NovelToon NovelToon
Glass Wing

Glass Wing

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Cinta Terlarang / Penyeberangan Dunia Lain / Fantasi Wanita / Saudara palsu / Dark Romance
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Vidiana

—a dark romance—
“Kau tak bisa menyentuh sayap dari kaca… Kau hanya bisa mengaguminya—hingga ia retak.”

Dia adalah putri yang ditakdirkan menjadi pelindung. Dibesarkan di balik dinding istana, dengan kecantikan yang diwarisi dari ibunya, dan keheningan yang tumbuh dari luka kehilangan. Tak ada yang tahu rahasia yang dikuburnya—tentang pria pertama yang menghancurkannya, atau tentang pria yang seharusnya melindunginya namun justru mengukir luka paling dalam.

Saat dunia mulai meliriknya, surat-surat lamaran berdatangan. Para pemuda menyebut namanya dengan senyum yang membuat marah, takut, dan cemburu.

Dan saat itulah—seorang penjaga menyadari buruannya.
Gadis itu tak pernah tahu bahwa satu-satunya hal yang lebih berbahaya daripada pria-pria yang menginginkannya… adalah pria yang terlalu keras mencoba menghindarinya.

Ketika ia berpura-pura menjalin hubungan dengan seorang pemuda dingin dan penuh rahasia, celah di hatinya mulai terbuka. Tapi cinta, dalam hidup tak pernah datang tanpa darah. Ia takut disentuh, takut jatuh cinta, takut kehilangan kendali atas dirinya lagi. Seperti sayap kaca yang mudah retak dan hancur—ia bertahan dengan menggenggam luka.

Dan Dia pun mulai bertanya—apa yang lebih berbahaya dari cinta? Ketertarikan yang tidak diinginkan, atau trauma yang tak pernah disembuhkan?

Jika semua orang pernah melukaimu,
bisakah cinta datang tanpa darah?



Di dunia tempat takdir menuliskan cinta sebagai kutukan, apa yang terjadi jika sang pelindung tak lagi bisa membedakan antara menjaga… dan memiliki?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

26

Lyeria sedang duduk di meja belajarnya, pena masih menggantung di jari-jarinya, kertas kosong terhampar di hadapannya. Surat balasan untuk Caleb belum juga ditulis. Berkali-kali ia menunduk, mencoba merangkai kalimat yang sopan, namun pikirannya terus berputar—mengapa jantungnya berdetak begitu tidak tenang?

Lalu—

Brakk.

Pintu kamarnya terbuka dengan kasar, menghantam dinding di belakangnya.

Lyeria terlonjak, hampir menjatuhkan tinta di mejanya.

Ferlay berdiri di ambang pintu. Nafasnya tak teratur, matanya gelap, bahunya tegang.

“Lyeria,” ucapnya.

Suara itu rendah. Tapi cukup untuk membuat ruangan yang tadinya hening mendadak seperti terisi petir.

Lyeria bangkit perlahan, berdiri menghadapnya. “Kau tidak mengetuk.”

“Aku tidak butuh izin untuk masuk ke kamar milikku,” jawab Ferlay tanpa berkedip.

Lyeria mengerutkan kening. “Kamar milikmu? Ini kamarku.”

Ferlay melangkah masuk tanpa menjawab. Ia memandangi meja tulis, lalu surat yang masih kosong.

“Jadi,” katanya, “kau benar-benar berniat membalas surat Caleb?”

Lyeria menatapnya, berusaha menjaga suaranya tetap tenang. “Apa masalahnya?”

Ferlay mendekat, langkahnya lambat namun seperti menekan udara di sekeliling mereka. Tatapannya tajam, seakan hendak menembus pikirannya.

“Masalahnya,” katanya lirih, “kau bahkan belum mengerti arti sebuah surat balasan. Kau tidak mengerti bagaimana pria itu melihatmu.”

“Caleb tidak buruk,” sahut Lyeria pelan, meski nadanya mulai goyah. “Dia sopan, lembut—”

Ferlay menyentuh kertas di meja itu, lalu menariknya, merobeknya jadi dua tanpa berkata apa pun. Kertas itu jatuh ke lantai seperti daun mati.

Lyeria menatapnya dengan mata membelalak. “Ferlay—!”

“Aku tidak akan membiarkanmu menulis surat pada pria itu,” ucapnya. Suaranya pelan, tapi nadanya lebih tajam dari pisau. “Tidak hari ini. Tidak besok. Tidak pernah.”

“Kenapa?” bisik Lyeria. “Kau bukan ayahku. Bukan siapa-siapaku.”

Ferlay memejamkan mata sejenak, seperti menahan sesuatu yang dalam.

Lalu ia membuka matanya—dan menatap Lyeria seakan gadis itu sudah jadi miliknya seumur hidup.

“Aku adalah alasan kenapa tidak ada satu pria pun di dunia ini yang cukup untukmu,” ucapnya perlahan, “termasuk Caleb.”

Lyeria mundur setengah langkah, tak bisa membalas. Karena untuk pertama kalinya… ia bisa mendengar bahwa suara itu bukan suara seorang kakak. Bukan pelindung.

Tapi sesuatu yang jauh lebih gelap. Lebih dalam.

Dan lebih berbahaya.

Tanpa peringatan—

Ferlay meraih wajahnya. Kasar. Tegas. Dan sebelum Lyeria sempat menghindar, bertanya, atau sekadar bernapas—ia telah menciumnya.

Tidak ada kelembutan.

Tidak ada jeda untuk persetujuan.

Hanya dorongan panas dan penuh amarah yang meledak di antara bibir mereka. Ciuman itu bukan permohonan. Bukan rayuan.

Itu adalah klaim.

Lyeria terkejut. Kedua tangannya terangkat, ragu apakah akan mendorong dada Ferlay atau hanya bertahan dari gemetar. Napasnya tercekat, tubuhnya kaku. Dunia di sekitarnya runtuh tanpa suara.

Inilah… ciuman pertama?

Ia pernah mendengar dari teman-temannya bahwa ciuman seharusnya hangat, pelan, membuat jantung berdetak cepat namun nyaman. Seharusnya ada desahan kecil. Seharusnya ada rasa seperti melayang.

Tapi ini—

—membakar.

Bukan dengan cinta. Tapi dengan hasrat yang brutal. Dengan kepemilikan yang menyesakkan.

Ferlay mencium seolah Lyeria adalah miliknya sejak dulu. Seolah dunia tak punya hak untuk menyentuhnya. Seolah Caleb—dan pria mana pun—harus dilenyapkan dari pikirannya hanya dengan satu ciuman ini.

Ketika akhirnya Ferlay melepaskan dirinya, Lyeria terhuyung.

Napasnya berat. Bibirnya perih. Matanya berkaca-kaca, bukan karena haru—tapi karena luka yang tidak terlihat.

Ferlay menatapnya. Wajahnya gelap, nadanya datar. “Begitulah caraku berkata tidak.”

Napas Lyeria masih belum stabil, saat Ferlay mencengkram wajahnya. Memaksanya untuk menatap matanya.

Lalu suara Ferlay jatuh, rendah dan menggetarkan udara di antara mereka.

“Kalau kau ingin belajar jadi dewasa… sampai menggila menerima pria-pria yang disodorkan padamu…”

Ia mendekat, menunduk ke arah wajahnya yang masih terpaku. Sorot matanya tajam, seolah menelanjangi isi kepala gadis itu.

“—Bersiaplah. Aku akan mengajarimu sendiri… bagaimana seharusnya.”

Ucapannya bukan janji. Tapi ancaman. Pernyataan bahwa tidak ada pria lain yang akan menyentuh Lyeria tanpa melewati neraka yang diciptakan Ferlay sendiri.

Dan dari cara dia menatap gadis itu, jelas satu hal: Lyeria bukan lagi anak kecil di matanya.

Bahwa jika Lyeria berani membuka dirinya untuk pria lain—Ferlay akan menjawabnya. Bukan dengan kemarahan. Tapi dengan kepemilikan brutal yang tak bisa dia hindari.

...****************...

Pagi masih menyisakan embun dingin ketika Lyeria duduk di tepi tempat tidurnya, mata menatap kosong ke arah jendela. Hari ini Ferlay pergi — tanpa pamit, tanpa pesan. Tapi tidak seperti biasanya, kali ini Lyeria tidak mencarinya. Tidak menunggu. Tidak menangis.

Ciuman yang dia rampas kemarin malam masih membekas.

Bukan di bibirnya. Tapi jauh lebih dalam.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka communicator kristal kecil miliknya, lalu menuliskan pesan dengan tenang namun mantap:

“Ellion, apakah kau bisa membantuku membujuk Leon? Aku ingin ke Argueda besok. Katakan padanya aku rindu padamu.”

Ellion, kakak ketiganya, putra dari ibu yang sama—Putri Yuki—namun dari ayah yang berbeda. Ia adalah pangeran pewaris tahta Kerajaan Argueda. Kakak yang selalu memperlakukan Lyeria dengan kelembutan dan kehangatan, berbeda dengan Ferlay yang penuh batas abu-abu dan api gelap yang tak dimengerti.

Lyeria tahu, satu-satunya jalan keluar dari bayangan Ferlay saat ini…

adalah lari. Setidaknya, untuk sementara.

Dan Argueda terasa cukup jauh.

Atau… cukup aman.

Begitu menerima pesan Lyeria, Ellion langsung menghubunginya tanpa menunda. Suara kakaknya terdengar hangat, sedikit khawatir, tapi juga lembut seperti biasa.

“Tentu saja, Sayang. Aku akan bicara dengan Leon. Tenang saja, dia takkan menolak.”

Dan benar saja. Leon tidak keberatan. Ini bukan pertama kalinya Lyeria pergi ke Argueda untuk menemui Ellion, dan ia selalu kembali dengan hati yang lebih ringan. Leon berpikir, mungkin itu akan membantu mengalihkan pikirannya dari perjodohan dan hal-hal tak perlu yang membuat gadis itu resah.

Setelah panggilan berakhir, Lyeria menurunkan communicator-nya dengan tenang. Ada sedikit beban yang lepas dari dadanya, meski tidak sepenuhnya.

Ia memanggil pelayannya, Mirca, dan dengan suara lembut namun tegas, ia berkata:

“Siapkan keperluanku. Aku akan pergi ke Argueda besok pagi.”

Mirca menunduk dalam, menandai nada suara yang berbeda dari biasanya. Tidak ada canda. Tidak ada senyum. Tapi juga tidak ada keraguan.

Lyeria berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah lemari, tangannya menyusuri deretan pakaian yang menggantung rapi.

Dalam diam, ia membuat satu keputusan kecil:

Di Argueda nanti, dia tidak akan menjadi gadis kecil yang selalu menunggu.

Tidak lagi.

...****************...

Perjalanan menuju Argueda memakan waktu dua minggu—cukup lama untuk membuat tubuh lelah, tapi tidak cukup untuk menghapus tekad dalam hati Lyeria. Sepanjang jalan, dia lebih banyak diam, menatap keluar jendela kereta kerajaan, membiarkan pikirannya menjelajah lebih jauh dari apa pun yang bisa dijangkau oleh roda-roda kendaraan bangsawan.

Saat tiba di gerbang istana, Ellion sudah menunggunya. Dengan senyum teduh dan pelukan hangat, ia menyambut adiknya seperti harta yang pulang dari pengasingan.

“Selamat datang di rumahmu yang lain, Lyeria,” ucapnya lembut, menuntunnya masuk.

Istana itu megah, namun tidak dingin. Tidak seperti kebanyakan bangunan bangsawan yang kaku dan megah tanpa jiwa, tempat ini terasa seperti pelukan. Dindingnya berwarna hangat, jendela-jendela besar dipenuhi cahaya pagi yang masuk dengan bebas, dan di setiap sudut, bunga-bunga bermekaran dalam harmoni yang tampak alami namun jelas dirawat dengan penuh cinta.

Itulah warisan Pangeran Sera.

Dulu, ketika masih hidup dan masih menjadi suami pertama Putri Yuki, Pangeran Sera membangun istana ini bukan sekadar sebagai simbol kekuasaan, tapi sebagai hadiah—rumah penuh cinta untuk perempuan yang ia kagumi hingga akhir hayatnya.

Ia tahu Yuki menyukai bunga. Bukan perhiasan. Bukan emas. Bukan takhta.

Maka ia ubah istana ini menjadi taman hidup.

Ratusan spesies bunga dari berbagai benua diangkut, dibudidayakan, dan dirawat hingga hari ini.

Lyeria tahu cerita itu sejak kecil. Ibunya dulu sering menyebut tempat ini sebagai “taman yang pernah ditanam dengan cinta, tapi tumbuh karena luka.”

Dan kini, dia berada di dalamnya.

Tidur di kamar terbaik, kamar yang dulunya disiapkan untuk Putri Yuki—dan sekarang menjadi miliknya.

Bunga-bunga di jendela menyambutnya. Hangat. Tapi juga menyimpan banyak kenangan yang tak terucap.

Lyeria menatap sekeliling kamar, menurunkan tas kecilnya ke sofa, lalu berdiri di depan cermin besar berhias ukiran mawar.

“Aku tidak datang untuk bersembunyi,” bisiknya pelan.

“Aku datang untuk berubah.”

...****************...

Malam itu Argueda berselimut tenang. Angin musim semi mengalir pelan membawa aroma bunga yang mekar di taman istana. Langit jernih memantulkan cahaya bulan, seolah memberkati apa yang akan terjadi malam itu.

Di kamar yang luas dan harum bunga melati, Lyeria berdiri di depan cermin panjang berbingkai emas. Gaun yang dikenakannya berwarna pink lembut, menjuntai anggun hingga menyapu lantai marmer. Kainnya seperti kelopak bunga yang masih basah oleh embun pagi—ringan, halus, dan tak terjamah.

Rambutnya tidak digelung sempurna. Beberapa helai sengaja dibiarkan lepas, membingkai wajah mudanya dengan keanggunan yang terasa alami. Dan di antara simpul rambut itu, sebuah mutiara kecil disematkan rapi. Putih pucat, berkilau halus—warisan ibunya yang hanya ia kenakan di saat-saat penting.

Mutiara itu bukan sekadar hiasan. Itu lambang darahnya. Lambang bahwa dia adalah putri Yuki—perempuan yang dikenal anggun, berani, dan penuh luka. Mutiara itu seperti mata ibunya yang diam-diam mengawasinya dari kejauhan.

Ketika Ellion datang menjemput, ia terdiam beberapa detik melihat adiknya.

“Kau tahu,” katanya pelan sambil tersenyum kecil. “Jika bukan karena aku yang membawamu malam ini, mungkin aku akan cemburu pada lelaki manapun yang melihatmu.”

Lyeria tersenyum, menarik napas dalam-dalam.

“Tenang saja, ini pesta topeng. Tak ada yang tahu siapa aku.”

Ellion hanya mengangguk, tapi sorot matanya menyimpan kehati-hatian. Pesta malam ini bukan sekadar pesta dansa. Ini adalah ajang mencari pasangan untuk putri Panglima tertinggi Aiden—orang kepercayaan terakhir Pangeran Sera yang masih hidup. Dan di pesta seperti itu, senyum manis bisa sama mematikannya dengan belati.

Tapi Lyeria sudah memutuskan untuk datang. Ia sudah lelah menunggu dalam sangkar. Dan malam ini, ia ingin menari. Meski hanya sekali. Meski hanya dalam bayang-bayang topeng.

1
Vlink Bataragunadi 👑
hmmmm.... ada yg cemburu?
Vlink Bataragunadi 👑: oooh gitu, siap kak, aku ke sana dulu /Chuckle/
Vidiana A. Qhazaly: Mungkin supaya paham alur yg ini bisa baca di morning dew dulu klik aja profilku
total 2 replies
Vlink Bataragunadi 👑
kynya rameeee, tp awal bab byk kata kiasan yg aku blm ngerti
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!