Caroline Damanik Dzansyana, hanya gadis malang berprofesi sebagai koki dessert di sebuah restoran Itali, dia diberatkan hidup karena harus membiayai rumah sakit ibu angkatnya yang koma selama satu tahun terakhir ini karena sebuah kecelakaan tragis.
Lalu, di suatu hari, dia dipertemukan dengan seorang wanita berwajah sama persis dengannya. Dia pikir, pertemuan itu hanyalah kebetulan belaka, tetapi wanita bernama Yuzdeline itu tidak berpikir demikian.
Yuzdeline menawarkan perjanjian gila untuk menggantikan posisinya sebagai istri dari pewaris Harmoine Diamond Group dengan bayaran fantastis—300 Milyar. Namun, Caroline menolak.
Suatu malam, takdir malah mempertemukan Caroline dengan Calvino—suami dari Yuzdeline dan menimbulkan kesalahpahaman, Calvino mengira jika Caroline adalah istrinya, sehingga dia menyeretnya masuk ke hidupnya.
Sejak saat itu, Caroline tidak pernah bisa kembali ke hidupnya. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Apa yang akan Caroline lakukan untuk kembali ke hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Teriablackwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26—PPMITMC
Chandelier crystal bergelayutan anggun di langit-langit ruangan, dan di sepanjang lorong pintu masuk sebuah bangunan megah dengan pekarangan luas bak jelmaan istana dalam serial drama fantasi.
Warna biru memancarkan kegagahan, disusul oleh cahaya putih keemasan, ia hadir karena lampu sorot mengarah dari segala sudut ballroom utama manor Harmoine.
Untuk sampai ke sana, harus melalui pintu samping bangunan manor dan mengarah ke area belakang, dimana ballroom dibangun mandiri, khusus untuk acara-acara besar.
Glekk!!
Caroline dalam balutan gaun malam berwarna biru safir dengan off shoulder yang menonjolkan bahunya yang anggun. "Katanya mau ke rumah Kakek Harmoine, kenapa aku malah diseret ke ..., istana?" katanya dengan polos.
Gadis cantik menawan itu terhenti di pintu masuk ballroom yang dijaga ketat oleh dua penjaga berpenampilan rapi, berkacamata hitam dan alat komunikasi terpasang di telinga kanan mereka.
Malam semakin turun. Suhu malam ini lebih sunyi menusuk kulit, aromanya pun menyeruak ke partikel terdalam, ia masuk ke rongga-rongga tubuh yang terbuka.
"Bunda ... itu Grandpa, ayo Bunda ...." Dennis tiba-tiba menarik tangan Caroline menyusuri sisa jarak memasuki area bangunan yang berdiri sendiri di belakang manor megah bak istana.
Menjejaki promenade.
Caroline melayang dengan wajah terkejut. "Eh, eh, eh ..., Dennis, bentar ..., kamu mau bawa Bunda ke mana?"
Alih-alih mengelak, gadis itu malah menurut, membiarkan lengannya terbawa arus genggaman tangan kecil Dennis, mereka melewati dua penjaga di pintu masuk tanpa dihentikan.
Sebaliknya, mereka menunduk dengan sopan, membiarkan Caroline dan Dennis masuk tanpa ada pemeriksaan seperti yang mereka lakukan pada semua tamu undangan yang berdatangan sejak beberapa waktu lalu.
"Itu ..., istrinya Calvino?" tunjuk seorang wanita berjarak satu sampai dua meter dari pintu masuk ballroom.
Rekannya menyipitkan mata sekedar memastikan penglihatannya. "Iya, kayaknya udah balik," sahutnya tak begitu memedulikan keberadaan Caroline.
Berbeda dengan wanita berpakaian sek si dengan belahan d*da terekspose, dia menggeram, kesal, gumpalan udara yang bersemayam dalam dada kian menyesakkan.
Dia mendelik, membuang wajah ke arah lain, menunjukkan kekesalan hatinya. "Ish, kenapa dia kembali secepat ini?" Kesal wanita itu.
"Entahlah," katanya mengedikkan bahu, "Mungkin aja ...."
Bayangan hitam menyembul membawa nampan berisikan sekumpulan hidangan ringan, seperti Eclairs, roll cake dan macaroon.
Pria bertubuh tegap itu berdeham. "Ekhem."
Degh!
Dua gadis di depannya lekas melompat ke samping, menciptakan jarak di tengahnya, kemudian berbalik dengan wajah tegang pun mata membulat.
"Ah, Pak Mario, kenapa ngagetin," protes wanita bernama Kiara.
Lelaki berprofesi sebagai butler manor Harmoine itu menegakkan posisi berdiri sambil menenteng nampan dengan tegap. "Jalan, dan lakukan tugasmu dengan baik," katanya menatap serius pada Kiara.
"Saya dengar dari Nyonya Marisa dan Tuan Bambam, jika Nyonya Yuzdeline udah kembali dari kemarin, dan sikapnya jauh berbeda dari sebelumnya," sambung lelaki itu memberi pengarahan pada wanita di depannya.
Kiara mengernyit. Menerawang kemungkinan perubahan sikap yang dimaksud oleh Mario. "Perubahan seperti apa? Apa ..., dia lebih lemah?" katanya tersenyum meremehkan.
"Kalau begitu, bagus, dong? Aku jadi lebih mudah mendekati Calvino yang gila wanita," sambung wanita itu penuh percaya diri.
Mario berdecak. "Tuan muda Calvino bukan laki-laki yang mudah tergoda wanita, dia dengan para wanita itu di luar sana, hanya bermain, gak ada satu pun wanita yang dia sentuh sampai tuntas."
Benarkah?
Ini adalah ribuan pertanyaan yang dipertanyakan banyak orang di luar sana, termasuk Harmoine, pondasi utama keluarga Harmoine itu tetap memantau sikap sang cucu tercinta.
Pemberontakan Calvino dimulai sejak Karmelita tidak ada di hidupnya, ditambah pernikahan yang dipaksakan dengan Yuzdeline.
"Grandpa ...." Suara panggil itu lantang menguasai momen meriah di lantai pesta.
Pria bertongkat dengan tubuh tegap itu berbalik, meninggalkan banyak orang yang tak berhenti mengajaknya berbincang. Lelaki tua itu tersenyum ceria.
Tubuh kecil Dennis menjelang ke hadapan bersama Caroline yang terlihat tegang, juga panik harus menginjakkan kaki di antara manusia-manusia yang tidak dia kenali.
"Oh Tuhan ..., cucu Grandpa yang ganteng, akhirnya sampai juga," sambut Harmoine dengan tertatih-tatih dia berjongkok.
Sigap Caroline memegangi tongkat berkepala serigala emas milik Harmoine, pula menuntun lengan kiri lelaki tua itu sampai Harmoine berhasil berjongkok untuk menyeimbangkan dirinya dengan sang cicit.
"Terima kasih, Sayang," ucap Harmoine pada Caroline.
"Bukan masalah, Kakek Harmoine." Wajah bingung gadis itu semakin terasah deras.
Meski Harmoine merasa sikap Yuzdeline di matanya berbeda jauh, pria tua itu tak begitu mempermasalahkan hal tersebut.
Pelan nan lembut, Harmoine membelai wajah Dennis dengan manja. "Cucu kesayangan Grandpa gimana kabarnya, nak?" ucapnya tanpa melepas senyum dari wajahnya.
"Baik, Grandpa. Kata Bunda, ulangtahun Dennis nanti, Bunda mau buatkan Dennis kue ulangtahun yang ..., tinggi, nanti Bunda malaikat bisa makan," terang antusias anak kecil itu.
Harmoine bingung. Siapa yang dimaksud? Bunda? Sebutan untuk siapakah ini? Senyum getir terpandang di paras cantik Caroline
Gadis dalam balutan gaun mewah itu terlihat gelisah. Berusaha menenangkan diri dengan meremas tepian gaun di area pinggang.
"Bun-da?" Harmoine mengulang ucapan sambil mengernyit dahi. "Siapa, Sayang?" tanyanya untuk memastikan siapa itu.
Telunjuk Dennis mengarah kepada Caroline. "Ini Bunda. Iya, 'kan? Bunda? Bunda udah janji," rengek anak itu berpindah pada Caroline.
Melihat tatapan ceria penuh keceriaan dari anak itu, Caroline terenyuh. Nyaris menangis karena harapan kecil dari seorang anak sultan, hanya ingin sebuah kue ulangtahun agar ibu kandungnya bisa merasakan apa yang dia makan.
Caroline memerah, matanya berkaca-kaca. "Iya, Bunda janji, kita buat kuenya bareng-bareng nanti, ya," ungkap Caroline.
Di balik janji yang terucap, gadis berusia 22 tahun itu, ada sekumpulan tekad yang dibalut keinginan yang teramat besar untuk mengabulkan permintaan ini.
Caroline menuntun Dennis di sisinya. "Aku sebenarnya gak tahu ini acara apa, Kek, Calvino gak ngasih tahu, aku hanya diajak ke sini tanpa tahu apapun," papar Caroline bersikap polos dengan senyum manis yang disukai banyak orang.
Harmoine telah kembali berdiri, sebelumnya telah dibantu oleh Caroline. Karena sikap hangat dan senyum bak senja di akhir hari, warnanya berani, tetapi ia tetap lembut dipandang.
"Kakek buat pesta ini dengan nama The Harmoine Legacy Night: A Charity Gala for Hope," ungkap Harmoine mengedarkan pandangan ke sekeliling ballroom.
Aroma berbagai hidangan dengan aroma khas ballroom itu bercampur menjadi satu, vanilla, strawberry, coklat, mentega, citrus halus, aroma kayu, musk lembut, dan perpaduan bunga segar lainnya menjadi pionir paling menonjol.
Aroma mawar paling banyak terhirup, sedang Caroline terfokuskan dengan ocehan Harmoine yang sepertinya sangat suka mengobrol.
"Awalnya Kakek hanya mau membuat pesta kecil untuk mengumpulkan Calvino, Marisa dan Bambam, mereka terlalu sering tidak bertemu, lalu ...," jelas Harmoine bertatapan sendu.
Caroline tak sengaja melihat LED screen, bertajuk The Harmoine Legacy Night: A Charity Gala for Hope, di bawahnya ada foto serta video anak-anak berkepala botak, adapula yang menggunakan penutup kepala yang terbuat dari bahan benang wol.
Seketika Caroline ber-celetuk. "Penggalangan dana untuk anak-anak penderita kanker di rumah sakit rakyat?"
Harmoine yang baru saja ingin memberitahu, langsung dibuat tercengang dengan pengetahuan cucu menantunya. "Kamu tahu soal rumah sakit, rakyat?" tanya Harmoine.
Sebelum ini, Harmoine tidak pernah mendapatkan kesempatan berbincang panjang lebar dengan cucu menantunya. Yuzdeline tidak pernah mengizinkan Harmoine berbincang lama dengannya.
Dia sangat cuek dan dingin, ya! Yuzdeline terlalu egois, dia membenci obrolan membosankan dengan Harmoine yang sepanjang waktu membicarakan badan amal dan sukarelawan untuk berbakti pada masyarakat.
Caroline menoleh dan mengangguk, kecil. Dia ragu harus mengatakan atau bersikap semacam apa, pasalnya dia sedang menjadi orang lain.
"Aku pernah mendengarnya beberapa kali," elak Caroline mencari jawaban paling netral.
Seperti apa sikap Nyonya Yuzdeline? Aku gak tahu, aku bingung harus seperti apa? Haruskah aku jawab kalau aku ....
Pernah menemani seorang wanita yang telah lama menghilang ke rumah sakit itu untuk menjadi relawan mengajar anak-anak penderita kanker membaca, menulis dan berhitung.
Wanita itu ..., di mana dia sekarang? Setelah ibu kecelakaan, dia gak pernah kelihatan lagi, apa dia pindah?
Batin Caroline mengingat seseorang yang pernah hadir di hidupnya.
(Menurut kalian siapa wanita yang dimaksud Caroline? Apakah ada hubungannya dengan ibu angkatnya?)
(Kelanjutannya ada di bab selanjutnya...)
To be continued .....
Moga aja Calvino gk kebablasan
nasib mu yuz, anyep bgt