Glass Wing

Glass Wing

1

Anak pertamaku akan menjadi raja yang lebih besar dari semua raja sebelum dirinya.

Anak keduaku, seorang panglima perang dan penemu agung—disegani dunia, ditakuti musuh.

Anak ketigaku, raja yang kelak menyatukan kerajaannya yang terpecah.

Dan anak keempatku… seorang perempuan.

Bukan ratu. Bukan permaisuri.

Tapi pelindung.

Ia akan melindungi kakak-kakaknya, menyatukan mereka jika dunia mencabik.

Seperti aku.

Ramalan itu kudengar dari bisikan lembut putri duyung, jauh di bawah air yang menyimpan sejarah dunia.

Saat itu, aku tahu. Umurku tak akan panjang.

Dia—Sera—sudah menungguku terlalu lama di sisi kematian.

Lekky akan menyusulku. Aku tahu itu. Jiwanya terikat padaku lebih dalam dari yang bisa diucapkan.

Dan Riana…

Dia akan bertahan… tapi tidak lama. Tidak cukup lama.

Anak-anakku akan menjadi agung.

Tapi agung tidak berarti aman. Mereka tetap butuh perlindungan.

Maka, aku melahirkan dia.

Meski aku tahu, aku harus mempertaruhkan nyawaku.

Aku nekat.

Lyeria.

Sayap terakhirku.

Namun, ada satu ramalan lain…

Yang tidak pernah kuceritakan pada siapa pun.

Ramalan itu datang di malam paling sunyi, saat Lekky membawaku kembali ke sungai putri duyung.

Bisikannya pelan… seolah takut terdengar oleh dunia.

“Dia akan terikat pada gadis itu…

Ia akan melindungi sang pelindung. Tapi…

Apa jadinya jika pelindung tak lagi bisa membedakan antara menjaga… dan memiliki?”

Hatiku menciut saat mendengarnya.

Dia…

Anak itu…

Anak yang tumbuh besar di sisiku dan Riana…

Dia bukan darahku. Tapi mencintai seperti darahku sendiri.

Dan nanti…

Dia akan menjadi segila Lekky saat mencintai.

Semematikan Sera saat memeluk.

Dan sebrutal Riana saat mengklaim.

Lyeria…

Apakah kau cukup kuat untuk menghadapi cinta seperti itu?

Cinta yang bisa membuatmu hidup…

Atau menghancurkanmu lebih buruk dari kematian itu sendiri?

Aku tak tahu.

Aku hanya ibumu.

Yang kini hanya bisa berharap, kau akan tetap berdiri…

Meskipun sayapmu terbuat dari kaca.

...****************...

Petir menyayat langit.

Guruh menggelegar tanpa henti, menggetarkan setiap dinding batu tua menara.

Hujan turun deras, mencambuk atap-atap dan tanah seperti amarah dewa yang lepas kendali.

Di ujung pagar tertinggi menara…

Seorang gadis berdiri.

Gaun pengantin putihnya melekat basah di tubuh, memantulkan kilatan petir seperti hantu kesucian yang patah.

Rambutnya panjang, hitam lurus sepinggang.

Diam. Tak bersuara.

Hanya matanya yang menatap ke bawah, dingin… putus asa… pasrah.

Di bawah, langkah kaki menerobos hujan.

Seorang gadis lain—lebih muda—berambut hitam kebiruan, berlari dengan terengah, napasnya tersengal diseret oleh waktu.

Jubahnya robek di beberapa bagian, lututnya berdarah, kakinya terpeleset berkali-kali. Tapi dia terus berlari.

Menuju menara. Menuju sesuatu… atau seseorang.

“JANGANNN—!”

Teriakannya melesat, memecah malam. Tapi tak cukup cepat.

Gadis di atas sana sudah melepas dirinya…

Terjun dalam senyap, dengan air mata yang tak terlihat oleh hujan.

Gaun pengantinnya mengembang sesaat, lalu luruh…

Tubuhnya menghantam tanah basah.

Tepat di depan gadis itu.

Suara tulangnya remuk terdengar lebih mengerikan dari petir manapun malam itu.

Darah mengalir pelan, menyatu dengan genangan air hujan yang dingin.

Sementara dunia membeku dalam sekejap,

waktu bagi sang gadis muda seolah berhenti.

Gadis itu tersentak bangun.

Jantungnya berdegup kencang, napasnya terengah. Keringat dingin membasahi pelipisnya.

Petir lain menyambar, kali ini benar-benar—menerangi ruangan sesaat, menampilkan bayangan ranting pohon yang menari liar di dinding.

Matanya terbelalak, panik.

Ia menatap sekeliling. Dinding pucat. Meja kayu tua. Tirai putih.

Bukan kamarnya. Bukan tempat yang ia kenal.

Kepanikan menyergapnya. Untuk sesaat, dia merasa… kembali tersesat.

Namun perlahan, napasnya melambat.

Ia menggenggam seprai di bawahnya, menyentuh permukaan tempat tidur asing itu, lalu mengingat.

Ini… kamarnya sekarang.

Ini rumah Elvero. Sepupunya.

Seorang bangsawan muda dari Argueda yang memilih tinggal jauh dari istana. Ia menyewa rumah sederhana di pusat kota, di antara deretan toko buku tua dan kafe-kafe kecil yang hanya ramai di sore hari. Tempat yang cukup nyaman… dan cukup tersembunyi.

Elvero tidak pernah menjelaskan alasannya dengan gamblang. Tapi gadis itu tahu, dia tengah menyembunyikan siapa dirinya.

Petir masih menggema dari kejauhan, namun kilatnya hanya sesekali menerobos tirai tipis jendela kamar itu.

Gadis itu—Ara—menarik napas panjang. Keringat dingin menempel di pelipisnya. Mimpi itu datang lagi. Gadis bergaun putih yang melompat dari menara, darah, air mata, dan suara teriakan yang tertahan di tenggorokannya.

Dia memeluk lutut, menatap dinding batu hangat berwarna abu tua di sekelilingnya dan berbisik pada dirinya sendiri,

“Rumah ini aman… Ini rumah yang aman…”

...****************...

Pagi datang dengan sinar matahari yang lembut menembus sela-sela tirai putih. Udara kota Argueda masih basah oleh hujan semalam, menyisakan embun tipis di jendela besar kamar itu.

Ara sudah bangun lebih awal. Rambutnya yang masih sedikit lembap dari mandi terurai bebas, dan kakinya melangkah ringan menuju dapur. Rumah ini tak terlalu besar untuk ukuran bangsawan, namun cukup nyaman—terasa hangat dan aman, jauh dari istana yang penuh tekanan dan mata pengawas.

Di dapur, ia mulai menyiapkan sarapan. Telur, roti panggang, dan teh hangat. Tidak mewah, tapi cukup untuk dua orang. Ia membuka lemari pendingin, menemukan bahan-bahan yang sudah dibelikan kemarin. Cara Ara menyusun meja makan tampak rapi. Gerak tubuhnya tenang, tertata, seperti seseorang yang sejak kecil sudah diajarkan nilai-nilai elegan dalam kesederhanaan.

Padahal, jika ia mau, Ara bisa hidup dengan kemewahan. Orang tuanya meninggalkan banyak warisan. Tiga kakak laki-lakinya—yang selalu merasa bertanggung jawab atasnya—juga terus mengiriminya uang saku dan barang-barang berkualitas tinggi, seolah mencoba menebus sesuatu yang tak pernah mereka bicarakan.

Tapi ibu Ara bukan wanita biasa. Ia berasal dari keluarga bangsawan, namun hidup seperti orang yang tahu betul bahwa kemewahan tidak bisa menggantikan akal sehat. Ara tumbuh bersama tangan lembut seorang ibu yang mengajarkan bahwa hidup sederhana bukan berarti kekurangan. Bahwa harga diri bukan terletak pada seberapa mahal pakaian yang ia kenakan, tapi bagaimana ia berdiri saat dunia memaksanya jatuh.

Dan kini, Ara berada di rumah Elvero—sepupunya dari jalur kerajaan. Putra dari Putri Magitha, anak Raja Jafar, penguasa Argueda terdahulu. Bangsawan tinggi yang seharusnya hidup di istana, bukan di rumah sewa di tengah kota. Tapi Elvero memang tidak seperti kebanyakan bangsawan muda.

Ia memilih menjauh dari pusat kekuasaan. Katanya untuk mencari “kedamaian” di kota. Tapi Ara tahu, alasannya jauh lebih dalam dari itu.

Mereka hidup di bawah satu atap. Elvero memberinya satu kartu, uang saku yang selalu cukup, dan kebebasan penuh—Dia tidak akan pernah bertanya ke mana uang itu pergi. Ia tahu Ara bukan gadis yang boros. Ia juga tahu bahwa keluarganya tak akan pernah sadar bahwa ia diam-diam membiayai kehidupan seorang gadis asing di luar pengawasan kerajaan.

Bukan karena keluarganya lalai. Tapi karena mereka terlalu tinggi, terlalu sibuk dengan urusan kekuasaan dan garis darah, hingga tak pernah benar-benar memperhatikan siapa yang hidup di bawah bayangan mereka.

Dan dalam bayangan itulah Ara dan Elvero menyusun hidup baru. Seolah dunia belum menemukan mereka. Seolah luka masa lalu tidak sedang mengintai dari balik jendela yang berkabut.

Ia menuang teh ke dua cangkir, lalu meletakkannya di meja makan kecil. Dapur itu sunyi, hanya terdengar suara denting sendok dan aroma roti panggang yang mulai menyebar.

“Kalau dia tidak bangun juga, tehnya akan keburu dingin,” gumam Ara pelan.

Pintu kamar terbuka perlahan, dan muncullah sosok Elvero—dengan rambut basah yang masih meneteskan sisa-sisa air mandi, handuk tipis terampir di bahunya, dan hanya mengenakan celana seragam sekolah bangsawan Argueda yang berwarna gelap.

Ia menguap lebar sambil mengusap wajahnya yang masih terlihat mengantuk. Matanya menyipit menatap cahaya pagi yang masuk dari jendela dapur.

“Pagi,” gumamnya pelan, nyaris seperti helaan napas yang malas.

Ara menoleh sebentar dari kompor, lalu kembali fokus membalik roti yang mulai kecoklatan. “Sarapanmu sebentar lagi siap,” katanya, tenang.

Elvero berjalan mendekat, meraih tehnya yang telah siap. Gerakannya lambat, khas anak laki-laki yang belum sepenuhnya sadar bahwa hari sudah dimulai. Tapi ada sesuatu dalam kesantaiannya yang membuat rumah itu terasa lebih nyata… lebih hidup.

Tak ada sopan santun kaku khas bangsawan. Tak ada sikap angkuh atau aturan rumit tentang siapa duduk lebih dulu. Mereka seperti dua orang remaja biasa—terlempar dari dunia yang tidak pernah benar-benar mereka pilih.

Elvero duduk di kursi kayu dengan kaki satu naik ke atas, menatap punggung Ara sambil berkata datar, “Kalau masakanmu enak hari ini, aku pertimbangkan untuk memberimu tambahan uang jajan.”

Ara melirik dari bahunya, seolah ingin melemparkan spatula. Tapi ia hanya mengangkat alis dan menjawab dingin, “Kalau tidak enak, kau tetap makan. Tidak ada pilihan lain.”

Dia tidak tersenyum. Tapi Elvero melengkungkan bibirnya sedikit, seperti biasa—senyum malas yang hanya muncul jika dia merasa nyaman.

Terpopuler

Comments

Vlink Bataragunadi 👑

Vlink Bataragunadi 👑

kynya rameeee, tp awal bab byk kata kiasan yg aku blm ngerti

2025-08-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!