Di sebuah pulau kecil di Jeju, Lee Seo Han menjalani kehidupannya yang sunyi. Ditinggal kedua orang tuanya sejak remaja, ia terbiasa bergulat dengan kesendirian dan kerasnya kehidupan. Bekerja serabutan sejak SMA, ia berjuang menyelesaikan pendidikannya sendirian, dengan hanya ditemani Jae Hyun, sahabatnya yang cerewet namun setia.
Namun musim panas itu membawa kejutan: Kim Sae Ryeon, cahaya yang menyinari kegelapan hidupnya. Perlahan tapi pasti, Seo Han membuka hatinya untuk merasakan kebahagiaan yang selama ini ia hindari. Bersama Sae Ryeon, ia belajar bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan, tapi juga tentang mencintai dan dicintai.
Tapi takdir berkata lain. Di puncak kebahagiaannya, Seo Han didiagnosis mengidap ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), penyakit langka yang secara perlahan akan melumpuhkan tubuhnya. Di hadapan masa depan yang tak menentu dan ketakutan menjadi beban, Seo Han membuat keputusan paling menyakitkan: mengorbankan cintanya untuk melindungi orang tersayang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rahmad faujan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CINTA PERTAMA JAE HYUN
Di Pulau Jeju, jauh dari kebisingan dan kepadatan Seoul, kehidupan di warung kecil Bibi Mi-young berlangsung seperti biasa, hanya saja dengan tempo yang lebih sibuk.
jae Hyun kini berdiri di balik meja kasir. Ia terpaksa menggantikan seo Han yang sedang di Seoul. Meskipun tangannya cekatan melayani pesanan, pikirannya terasa hampa. Kekecewaan masih membekas terlalu kuat.
Tring! Suara bel pintu berbunyi nyaring, memotong lamunan Jae Hyun.
"Selamat datang, mau pesan ap—" Kata-katanya terputus di tenggorokan.
Jae Hyun terpaku. Di depan pintu, berdiri seorang gadis yang langsung membuat semua kebisingan warung seolah meredup. Itu adalah sin haneul gadis yang ia sukai sejak masa SMA.
Haneul tampak sama seperti yang ia ingat, dengan rambut hitam panjang terurai dan aura anggun yang lembut.
"Halo, Jae Hyun. Lama tidak bertemu," sapa Haneul dengan senyuman ramah. Senyumnya begitu tulus sehingga sukses menghapus sejenak rasa cemas dan marah yang Jae Hyun rasakan sejak pagi.
Jae Hyun merasa pipinya sedikit memanas. Ia berusaha menguasai diri dan memasang ekspresi profesional.
"Haneul?" jawabnya, sedikit terkejut, suaranya terdengar lebih tinggi dari biasanya. "Astaga, kamu... kamu di Jeju? Kupikir kamu di Seoul."
"Aku sedang berlibur. Kebetulan lewat sini dan teringat dengan masakan ibumu," jelas Haneul, pandangannya menyapu warung. "Ternyata kamu yang menjaga warung sekarang?"
"Ah, iya. Ibuku sedang repot di dalam. Mau pesan apa?" tanya Jae Hyun, berusaha fokus, tetapi matanya sulit beralih dari Haneul. Kehadiran Haneul adalah distraksi yang ia butuhkan, sebuah jeda dari misteri Seo Han dan Seo Ryeon.
"Aku pesan Nasi Campur ala Jeju dan segelas air dingin saja, Jae Hyun," jawab Haneul, lalu berjalan menuju meja kosong di dekat jendela.
Jae Hyun hanya mengangguk, lalu berbalik ke belakang meja, memegang order pesanan dengan tangan yang sedikit gemetar. Pikirannya, yang tadinya penuh dengan konflik, kini tiba-tiba dipenuhi dengan rasa gugup khas remaja.
...----------------...
Sementara di Seoul seo Han sedang berusaha kuat di dalam taxi.
Sopir taksi itu menatapnya dengan pandangan khawatir yang dalam di kaca spion, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya hanya menghela napas dan kembali fokus pada jalanan. Mungkin dia sudah sering melihat orang-orang dengan beban tak terlihat di kota ini.
Mobil kembali melaju. Seo Han menyandarkan kepala ke jendela yang dingin, menikmati sensasi dinginnya kaca di pelipisnya yang berdenyut, berusaha meredakan pusing yang tak kunjung hilang. Keadaannya ini memberinya justifikasi yang menyakitkan: ia benar-benar tidak dalam kondisi untuk tinggal dan menjelaskan segalanya kepada Jae Hyun dan Seo Ryeon. Tubuhnya sendiri yang memberontak.
Setelah sekitar tiga puluh menit perjalanan yang terasa seperti abadi, taksi berbelok dan berhenti di depan gerbang raksasa yang megah.
Di depannya berdiri RS Songpa Raya. Bangunan rumah sakit itu benar-benar wah, sebuah kompleks modern raksasa yang membentang luas—seperti kota kecil yang didedikasikan untuk kesakitan dan harapan. Fasadnya yang kokoh dari kaca dan baja berkilauan di bawah sinar matahari siang yang pucat, memancarkan aura otoritas medis yang tak terbantahkan. Ini jelas merupakan salah satu pusat medis terbesar dan paling bergengsi di Korea Selatan.
Melihat kemegahan dan kesibukan luar biasa di depan rumah sakit itu—ambulans, orang-orang yang lalu lalang dengan wajah muram—hati Seo Han menjerit dalam keheningan. Tempat ini terasa begitu jauh dari kenyamanan rumah sakit kecil di Jeju, begitu penting dan menakutkan, seolah-olah masalah yang menantinya di dalam jauh lebih besar dan lebih gelap daripada seluruh pulau Jeju.
Dengan langkah gontai, ia segera masuk ke dalam lobi utama. Suasana di dalam langsung mencekik: udara dingin ber-AC yang wangi disinfektan, gemuruh suara rendah dari ratusan orang, dan lampu neon terang yang menyinari setiap sudut, tidak memberi ruang untuk bayangan atau rahasia. Ia berjalan ke arah ruang administrasi, hatinya berdebar kencang.
"Permisi,untuk ruangan pemeriksaan di mana ya?" tanyanya pada seorang petugas keamanan, suaranya hampir hilang dalam keramaian.
Seo Han berjalan ke arah yang ditunjukkan. Ia menemukan deretan mesin antrean yang berkedip-kedip dengan sinis. Layarnya menampilkan urutan panjang angka-angka yang terasa tidak ada habisnya, seperti antrean menuju takdir. Ia menekan tombol dengan jari yang dingin, dan mesin itu mencetak secarik kertas kecil yang terasa dingin dan impersonal di tangannya: Nomor Antrean B-114.
Ia melihat papan elektronik besar di atas loket: nomor yang sedang dilayani adalah B-098. Ada sekitar lima belas orang di depannya. Lima belas cerita sedih sebelum gilirannya.
Seo Han berjalan ke area tunggu. Di sana, deretan kursi plastik keras berwarna biru tua tampak penuh oleh wajah-wajah yang diliputi kecemasan, kesabaran, dan kepasrahan. Ia menemukan satu kursi kosong di sudut, tepat di bawah embusan pendingin ruangan yang mengeluarkan udara dingin menusuk bagai pisau es.
Ia duduk, merasakan dinginnya plastik menembus celana jeansnya. Di sekitarnya, tidak ada yang bicara dengan suara keras. Sebuah perpustakaan yang dipenuhi kegelisahan. Kebanyakan orang menatap kosong ke layar ponsel, atau bicara pelan dengan nada serius dan putus asa kepada teman atau keluarga mereka. Udara dipenuhi desahan cemas, bisikan konsultasi yang tidak jelas, dan aroma ketakutan yang samar.
Dia merogoh saku hoodie-nya dan mengambil ponsel. Ia melihat jam: 12.55 siang. Kurang dari enam jam sampai pertemuan jam 6 malam dengan Ayahnya di kafe Knotted World. Sebuah tenggat waktu yang lain.
Dia harus mengisi waktu, mengisi kekosongan yang mencemaskan ini.
Ia membuka aplikasi peta untuk mencari kafe itu dan memastikan ia tahu rutenya. Namun, pandangannya teralih ke noda kecoklatan, sisa darah kering di lengan hoodie abu-abunya. Sebuah stigmata dari ketakutan dan kelemahannya. Peristiwa mimisan di taksi tadi kembali terasa nyata dan mengancam.
Seo Han mengusap pelipisnya yang mulai berdenyut lagi. Di Jeju, jika ia mimisan, Jae Hyun akan langsung menyuruhnya berbaring di teras kayu yang hangat dan memberinya kompres dingin dengan handuk kecil, ditemani candaan konyol tentang dewa pelindung pulau yang marah. Di sini, ia hanya seorang pemuda asing yang duduk sendiri di kursi plastik dingin, dengan bahaya yang tidak diketahui mengintai di balik loket nomor 4, sendirian melawan badai dalam tubuhnya sendiri.
Dring!