Istri Jenderal Yang Mencuri Hatinya
Sorot lampu panggung memantulkan kilaunya pada gaun biru gelap yang membalut tubuh langsing Nateya. Di hadapan ratusan pasang mata, ia menerima Medali Emas Internasional di Bidang Nutrisi dan Diet Klinis, penghargaan bergengsi atas terobosannya menciptakan metode diet medis yang membuat pasien obesitas mampu menurunkan berat badan sehat tanpa merusak metabolisme.
Tepuk tangan menggema. Wartawan memotret siluetnya berkali-kali. Nateya membalas dengan senyum hangat yang telah ia latih di depan cermin, meski di dalam hatinya ada rasa puas yang menggelegak.
Setelah bertahun-tahun begadang di laboratorium, menolak undangan pesta demi penelitian, dan menahan lelah demi pasien, dunia akhirnya mengakui perjuangannya.
Keluar dari aula, ia menggenggam ponselnya. Bukannya menelepon kekasihnya, Davin, dan sahabatnya, Arini, ia memilih membuat kejutan. Malam ini ia akan mengajak keduanya makan di restoran bintang lima yang sudah ia pesan diam-diam.
Mobil sport putihnya melaju mulus di jalanan malam. Senyum samar terbit di bibirnya saat ia membayangkan wajah terkejut Davin ketika ia muncul tanpa pemberitahuan.
Lift apartemen berhenti di lantai dua puluh. Dengan langkah ringan, ia menuju pintu unit Davin, membuka pintu dengan mudah. Nateya sangat hafal kombinasi passwordnya, sebab apartemen itu mereka beli bersama sebagai tabungan masa depan.
Akan tetapi begitu pintu terbuka, langkahnya membeku.
Lampu ruang tamu hanya menyala redup, menyisakan siluet dua tubuh di sofa. Bahu seorang pria—Davin—bergerak pelan, kepalanya menunduk dan bibirnya menempel pada bibir seorang wanita yang Nateya kenal seumur hidup: Arini.
Tangan Nateya yang masih menggenggam tasnya bergetar. “Apa yang kulihat ini?” suaranya pecah, tapi dingin.
Davin tersentak, melepaskan pelukan, wajahnya pucat. “Nateya… ini nggak seperti yang kamu pikir.
“Nggaj seperti yang kupikir?” Nateya melangkah masuk, matanya berkilat tajam. “Kamu mencium sahabatku di ruang tamu apartemen kita, Davin. Harus aku pikir ini apa? Latihan pernapasan buatan?”
Arini berdiri gugup, menarik cardigan menutupi bahunya. “Teya, aku bisa jelasin.”
“Kalian berdua tega sekali. Pengkhianat! Tukang selingkuh!”
Nateya menahan napasnya agar suaranya tidak pecah, tapi dadanya sakit seperti diremas. “Selama ini aku sibuk, iya. Aku kerja siang malam, iya. Tapi, aku nggak pernah sekalipun mengkhianati kalian. Dan ini balasannya?”
Davin melangkah mendekat, nada suaranya memohon. “Teya, aku khilaf. Arini cuma—”
“Cukup!” Nateya menepis tangannya. “Jangan kotori telingaku dengan alasan. Kalian sudah memilih. Dan aku juga memilih untuk keluar dari hidup kalian sekarang!"
Ia berbalik, matanya mulai memanas oleh air mata yang tak ingin ia jatuhkan di depan mereka. Sepatu haknya berderap cepat di lantai koridor.
Begitu masuk mobil, Nateya langsung menyalakan mesin. Tangannya mencengkeram setir kuat-kuat, sementara air mata akhirnya lolos, mengaburkan pandangan.
“Bodoh….” gumamnya pada diri sendiri, entah untuk siapa—Davin, Arini, atau dirinya sendiri yang begitu percaya.
Ia menginjak pedal gas. Mobil melesat di jalanan kota. Lampu-lampu neon dan gedung tinggi berlari di kaca depan, tapi ia tak peduli. Pikirannya penuh amarah, kecewa, dan luka yang terasa mentah.
Di tikungan, tiba-tiba sebuah mobil hitam di depannya berhenti mendadak.
“Argghh!”
Nateya memutar setir, tapi ban mobilnya kehilangan traksi. Dentuman keras terdengar. Tubuhnya terhentak hebat, sabuk pengaman menahan dada. Suara rem berdecit, kaca pecah, dan dunia berubah menjadi pusaran gelap.
***
Ketika kesadarannya kembali, Nateya merasakan sesuatu yang asing. Ia berbaring di ranjang empuk dengan kelambu putih bertepi bordir emas. Udara yang ia hirup mengandung aroma campuran bunga melati kering, minyak kayu manis, dan tembakau halus.
Matanya menatap langit-langit kayu jati berukir. Dinding ruangan berpanel kayu mengilap, dihiasi lukisan perkebunan tebu dan sawah. Lampu minyak bergoyang lembut di sudut, memberi cahaya hangat. Semua tampak seperti set film berlatar abad kolonial.
Nateya mendorong tubuhnya untuk bangun, tapi ada yang aneh. Berat. Tubuhnya terasa seperti memikul beban tambahan puluhan kilogram. Napasnya memburu hanya untuk duduk. Ia menurunkan kaki ke lantai marmer yang dingin, lalu berjalan tertatih ke meja rias besar dengan cermin perunggu setinggi manusia.
Begitu melihat pantulan di cermin, napasnya tercekat. Itu bukan dirinya ....
Bukan Nateya dengan wajah tirus, kulit cerah, dan tubuh langsing hasil disiplin bertahun-tahun.
Yang menatap balik adalah wanita berwajah bulat dengan pipi tembam, dagu berlipat, dan tubuh gendut yang dibalut gaun sutra mahal. Rambutnya yang berwarna hitam tampak kusut seperti sapu ijuk yang tidak terawat.
“Apa-apaan ini?” suara Nateya serak, gemetar. Ia memegang pipinya, merasakan kulit yang lebih tebal dan lembut, bukan pipi kencang yang ia kenal. Sentuhan itu nyata, dingin, dan tak bisa dibantah.
Jeritan pecah dari tenggorokannya. “AAAHHHH!”
Pintu kayu berukir diketuk keras. Suara seorang wanita paruh baya terdengar dari luar.
“Nyonya Seruni, Anda baik-baik saja? Kenapa berteriak? Apa Anda lapar?”
Nyonya… Seruni? Nateya membeku.
Ingatan segar melintas—novel klasik berlatar kolonial yang ia baca minggu lalu. Tokoh antagonisnya, wanita gendut, kejam, dan dibenci semua orang bernama Seruni. Seorang wanita blasteran Belanda-Indonesia, istri dari jenderal muda Belanda yang terkenal dingin.
Dan tokoh itu… diasingkan ke pulau terpencil lalu mati tragis di akhir cerita.
Darah Nateya seakan mengalir lebih cepat.
"Jangan bilang aku jadi dia. Apa mungkin aku masuk ke dalam novel?" kata Nateya membelalakkan mata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Dewiendahsetiowati
hadir thor
2025-08-15
0