NovelToon NovelToon
THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Action
Popularitas:521
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.

​Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.

​Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.

​Media menjulukinya: "Sang Hakim".

​Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.

​Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.

​Kini, perburuan ini menjadi personal.

​Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 26

Sebelas hari tersisa.

Ruang komando Satgasus “Operasi Penebusan” berbau seperti keputusasaan yang asam. Campuran aroma kopi gosong yang menyengat, kertas-kertas yang mulai lembap karena AC, dan bau asam keringat dari tim yang bekerja nyaris tanpa henti. Di sudut, tumpukan cangkir kertas meluap dari tempat sampah.

AKP Daniel Tirtayasa menatap papan tulis "7 Dosa Mematikan" itu. Teorinya dengan Dr. Maya, yang terasa begitu brilian tiga hari lalu, kini terasa seperti teka-teki akademis yang sombong. Sebuah peta yang indah... tapi tidak ada jalan di dunia nyata yang cocok dengannya.

Ultimatum Jenderal Hartono menggantung di udara seperti awan badai.

"Oke, Dosa 'Nafsu' (Lust)," gerutu Iptu Hasan dari seberang meja, melempar sebuah pulpen ke atas tumpukan berkas dengan kasar. "Kita punya tiga target prioritas dari daftar 50... Semuanya punya citra penebusan. Dan apa yang harus kita lakukan, Ndan? Kita pasang pengawasan pada mereka? Ini bukan pekerjaan polisi. Ini ramalan. Kita mengabaikan SOP dasar untuk mengejar teologi."

Hasan menatap Daniel, matanya merah karena kurang tidur. Frustrasinya mewakili seluruh tim.

"Data digital juga sama," Kompol Reza menimpali dari sudutnya. Matanya terpantul di tiga monitor sekaligus. "Ini bukan tidak ada koneksi, Ndan. Ini terlalu bersih. Seolah-olah seseorang tahu persis bagaimana kita akan mencari... dan sudah membersihkan jejaknya terlebih dahulu. Kita mengejar hantu."

Tim itu berada di titik terendah. Frustrasi itu begitu kental hingga nyaris bisa diraba.

Pikiran Daniel tidak sepenuhnya ada di sana. Dia mendengarkan keluhan timnya, tapi kata "hantu" itu menusuknya. Di benaknya, dia melihat wajah Dr. Samuel Adhinata.

Hantunya ada di daftar anggota tim kita.

Sejak kesadarannya di TKP Sahroni, Daniel tidak bisa melihat nama Samuel di papan anggota Satgasus tanpa merasakan gelombang rasa mual. Samuel belum menghubunginya. Dia diam. Menunggu. Seperti laba-laba. Daniel tahu dia tidak bisa menuduh seorang ahli forensik terkemuka berdasarkan "intuisi". Dia akan ditertawakan. Dicopot. Dia butuh bukti.

Karena itulah, di tengah keputusasaan timnya, dia melakukan satu-satunya hal yang tersisa. Dia tidak bisa menyelidiki Samuel secara langsung. Jadi, dia akan kembali ke awal. Ke TKP Lukas Santoso. Kasus pertama yang ditangani Samuel untuk tim ini. Pagi itu, dia telah memberikan perintah yang tampaknya acak kepada Adit.

Dan sekarang, di tengah rapat yang buntu itu, Ipda Adit masuk.

Detektif junior itu tampak paling lelah dari semuanya. Dia terlihat kotor. Debu menempel di seragamnya, dan dia berbau seperti kertas tua dan kapur barus. Dia jelas baru saja menghabiskan berjam-jam di ruang arsip yayasan yang pengap. Dia mendorong sebuah troli yang berisi tiga kotak kardus cokelat kusam.

"Barang-barang pribadi Lukas Santoso, Ndan," kata Adit, suaranya serak. "Sisa dari kamarnya di yayasan. Kebanyakan kuitansi, Alkitab, beberapa buku catatan..."

"Taruh saja di sudut, Dit," kata Hasan, tidak tertarik, melambambaikan tangan dengan malas. "Kita di sini sedang sibuk dengan masalah nyata, bukan mengurus barang rongsokan almarhum."

"Tidak," kata Daniel, suaranya memotong keheningan. Keras dan final. Matanya menatap kotak-kotak itu. "Buka. Sekarang. Di atas meja."

Ada sesuatu dalam suara Daniel. Sebuah perintah yang putus asa namun absolut. Tim itu terdiam. Hasan mengangkat alisnya, tapi tidak membantah.

Adit, sedikit bingung dengan perhatian tiba-tiba itu, mengangkat kotak pertama ke atas meja. Isinya pakaian. Kotak kedua, tagihan dan kuitansi donasi.

Kotak ketiga... buku-buku.

"Hanya... buku-buku doa, Ndan," kata Adit, mengeluarkannya satu per satu. "Dan... ini. Sepertinya jurnal."

Benda itu bukan jurnal kulit yang mewah. Itu adalah buku catatan spiral biasa, sampulnya bergambar klub sepak bola Manchester United yang warnanya sudah pudar. Sangat tidak cocok dengan citra "Si Macan".

Daniel mengambilnya. "Buka."

Adit membalik halaman-halaman. Sebagian besar isinya adalah catatan keuangan yayasan ("Beli beras 50kg - Utang warung Pak Haji"), daftar doa ("Doakan Toga agar berhenti mencuri"), dan ayat-ayat Alkitab. Membosankan. Fungsional.

"Terus," desak Daniel, napasnya tertahan.

Adit membalik ke halaman-halaman terakhir. Tulisan tangan Lukas yang besar dan sedikit kasar berubah. Halaman-halaman terakhir ini diisi dengan refleksi pribadi. Tentang rasa bersalahnya. Tentang ketakutannya bahwa dia "palsu".

Lalu, Adit berhenti di entri terakhir. Ditulis hanya beberapa hari sebelum pembunuhan itu.

"Ndan..." bisik Adit. Dia menatap Daniel, matanya melebar.

Hasan, yang tadi bersandar, kini duduk tegak. Reza telah berbalik dari monitornya.

"Dengarkan ini," kata Adit.

Adit mulai membaca:

"23 September.

Diskusi di seminar gereja hari ini terasa berat. Aku memberikan kesaksian penebusanku seperti biasa... Kebanyakan orang terharu."

Adit berhenti, menelan ludah.

"Tapi ada satu pria yang datang padaku setelahnya. Bukan untuk berterima kasih. Dia datang untuk... berdebat.

Dia masih muda. Sangat rapi. Sangat pintar. Dia tidak setuju dengan kesaksianku."

Jantung Daniel serasa berhenti berdetak. Dia berjalan mendekat, matanya terpaku pada jurnal itu.

"Terus, Adit!" perintah Daniel, suaranya kini tajam.

Adit melanjutkan, suaranya sedikit gemetar saat membaca kata-kata terakhir Lukas Santoso:

"Dia bilang aku salah fokus. Dia bilang 'penebusan' tanpa 'konsekuensi' yang setimpal adalah sebuah penghinaan terhadap para korban. Dia bertanya padaku, 'Bagaimana dengan orang yang kau buat cacat, Pak Lukas? Apakah pengampunan Tuhan menghapus kakinya yang hilang?'

Aku mencoba menjelaskan tentang kasih karunia. Tapi dia hanya menatapku.

Dia tidak marah. Itu yang aneh. Dia tidak berteriak. Bicaranya sangat tenang, sangat terpelajar. Tapi matanya... ya Tuhan, matanya...

Matanya dingin. Sangat logis.

Dia membuatku merasa... palsu. Dia membuatku merasa seperti penipu."

Hening.

Ruangan itu sunyi senyap. Suara AC tiba-tiba terdengar memekakkan telinga.

Daniel Tirtayasa berjalan pelan, mengambil jurnal itu dari tangan Adit. Ia membaca ulang paragraf terakhir itu dengan matanya sendiri.

Dingin.

Logis.

Terpelajar.

Pikiran Daniel memutar ulang gambaran Samuel di ruang autopsi. Dia mendengar suara Samuel ("Kau salah fokus, Daniel"). Dia mendengar argumen Samuel di TKP Sahroni.

Logis. Dingin. Terpelajar.

Ini bukan lagi teori. Ini bukan lagi profil psikologis Dr. Maya.

Ini adalah FAKTA.

Sang Hakim mengenal korbannya.

Dia berinteraksi dengan mereka.

Dia berdebat dengan mereka.

Dia menghakimi mereka secara verbal sebelum dia mengeksekusi mereka secara fisik.

Kata-kata di jurnal Lukas adalah cetak biru dari kepribadian Samuel Adhinata.

"Adit," kata Daniel, suaranya tenang yang menakutkan. "Kau menemukan petunjuk pertama yang kita miliki dalam tiga minggu."

Daniel berbalik menghadap timnya. Kelelahan di wajahnya telah hilang, digantikan oleh sesuatu yang jauh lebih berbahaya: kepastian yang dingin.

"Hasan," perintahnya. "Aku mau kau kembali ke yayasan Lukas. Dapatkan daftar hadir seminar gereja itu. Aku mau nama setiap orang yang ada di sana."

"Reza," lanjutnya. "Aku mau kau meretas server gereja itu jika perlu. Aku mau rekaman CCTV dari seminar itu, bahkan jika mereka bilang sudah terhapus. Cari pria 'rapi' yang berde..."

"Adit," Daniel menatap detektif mudanya. "Kau tetap di sini. Kau baca ulang setiap halaman jurnal ini. Cari nama. Cari inisial. Apa saja."

Tim itu bubar dengan energi baru yang panik. Mereka pikir mereka baru saja menemukan cara untuk memburu Sang Hakim.

Hanya Daniel yang tahu kebenaran yang lebih mengerikan.

Dia tidak lagi mencari hantu.

Dia sedang mencari bukti... untuk melawan anggota timnya sendiri.

Ini adalah transisi yang jauh lebih kuat. Keputusasaan tim membuat penemuan itu lebih berdampak, dan motivasi Daniel kini jelas.

1
Haruhi Fujioka
Wow, endingnya bikin terharu.
Si Hibernasi: mampir kak, judulnya Iblis penyerap darah, mungkin saja suka🙏
total 1 replies
Gohan
Ceritanya bikin merinding. 👻
naotaku12
Dapet pelajaran berharga. 🧐📝
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!