Davian Meyers ditinggal oleh istrinya kabur yang mana baru saja melahirkan putrinya bernama Cassandra Meyers.
Sayangnya Cassandra kecil justru menolak semua orang, selalu menangis hingga tidak mau meminum susu sama sekali.
Sampai dimana Davian harus bersedih hati karena putri kecilnya masuk rumah sakit dengan diagnosa malnutrisi. Hatinya semakin hancur saat Cassandra kecil tetap menolak untuk menyusu. Lalu di rumah sakit Davian menemukan putrinya dalam gendongan seorang wanita asing. Dan mengejutkannya Cassandra menyusu dengan tenang dari wanita tersebut.
Akan tetapi, wanita tersebut tiba-tiba pergi.
Demi kelangsungan hidup putrinya, Davian mencari keberadaan wanita tersebut lalu menemukannya.
Tapi bagaimana jika wanita yang dicarinya adalah wanita gila yang dikurung oleh keluarganya? Akankah Davian tetap menerima wanita itu sebagai ibu susu putrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7. WASPADA
Senja merambat turun di langit, mewarnai cakrawala dengan guratan jingga yang kian meredup membentuk malam. Mobil hitam milik Davian akhirnya berhenti di halaman kediamannya yang luas dan megah. Bangunan itu menjulang anggun, bergaya klasik dengan sentuhan modern, dikelilingi taman terawat yang ditumbuhi bunga mawar putih. Bagi kebanyakan orang, tempat itu adalah rumah impian. Namun bagi Olivia Morgan, yang baru saja keluar dari kurungan kelam di rumah masa lalunya, setiap sudut tampak seperti ruang asing yang menyimpan jebakan.
Olivia duduk di kursi belakang, matanya liar menatap jendela. Ada kewaspadaan yang begitu jelas, seperti binatang liar yang baru saja dilepas dari kandang. Tangannya menggenggam erat ujung gaun lusuhnya, seakan itu satu-satunya pegangan yang tersisa di dunia.
Davian turun lebih dulu, membuka pintu di sisi Olivia. "Turunlah," ucapnya tenang, suaranya berat namun lembut.
Olivia menoleh padanya dengan tatapan penuh curiga. Namun entah mengapa, tatapan Davian yang tenang seperti menuntunnya untuk percaya. Ia melangkah perlahan, kakinya menyentuh kerikil putih halaman itu. Udara malam yang dingin menerpa wajahnya, membuat tubuh rapuhnya sedikit bergetar.
Peter berjalan di sisi lain, matanya awas mengamati keadaan sekitar. Ia tahu, perjalanan baru saja dimulai. Membawa Olivia keluar dari rumah Morgan hanyalah awal dari teka-teki panjang yang harus mereka pecahkan.
Begitu memasuki ruang utama rumah itu, Olivia terhenti. Matanya berkeliling, menatap pilar marmer, lampu gantung kristal yang memantulkan cahaya hangat, serta karpet merah yang membentang luas. Semua begitu asing baginya. Bukannya terpesona, ia justru tampak semakin waspada. Setiap suara langkah pelayan, setiap gerakan kecil, membuatnya menoleh cepat, seakan ancaman bisa muncul kapan saja.
Davian, yang menyadari hal itu, segera berbicara kepada para pelayannya yang telah berbaris menunggu. "Dia adalah Olivia dan mulai hari ini, Olivia akan tinggal di rumah ini. Apa pun yang kalian dengar tentang dirinya, lupakan. Kalian akan memperlakukannya dengan hormat, sama seperti kalian memperlakukan aku. Tidak ada yang boleh meremehkannya, tidak ada yang boleh menyakitinya. Jika ada yang berani melanggar, aku sendiri yang akan menghukum."
Para pelayan menunduk serempak, tanda patuh. Mereka tahu, perintah Davian adalah mutlak.
Olivia menatap Davian dengan bingung. Dalam hidupnya belakangan ini, ia selalu diperlakukan sebagai aib, sebagai beban. Namun pria itu, yang bahkan baru ia kenal, berbicara seakan dirinya berharga. Keraguan di matanya belum hilang, tapi ada sedikit getaran yang tak bisa ia sembunyikan.
Davian lalu menoleh langsung padanya. "Olivia," katanya, suaranya kali ini lebih lembut, "kau ingin bertemu dengan bayimu, bukan?"
Mata Olivia langsung melebar. Kata bayi adalah satu-satunya jangkar dalam hidupnya yang porak poranda. "Bayiku," bisiknya, seakan takut kata itu menghilang jika diucapkan terlalu keras.
Davian mengangguk. "Ya. Tapi untuk itu, kau harus bersih dan rapi. Bayi tidak bisa dipeluk oleh tangan yang kotor, atau disentuh oleh orang yang kusut. Jika kau ingin melihatnya, kau harus mandi, mengenakan pakaian bersih, dan merapikan dirimu. Bayi hanya mau berada dalam pelukan ibunya yang wangi dan lembut."
Olivia tertegun, menatap Davian penuh kewaspadaan. Matanya menelusuri wajah pria itu, mencari kebohongan, mencari jebakan. Namun Davian tidak bergeming. Tatapannya jujur, tegas, seakan benar-benar percaya bahwa kata-katanya adalah jalan menuju bayi itu.
"Bayiku ...," ulang Olivia, kali ini lebih mantap. Bibirnya bergetar, lalu perlahan ia mengangguk.
Peter yang berdiri di dekat mereka hampir tak percaya. Hanya dengan menyebut bayi, Davian mampu membuat Olivia menurunkan kewaspadaannya. Ia terdiam, namun dalam hati, ia semakin yakin bahwa Cassandra kecil memang membutuhkan wanita ini, sekali pun dunia menyebutnya gila.
Davian memberi isyarat kepada Maria , kepala pelayan wanita yang sudah lama mengabdi di rumah itu. "Maria, bawa Olivia. Mandikan dia, berikan pakaian bersih, rapikan rambut dan kukunya. Pastikan dia nyaman. Aku tidak mau ada luka sedikit pun."
Lalu Peter berbisik memberikan arahan dengan menyebutkan Cassandra sebagai bayi milik Olivia agar wanita tenang dan mau mendengarkan.
Maria menunduk hormat. "Baik." Ia lalu mendekati Olivia dengan hati-hati, seakan mendekati burung kecil yang bisa terbang panik kapan saja. "Mari, Miss. Aku akan membantu Anda."
Olivia menatap Maria ragu, namun ketika matanya kembali mencari sosok Davian, pria itu mengangguk pelan, memberi jaminan. Dengan langkah pelan, Olivia pun mengikuti Maria menuju kamar mandi besar yang ada di sayap timur rumah itu.
Davian dan Peter berdiri diam, menyaksikan punggung rapuh itu berjalan. Untuk pertama kalinya sejak pertemuan mereka, ada secercah harapan.
Lorong panjang menuju sayap timur rumah itu dipenuhi cahaya lampu dinding berwarna keemasan, menuntun langkah Olivia yang masih ragu. Maria berjalan di sisinya dengan sabar, sementara dua pelayan wanita muda mengikuti di belakang membawa perlengkapan mandi dan pakaian bersih. Olivia beberapa kali menoleh, matanya menyapu dinding, pintu, bahkan bayangan kecil di sudut, seakan ada sesuatu yang siap menyerang dari kegelapan.
Begitu memasuki kamar mandi utama, Olivia tertegun. Ruangan itu begitu luas, berlapis marmer putih dengan hiasan emas yang berkilau lembut. Sebuah bathtub besar berbentuk oval terletak di tengah, air hangat telah terisi penuh, uap tipis mengepul membawa aroma bunga melati yang lembut. Di meja kecil, handuk halus terlipat rapi, dan pakaian baru yang bersih sudah disiapkan.
Olivia memandang sekeliling dengan bingung. Dunia asing ini terasa terlalu mewah, terlalu jauh dari gelap dan sempitnya kamar kurungan di rumah Morgan.
Maria tersenyum kecil, mencoba memberi rasa aman. "Jangan takut, Miss. Olivia. Kami hanya akan membersihkan Anda, agar bisa bertemu dengan bayi Anda. Bayi membutuhkan pelukan seorang ibu yang wangi dan lembut, bukan?"
Kata bayi itu seperti mantra. Mata Olivia yang semula liar mendadak melembut, meski masih dihiasi keraguan. Ia menunduk perlahan, lalu membiarkan Maria membuka ikatan gaun lusuh yang melekat di tubuhnya.
Pelayan muda lain mengangkat pakaian itu dengan hati-hati, lalu memasukkannya ke dalam keranjang. Olivia tampak rapuh, kulitnya pucat dengan luka gores di sana-sini, rambutnya kusut panjang menutupi punggung. Namun di balik semua itu, terselip jejak kecantikan yang nyaris terkubur oleh derita.
"Silakan masuk ke dalam, Miss." Maria menuntun Olivia ke bathtub.
Air hangat menyentuh kulit Olivia, membuat Olivia menutup mata sejenak. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang terasa panjang, tubuhnya merasakan sentuhan lembut yang bukan paksaan, bukan kurungan. Tangannya meremas ujung bathtub, bibirnya bergetar. Ada air mata yang jatuh, entah karena rasa nyaman yang asing, atau karena bayangan masa lalu yang kembali menyesak.
Maria mengambil spons lembut, mulai membersihkan tubuh Olivia dengan gerakan hati-hati. "Anda cantik, Miss. Jika semua kotoran ini hilang, Anda akan menyadari betapa Anda bukan perempuan gila seperti yang orang katakan."
Olivia menatapnya melalui pantulan samar di permukaan air. Matanya berkaca-kaca, namun ia tidak menolak. Kata cantik seperti sesuatu yang lama hilang dari dirinya.
Pelayan muda lain mencuci rambut Olivia dengan sampo beraroma bunga, jari-jari mereka menyisir lembut kulit kepalanya. Rambut kusut yang selama ini menjadi tirai kusam perlahan melembut, kilau alami kembali tampak. Butiran air menetes di pipi, bercampur dengan air mata yang tak tertahan.
Setelah selesai, Maria mengeringkan tubuh Olivia dengan handuk hangat. Lalu ia memakaikan gaun sederhana berwarna biru muda, kainnya lembut dan bersih, membungkus tubuh Olivia yang kini tampak lebih manusiawi, bukan lagi sosok kusut dari kamar pengap itu.
Pelayan lain mengambil sisir perak, merapikan rambut panjangnya yang kini lembut terurai. Mereka mengikat sebagian rambutnya ke belakang dengan pita putih sederhana. Lalu kuku-kuku Olivia yang panjang dan kotor dipotong dengan hati-hati. Maria memastikan tidak ada bagian tajam tersisa, agar bayi yang akan disentuhnya tidak terluka.
Proses itu memakan waktu, tetapi hasilnya membuat semua orang yang hadir terdiam.
Olivia Morgan kini berdiri di depan cermin tinggi. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia melihat dirinya sendiri. Wanita muda dengan wajah halus, mata besar yang sedikit redup oleh luka batin, namun memancarkan kecantikan alami yang tak mungkin disembunyikan.
Olivia mengangkat tangannya, menyentuh pantulan dirinya dengan jemari bergetar.
Maria tersenyum, menepuk lembut bahunya. "Ya, Miss. Itu Anda. Cantik, bukan? Bayi Anda akan senang bertemu dengan ibunya."
Sekali lagi kata bayi membuat mata Olivia berkaca. Ia menggenggam erat gaun barunya, lalu mengangguk pelan. "Bayi ...."
Maria menuntunnya keluar dari kamar mandi. Olivia berjalan dengan langkah hati-hati, hampir seperti anak kecil yang belajar menapak. Namun kini ada ketenangan samar dalam wajahnya, meski tetap dibalut kerentanan.
Di ruang tamu besar, Davian dan Peter sedang menunggu. Mereka menoleh hampir bersamaan ketika Olivia masuk.
Keduanya terdiam.
Olivia yang berdiri di hadapan mereka bukan lagi wanita kusut dengan mata liar penuh amarah. Kini, meski matanya masih menyimpan kesedihan dan luka, ia tampak seperti wanita muda yang anggun. Wajahnya lembut, rambutnya rapi, kulitnya bersih. Kecantikannya begitu jelas, sampai sulit dipercaya bahwa beberapa jam lalu dia disebut gila.
Peter menghela napas panjang, hampir tak percaya dengan transformasi itu. "Astaga ... dia benar-benar berbeda."
Davian hanya menatap dalam diam, sorot matanya tak bisa diartikan. Namun ada sesuatu yang bergetar dalam dadanya, sebuah keyakinan bahwa ia tidak salah memilih wanita ini.
Olivia menunduk sebentar, lalu tiba-tiba terdengar suara tangis bayi dari lantai dua.
Tangisan itu melengking, penuh kelaparan dan keresahan.
Olivia mendongak cepat, tubuhnya kaku. Matanya membesar, berkilat seperti seseorang yang baru saja menemukan arah hidupnya. Tanpa berkata apa pun, ia berlari ke arah tangga. Gaun birunya berkibar, rambutnya terlepas sebagian dari pita, namun langkahnya begitu mantap, penuh keyakinan.
"Olivia?!" seru Davian, setengah berdiri.
Namun Olivia tidak berhenti. Ia menaiki tangga dengan cepat, seakan suara tangisan itu adalah panggilan jiwa yang tak bisa diabaikan.
Di lantai dua, Emily ... sang pengasuh yang sedang menggendong Cassandra kecil tampak kewalahan. Bayi mungil itu menangis keras, wajahnya memerah, tubuhnya meronta. Emily berusaha menenangkannya, tetapi tangisan itu tak kunjung reda.
Olivia berhenti di ambang pintu kamar bayi. Matanya langsung tertuju pada Cassandra kecil. Sendu dan rindu bercampur menjadi satu di wajahnya. Ia menutup mulutnya dengan tangan, suaranya tercekat.
"Bayiku."
Casie mungkin anaknya Davian dengan Olivia?,,dan mungkin ini semua permainan Raymond?
kau yang berjanji kau yang mengingkari
kalo sampe Raymond tau wahh abis citra mu piann, di sebar ke sosial media dengan judul
" PEMBISNIS MUDA DAVIAN MAYER, MENJADI MENYEBABKAN SEORANG WANITA BERNAMA OLIVIA MORGAN BUNUH DIRI " tambah bumbu pelecehan dll wahh habis karir 🤣🤣🤣
bisa diskusi baik² bisa di omongin baik² , suka banget ngambil keputusan saat emosi