan pernah berharap aku menanam benih di rahimmu."
Bagi dunia, Ryu Dirgantara adalah definisi kesempurnaan. CEO muda yang dingin, tangan besi di dunia bisnis, dan memiliki kekayaan yang tak habis tujuh turunan. Namun, di balik setelan Armani dan tatapan arogannya, ia menyimpan rahasia yang menghancurkan egonya sebagai laki-laki, Ia divonis tidak bisa memberikan keturunan.
Lelah dengan tuntutan keluarga soal ahli waris, ia menutup hati dan memilih jalan pintas. Ia tidak butuh istri. Ia butuh pelarian.
Sedangkan Naomi Darmawan tidak pernah bermimpi menjual kebebasannya. Namun, jeratan hutang peninggalan sang ayah memaksanya menandatangani kontrak itu. Menjadi Sugar Baby bagi bos besar yang tak tersentuh. Tugasnya sederhana, yaitu menjadi boneka cantik yang siap sedia kapan pun sang Tuan membutuhkan kehangatan. Tanpa ikatan, tanpa perasaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nyonya_Doremi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
“Dia akan aman karena dia punya kita,” kata Naomi, melangkah mendekat dan meletakkan tangannya di lengan Ryu. “Bukan karena dia punya sekolah di Singapura atau pengawal militer. Dia aman karena ayahnya mencintainya.” ucap Naomi menatap Ryu..
Ryu menatap tangan Naomi di lengannya. Kemarahannya perlahan mereda, digantikan oleh rasa lelah yang amat sangat. Secara perlahan, ia menyandarkan keningnya di bahu Naomi, sebuah tindakan kerentanan yang belum pernah ia tunjukkan pada siapapun.
“Aku tidak tahu cara melakukannya, Naomi,” bisik Ryu. “Aku tidak tahu cara menjadi ayah yang hanya... mencintai.”
“Saya akan mengajari Anda,” balas Naomi lembut, tangannya membelai rambut Ryu. “Satu hari demi satu hari. Mulai dengan membiarkan dia bermain dengan boneka beruang itu, bukan hanya kartu bahasa Mandarin.”
Ryu mengeluarkan suara tawa kecil yang parau. “Baiklah. Satu hari demi satu hari.”
.
.
Malam pesta peresmian nama Athala tiba. Kediaman utama keluarga Dirgantara dihias dengan kemewahan yang bersahaja. Karpet merah digelar, dan lampu kristal memancarkan cahaya yang memukau. Semua tokoh penting di kota itu hadir, penasaran ingin melihat sang pewaris yang telah menjadi pembicaraan hangat.
Naomi tampak sangat anggun mengenakan gaun sutra berwarna navy blue yang dipesan khusus oleh Ryu. Ia berdiri di samping Ryu, yang menggendong Athala dengan bangga.
Helena Dirgantara berdiri di panggung kecil, memegang gelas sampanye. “Malam ini, kami berkumpul untuk merayakan masa depan Dirgantara. Dengan bangga, saya perkenalkan cucu saya, Athala Rafka Dirgantara.”
Tepuk tangan meriah membahana. Namun, di tengah keramaian itu, Naomi melihat seseorang yang seharusnya tidak ada di sana. Di sudut ruangan, berdiri seorang pria paruh baya yang tampak asing namun memiliki tatapan yang sangat tajam ke arah Athala.
Pria itu mendekati Ryu dan Naomi saat kerumunan mulai mencair.
“Selamat, Ryu. Dia bayi yang sangat tampan,” kata pria itu, suaranya tenang namun memiliki nada mengancam yang samar.
Wajah Ryu berubah pucat. Ia secara insting mempererat pelukannya pada Athala. “Apa yang kau lakukan di sini, Bimo?”
Naomi tersentak. Pengacara Bimo. Pria yang namanya muncul dalam buku harian Helena sebagai orang yang membantu mengatur segala kerumitan hukum masa lalu keluarga Dirgantara.
“Aku hanya ingin memberikan penghormatan pada pewaris baru,” kata Bimo, sambil melirik Naomi. “Dan tentu saja, menyapa Nyonya Dirgantara yang baru. Kau telah melakukan pekerjaan luar biasa, Naomi. Menyatukan kembali keluarga ini adalah prestasi yang patut dipuji.”
“Kami tidak butuh ucapan selamat darimu,” desis Ryu. “Pergilah sebelum aku memanggil keamanan.”
Bimo tersenyum tipis, sebuah senyum yang membuat bulu kuduk Naomi berdiri. “Jangan terburu-buru, Ryu. Aku hanya ingin mengingatkanmu... bahwa meskipun rahasia adopsi masa lalu sudah terkubur, kontrak pernikahanmu dengan Naomi masih ada di kantor arsipku. Dan ada satu klausul yang mungkin kau lupakan di tengah kebahagiaan ini.”
Bimo mendekat ke telinga Ryu, namun Naomi masih bisa mendengar bisikannya. “Hati-hati dengan rasa posesifmu, Ryu. Karena jika kontrak itu jatuh ke tangan yang salah, legitimasi pernikahan ini akan hancur, dan Athala bisa kehilangan segalanya secara hukum.”
Setelah mengatakan itu, Bimo berbalik dan menghilang di antara tamu-tamu lainnya.
Ryu berdiri terpaku, tubuhnya gemetar karena kemarahan yang tertahan. Naomi segera memegang tangan Ryu, mencoba menenangkannya.
“Ryu, ada apa? Apa maksudnya dengan klausul yang dilupakan?” tanya Naomi dengan cemas.
Ryu menatap Naomi, matanya dipenuhi ketakutan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. “Ada satu bagian dalam kontrak asli yang dibuat Ibu... sebuah bagian yang menyatakan bahwa jika dalam dua tahun pernikahan ini tidak didasari oleh perasaan yang sah secara hukum, maka hak asuh anak akan jatuh ke tangan wali yang ditunjuk oleh Dewan Direksi, bukan orang tuanya.”
Naomi merasa dunianya berputar. “Tapi itu tidak masuk akal! Kita adalah orang tuanya!”
“Ibu membuat aturan itu untuk memastikan aku tidak hanya menggunakanmu untuk mendapatkan anak lalu menceraikanmu,” jelas Ryu, suaranya bergetar. “Dia ingin aku terikat secara emosional atau kehilangan kendali atas ahli warisku.”
Naomi menyadari betapa gilanya permainan Helena. Dan sekarang, di tengah rasa posesif Ryu yang sedang tumbuh, mereka dihadapkan pada ancaman baru, mereka harus membuktikan bahwa pernikahan mereka bukan lagi sekadar kontrak, atau mereka akan kehilangan Athala kepada sistem perusahaan yang dingin.
“Ryu,” kata Naomi, suaranya mantap meskipun hatinya takut. “Jangan biarkan dia menang. Jika kita harus membuktikan bahwa kita adalah keluarga yang nyata, maka itulah yang akan kita lakukan. Bukan karena kontrak, tapi karena kita memang menginginkannya.”
Ryu menatap putranya yang tertidur di pelukannya, lalu menatap Naomi. Rasa posesifnya kini tidak lagi tentang kontrol, tetapi tentang perlindungan mutlak terhadap unit keluarga kecil yang baru saja mulai ia cintai.
“Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuh Athala,” janji Ryu. “Dan aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu.”
Malam itu berakhir bukan dengan kemenangan, melainkan dengan persiapan untuk perang yang lebih dalam. Ryu dan Naomi kembali ke penthouse, namun kali ini mereka tidak tidur di kamar yang terpisah.
Ryu meletakkan Athala di boksnya, lalu berbalik menghadap Naomi yang sedang duduk di tepi tempat tidur, tampak kelelahan.
“Naomi,” panggil Ryu pelan.
“Ya?”
Ryu berlutut di depan Naomi, mengambil kedua tangannya. “Besok, aku ingin kita menandatangani dokumen baru. Bukan kontrak pernikahan, tapi pembatalan kontrak lama. Aku ingin pernikahan ini sah secara sipil dan agama tanpa syarat apapun dari ibuku.”
Naomi terkejut. “Ryu, itu berarti Anda memberikan saya hak penuh atas harta dan posisi Anda sebagai istri yang sah tanpa batasan kontrak.”
“Aku tidak peduli dengan harta itu,” kata Ryu sungguh-sungguh. “Aku hanya ingin kau tetap di sini. Bukan karena kau harus, tapi karena kau ingin. Aku ingin kita menjadi orang tua Athala tanpa ada bayangan pengacara Bimo atau siapapun.”
Naomi menatap pria di depannya. Pria yang dulu sangat ia benci karena arogansinya, kini memohon untuk sebuah ikatan yang nyata.
“Saya akan melakukannya, Ryu,” jawab Naomi lembut. “Tapi dengan satu syarat.”
“Apa itu?”
“Singkirkan semua rencana sekolah di Singapura itu untuk sementara. Mari kita biarkan Athala menjadi bayi untuk saat ini.”
Ryu tersenyum, senyum tulus pertama yang pernah Naomi lihat. “Sepakat. Besok aku akan membeli boneka beruang paling besar yang bisa kutemukan.”
Namun, di kegelapan malam, di sebuah kantor pengacara yang jauh dari kemewahan Dirgantara, Bimo sedang membuka sebuah map merah. Di dalamnya terdapat salinan kontrak asli yang memiliki satu halaman rahasia yang bahkan Helena pun tidak tahu.
“Pernikahan ini adalah bom waktu,” gumam Bimo sambil menyesap minumannya. “Dan aku yang memegang pemicunya.”