Aku membuka mata di sebuah ranjang berkelambu mewah, dikelilingi aroma parfum bunga yang asing.
Cermin di depanku memantulkan sosok wanita bertubuh besar, dengan tatapan garang dan senyum sinis—sosok yang di dunia ini dikenal sebagai Nyonya Jenderal, istri resmi lelaki berkuasa di tanah jajahan.
Sayangnya, dia juga adalah wanita yang paling dibenci semua orang. Suaminya tak pernah menatapnya dengan cinta. Anak kembarnya menghindar setiap kali dia mendekat. Para pelayan gemetar bila dipanggil.
Menurut cerita di novel yang pernah kubaca, hidup wanita ini berakhir tragis: ditinggalkan, dikhianati, dan mati sendirian.
Tapi aku… tidak akan membiarkan itu terjadi.
Aku akan mengubah tubuh gendut ini menjadi langsing dan memesona.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ICHA Lauren, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kau Tidak akan Melihatku Lagi
Nateya berdecak kesal, hatinya mendidih. Semula ia mengira Elias tidak akan pulang malam ini, tetapi pria itu justru muncul mengetuk pintunya saat dirinya hampir tertidur.
Apa Elias sudah bosan merawat Amara hingga memilih pulang? Ataukah pria itu datang hanya untuk memarahinya, menyalahkannya atas insiden gelas yang melukai tangan Amara?
Enggan meladeni Elias, Nateya memilih diam dan mencoba memejamkan mata. Namun suara ketukan tak kunjung berhenti.
Tok… tok… tok…
“Seruni,” suara Elias terdengar dalam dan tegas. “Aku tahu kau belum tidur. Jangan coba mengabaikanku. Kalau kau tetap diam, aku akan terus mengetuk. Dan kalau anak-anak sampai terganggu tidurnya, itu salahmu.”
Nateya mengertakkan gigi, menahan rasa jengkel. Astaga, pria ini memang tak bisa memberinya ketenangan barang sesaat pun.
Dengan malas, ia turun dari ranjang. Kaki Nateya melangkah lebar, lalu membuka pintu kamarnya.
“Kenapa kau malah ke sini? Kenapa tidak kembali saja merawat Amara-mu yang tersayang?” sindir Nateya, matanya menyipit penuh kejengkelan.
Elias tidak menjawab. Tanpa permisi, ia menerobos masuk ke kamar, membuat Nateya mendengus kesal. Pria itu menutup pintu dengan hentakan, sebelum berbalik menatap tajam.
“Aku sudah mengantuk, Elias,” kata Nateya dingin. “Waktumu paling lama lima menit untuk bicara.”
Elias menatap Nateya dalam-dalam, otot wajahnya menegang.
"Jadi ini alasanmu? Kau meninggalkan aku begitu saja di rumah Papa Adrian hanya karena cemburu pada Amara? Kenapa, Seruni? Kenapa setiap kali cemburu, kau selalu melakukan hal-hal yang tidak masuk akal? Apa pantas seorang istri pergi tanpa berpamitan pada suaminya?”
Nateya berdecak sinis. “Cemburu? Hah, percaya diri sekali kau, Jenderal Elias.”
Ia melangkah pelan mengitari Elias. “Aku pergi karena aku tidak ingin anak-anak melihat contoh buruk dari ayahnya. Seorang suami yang terang-terangan mengurus adik istrinya di depan umum. Mengenai pantas atau tidak—”
Nateya sengaja menjeda ucapannya sambil menatap lurus ke mata Elias, “—justru aku yang perlu bertanya padamu. Pantaskah aku menunggu pasangan selingkuh yang merasa dirinya paling benar?"
Wajah Elias memerah, rahangnya mengeras. Ia membalas ucapan Nateya dengan nada tinggi.
“Kau menuduhku serendah itu, Seruni! Aku tidak pernah berselingkuh dengan Amara. Aku hanya menolongnya setelah kau melukainya!”
“Melukai?” Nateya hampir tertawa muak. “Kau seorang jenderal. Apa pandanganmu yang katanya jeli dan tajam berubah jadi buta karena cinta?" sarkasnya, tajam.
"Jelas tadi gelas itu sudah retak. Pecahnya gelas itu sudah diatur, entah oleh Amara atau Tante Cornelia. Dan kau malah menyalahkan aku?”
Elias terdiam. Ada keraguan sesaat di matanya, tetapi ia segera menundukkan wajah, menghela napas panjang.
“Sudahlah, aku tidak mau berdebat panjang. Aku hanya ingin mengatakan, jangan bersikap kekanak-kanakan lagi. Aku sudah cukup bersabar padamu. Jangan mengujiku lebih jauh, Seruni," pungkas Elias.
Tatapan Nateya menyala. Ia melangkah maju, berdiri tepat di depan Elias, hingga jarak mereka hanya sejengkal.
“Kalau kelakuanku melewati batas kesabaranmu, lalu kau mau apa?” balas Nateya menantang balik, kepalanya terangkat angkuh.
“Menceraikan aku?”
Keheningan tiba-tiba memenuhi kamar. Mata Elias melebar menatap istrinya.
Dahulu Seruni paling takut diceraikan, bahkan bersedia berlutut di kakinya untuk memohon cinta. Namun, sekarang wanita ini malah berani menantang langsung di hadapannya.
Elias menyipitkan mata, suaranya meninggi penuh amarah.
"Kau berniat bercerai dariku, Seruni? Apa kau mampu bertahan hidup di luar sana tanpa bantuanku?"
Nateya menegakkan punggungnya. Ia tidak bergeming sedikit pun, meski sorot mata Elias semakin menggelap.
Dengan suara tenang, ia menjawab, "Kenapa kau marah, Jenderal? Aku hanya menebak isi pikiranmu. Bukankah sejak awal memang aku yang bersalah? Aku yang memaksamu menikahiku, padahal kau tidak pernah mencintaiku. Dan sekarang… kita berdua masih bertahan hanya demi anak-anak."
Sambil menarik napas panjang, Nateya menatap Elias dengan ekspresi datar.
"Tenang saja. Tidak lama lagi kau tidak akan melihatku lagi. Tidak ada yang akan menghalangi langkahmu untuk meraih cinta sejati.”
Ucapan Nateya sontak membuat Elias terperanjat. Jemarinya langsung terulur, meraih pinggang Nateya dengan cengkeraman kuat.
"Apa maksudmu? Katakan dengan jelas, Seruni!”
Nateya mengangkat dagunya, menatap balik tanpa gentar sama sekali.
“Lusa aku akan pergi. Ke rumah peristirahatan peninggalan kakekku di kaki Gunung Arunika. Aku akan tinggal di sana selama dua bulan," jawab Nateya lugas.
"Selama itu, tidak boleh ada yang mencariku atau menggangguku, apalagi kau, Elias. Satu-satunya pengecualian hanyalah si kembar. Mereka boleh datang kapan pun mereka mau."
Penjelasan Nateya membuat darah Elias mendidih. Ia tidak habis pikir mengapa istrinya mendadak mengambil keputusan yang tidak masuk akal. Pasti keinginan Seruni ini dibuat berdasarkan rasa cemburunya yang berlebihan kepada Amara. Dorongan emosi sesaat untuk menarik perhatiannya.
"Dua bulan sendirian di tempat terpencil? Apa kau sudah gila? Kau pikir itu tempat bermain, atau ruang untuk melampiaskan amarah? Aku tidak akan mengizinkanmu pergi ke sana."
“Terserah kau mau menyebutku apa. Gila, bodoh, keras kepala, aku tidak akan menyangkal," tegas Nateya.
"Yang jelas, kau tidak bisa menahanku, Elias. Ini permintaanku yang kedua, dan kau harus mengabulkannya sebagai seorang pria sejati."
Elias mendengus kasar. Perkataan Nateya membuatnya tak mampu membalas. Jemarinya yang masih mencengkeram pinggang Nateya bergetar, seolah ia sendiri tidak yakin apakah ia ingin menahan atau justru melepaskan sang istri.