Setelah kecelakaan yang merenggut nyawa ibunya dan membuatnya buta karena melindungi adiknya, pernikahan Intan dibatalkan, dan tunangannya memutuskan untuk menikahi Hilda, adik perempuannya. Putus asa dan tak tahu harus berbuat apa, dia mencoba bunuh diri, tapi diselamatkan oleh ayahnya.
Hilda yang ingin menyingkirkan Intan, bercerita kepada ayahnya tentang seorang lelaki misterius yang mencari calon istri dan lelaki itu akan memberi bayaran yang sangat tinggi kepada siapa saja yang bersedia. Ayah Hilda tentu saja mau agar bisa mendapat kekayaan yang akan membantu meningkatkan perusahaannya dan memaksa Intan untuk menikah tanpa mengetahui seperti apa rupa calon suaminya itu.
Sean sedang mencari seorang istri untuk menyembunyikan identitasnya sebagai seorang mafia. Saat dia tahu Intan buta, dia sangat marah dan ingin membatalkan pernikahan. Tapi Intan bersikeras dan mengatakan akan melakukan apapun asal Sean mau menikahinya dan membalaskan dendamnya pada orang yang sudah menyakiti
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon La-Rayya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memberi Pelajaran Keluarga Purnomo
Setelah Sean menutup telepon, dia lalu menatap Intan. Ujung hidung dan mata Intan merah, dan Bi Lila sedang menghiburnya. Hal ini membuatnya sangat marah karena seharusnya dialah yang menjaga Intan. Jika dia datang beberapa detik lebih lambat, Intan pasti sudah diserang secara fisik oleh Papanya sendiri, belum lagi semua yang harus dia tanggung.
Sean memberinya rumah impiannya, dan pada pagi pertamanya di rumah, Intan sudah memiliki kenangan buruk.
Sean mengangkat telepon dan menelepon seorang teman yang masih terlibat dalam geng.
"Halo, Jovi? Aku butuh bantuanmu." Ucap Sean.
"Apa yang kau butuhkan, saudaraku?" Tanya Jovi.
"Aku perlu kau mengumpulkan beberapa orang." Jawab Sean.
"Kukira kau sudah damai dengan hidupmu, Bung. Apa kau sedang merencanakan pesta?" Tanya Jovi.
"Ini akan seru. Persiapkan semuanya, sampai jumpa malam ini." Ucap Sean.
"Haha, sampai jumpa lagi!" Balas Jovi.
Sean menutup telepon dan kembali menemui Intan, memutuskan untuk menghabiskan seharian bersamanya setelah kejadian itu. Para petugas keamanan tiba tepat waktu, dan Sean menjelaskan semuanya secara detail, memastikan tidak seorang pun boleh masuk ke rumah tanpa izin darinya atau Bi Lila, sehingga mencegah Intan mengalami trauma serupa lagi.
Mereka makan siang bersama, lalu Intan berbaring untuk beristirahat sementara Sean bekerja di ruang kerjanya. Setelah itu, mereka makan malam, mandi, dan pergi tidur untuk menonton film.
Sudah lewat pukul 23.00 ketika Intan akhirnya tertidur. Sean perlahan bangun, berhati-hati agar tidak membangunkannya. Dia berganti pakaian dan mengamati Intan selama beberapa detik sebelum pergi. Dia mengirim pesan kepada Jovi, memberitahunya bahwa dia akan pergi dan memberitahukan lokasinya kepada mereka. Tak lama kemudian, empat mobil berhenti di depan rumah keluarga Purnomo.
Begitu mereka mengetuk pintu, seorang pelayan membuka pintu. Semua orang di rumah itu sudah kembali ke kamar masing-masing, tapi begitu Sean masuk, siulan dan teriakan dari orang-orang yang datang bersama Sean mengagetkan semua orang di lantai atas.
"Kau bisa mulai mendekorasi ulang rumah ini." Ucap Sean pada Jovi.
"Ayo, teman-teman! Kita tunjukkan pada orang-orang kaya ini seperti apa dekorasi rustic itu." Ucap Jovi pada para pria lainnya.
Sean duduk di kursi berlengan sementara para lelaki memecahkan vas, lampu gantung, dan jendela mahal di rumah itu. Suaranya begitu keras hingga beberapa tetangga pun terganggu, tapi Sean mengabaikannya. Dia menyembunyikan amarahnya agar tidak membuat Intan kesal, tetapi dia perlu membuat keluarga Purnomo mengerti bahwa jika mereka berani menyentuh Intan, mereka akan dihukum.
"Ada apa ini? Hilda, cepat telepon polisi." Ucap Pak Purnomo.
Tiga pria menahan mereka sebelum mereka dapat melakukan apa pun dan memaksa mereka berlutut di depan Sean.
"Pak Sean? Apa kau sudah gila? Kau sudah melewati batas di sini." Ucap Pak Purnomo lagi.
Sean tersenyum dan menampar wajah Pak Purnomo dengan keras, membuatnya benar-benar terpana, dan Hilda langsung menjerit.
"Siapa kau yang berani bicara soal batasan kalau kau sendiri datang ke rumahku tanpa diundang, mempermalukan, dan mencoba menyakiti istriku? Kurasa kau seharusnya sangat bersyukur karena kau masih hidup sekarang." Ucap Sean.
"Berhentilah mengkhawatirkan gadis tak berguna itu. Kalau itu masalahnya, kau boleh menikah denganku. Aku tahu, pasti mengecewakan rasanya menikahi gadis buta yang malang." Ucap Hilda.
Sean dengan marah berdiri dan mencengkeram wajah Hilda erat-erat.
"Hei, kau menyakitiku." Pekik Hilda.
"Julurkan lidahmu!" Seru Sean.
"Apa?" Ucap Hilda heran.
"Kalau kau tidak menjulurkan lidahmu, aku akan membuatmu buta juga, dan kau akan tahu siapa orang yang sebenarnya tidak berguna disini." Ucap Sean.
"Papa?" Hilda mulai ketakutan.
"Pak Sean? Saya akan mentransfer uangnya. Saya bisa melakukannya besok pagi. Tolong, biarkan putri saya pergi. Jangan ganggu dia." Pinta Pak Purnomo.
"Terakhir kali, aku membiarkannya lolos dari hukuman karena menghina istriku. Kalau aku membiarkannya lolos lagi, citraku akan sangat buruk. Karena dia tidak mau menjulurkan lidahnya dengan sukarela, ambil sesuatu yang tajam dan tipis, lalu tusukkan ke matanya." Ucap Sean.
"Tidak, Papa? Harris, tolong aku." Teriak Hilda.
"Dengar, kau tidak perlu melakukan ini semua." Ucap Harris.
Orang yang menahan Harris menendang wajahnya dengan lutut, dan Harris langsung pingsan.
"Harris....!" Teriak Hilda.
Hilda menangis tersedu-sedu, isak tangisnya membuatnya sulit menyusun kalimat yang bisa keluar dari mulutnya.
"Lihatlah dirimu, kau pikir kau begitu cantik, ya? Kau kelihatan jelek sekali sekarang, sampai-sampai siapa pun akan takut kalau kau keluar seperti ini. Julurkan lidahmu sekarang." Perintah Sean lagi.
Ketakutan, membuat Hilda akhirnya menjulurkan lidahnya, dan Sean memberi isyarat kepada Jovi, yang memberinya pisau. Ketika Hilda melihat pisau itu, dia menjadi panik, menggelengkan kepalanya.
Pria yang memegangnya mempererat cengkeramannya, dan Sean perlahan-lahan menggoreskan pisau di sepanjang ujung lidahnya. Hilda menjerit, dan darah mulai menetes di lehernya, membasahi blusnya. Setelah Sean selesai, Hilda pingsan karena rasa sakit dan ketakutan tapi terus berdarah.
"Obati lukanya, Jovi. Aku tidak ingin dia mati kehabisan darah malam ini." Ucap Sean.
"Tentu, sobat." Balas Jovi.
Mereka menyeret Hilda yang tak sadarkan diri ke dapur. Pak Purnomo belum mengucapkan sepatah kata pun, tapi ketika mereka melihat ke bawah, mereka melihat Pak Purnomo mengompol dan tak henti-hentinya menangis.
"Ada apa, Papa mertuaku tersayang? Sepertinya kau takut padaku." Ucap Sean mengejek.
"Maaf, saya minta maaf karena datang ke rumah Anda dan tidak menghormati keluarga Anda. Saya janji hal ini tidak akan terulang lagi." Ucap Pak Purnomo.
"Aku tahu, karena jika itu terjadi, kau akan mati." Balas Sean.
"Apa yang Anda inginkan dari saya?" Tanya Pak Purnomo begitu takut.
"Ah, benar juga. Besok pagi-pagi sekali aku akan mengunjungi perusahaanmu dan aku harap kau bersedia membantuku." Ucap Sean.
"Baiklah, tapi izinkan saya membawa putri saya ke rumah sakit terlebih dahulu." Balas Pak Purnomo.
"Tentu saja, tapi kalau kejadian hari ini sampai ke telinga Intan, aku tak akan peduli dengan janjiku padanya. Mengerti?" Ucap Sean.
"Saya mengerti. Tidak akan ada yang tahu, biarkan saya membawa putri saya ke rumah sakit, Pak Sean." Pinta Pak Purnomo.
"Berapa besar kemungkinan pembantumu akan membicarakan tentang kedatangan kami malam ini?" Tanya Sean.
"Tidak akan Pak. Saya janji." Ucap seorang pembantu di rumah Pak Purnomo.
"Sangat besar, dia tidak bisa menyimpan rahasia." Ucap Pak Purnomo.
"Tidak, Tuan, saya tidak akan pernah melakukan hal itu." Balas pembantu itu.
Pak Purnomo berkata begitu bukan karena pembantu itu tukang gosip, tapi karena dia tidak ingin orang-orang terdekatnya tahu tentang penghinaan yang baru saja dialaminya, dimana dia sampai menangis dan bahkan mengompol. Jadi, menyingkirkan pembantu itu adalah hal terbaik baginya.
"Aku mengerti. Kau tahu apa yang harus dilakukan dengannya, bawa dia pergi dan ayo kita pergi dari sini." Ucap Sean pada Jovi dan yang lainnya.
Jovi dan salah satu rekannya melempar Hilda ke sofa. Mereka menggunakan pisau panas untuk menghentikan pendarahan dari lidahnya, dan pendarahannya pun berhenti.
Mereka mengumpulkan semua barang-barang mereka, menangkap pembantu itu, dan melemparkannya ke dalam bagasi sebelum pergi.
Begitu tiba di rumah, Sean langsung pergi ke kamar mandi, melepas baju yang dikenakannya, dan membuangnya ke tempat sampah karena ada cipratan darah saat melukai lidah adik iparnya. Dia mandi, memakai celana dalam, dan berbaring di samping Intan, lalu memeluknya. Tak lama kemudian, dia tertidur tanpa rasa bersalah.
Bersambung...