“Aku rela jadi debu… asal Ibu tetap hidup.”
Kevia rela ayahnya menikah lagi demi ibunya bisa tetap menjalani pengobatan. Ia pun rela diperlakukan seperti pembantu, direndahkan, diinjak, dianggap tak bernilai. Semua ia jalani demi sang ibu, wanita yang melahirkannya dan masih ingin ia bahagiakan suatu hari nanti.
Ardi, sang ayah, terpaksa menikahi wanita yang tak ia cintai demi menyelamatkan istri tercintanya, ibu dari putri semata wayangnya. Karena ia tak lagi mampu membiayai cuci darah sang istri, sementara waktu tak bisa ditunda.
Mereka hanya berharap: suatu hari Kevia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, membiayai pengobatan ibunya sendiri, dan mengakhiri penderitaan yang membuat mereka harus berlutut pada keadaan.
Agar Kevia tak harus lagi menjadi debu.
Agar Ardi tak perlu menjadi budak nafsu.
Tapi… akankah harapan itu terkabul?
Atau justru hanyut… dan menghilang seperti debu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Kekang Tak Kasat Mata
Yuni, teman baru Kevia, datang mengayuh sepeda. Ia berhenti tepat di depannya, menatap prihatin.
“Yuk, aku antar. Jangan jalan kaki sendirian.”
Kevia tersenyum lembut. “Makasih, tapi… aku jadi merepotkan, ya. Biar aku aja yang goes.”
“Enggak usah. Ayo naik, kita searah kok,” Yuni menepuk jok belakang dengan tulus.
Kevia pun naik, dan sepanjang jalan mereka berboncengan sambil mengobrol ringan, mencoba melupakan kejadian barusan. Tawa kecil mereka pecah, meski Kevia menyembunyikan getir di balik senyumnya.
Sesampainya di rumah, Kevia langsung berlari kecil ke kamar ibunya. Kemala sedang duduk di tepi ranjang, wajahnya pucat tapi hangat begitu melihat putrinya.
“Via sayang, kenapa pulang terlambat? Riri sudah sampai dari tadi. Ibu khawatir…” suara Kemala lembut namun cemas.
Kevia terdiam sejenak, sebelum tersenyum menenangkan.
“Aku pulang bareng teman, Bu. Kami searah, jadi naik sepeda bareng. Biar sekalian olahraga… Maaf sudah bikin Ibu khawatir.”
Kemala menatap putrinya dalam-dalam. Tatapannya lembut namun penuh curiga.
“Riri… meninggalkanmu, ya? Ibu tadi tanya padanya, tapi dia diam saja.”
Kevia tergagap, lalu menggeleng pelan.
“Nggak kok, Bu. Jangan khawatir, ini cuma hal kecil. Biasanya aku juga jalan kaki ke sekolah. Yang penting Ibu istirahat. Ibu harus jaga kesehatan, demi aku sama Ayah.”
Kemala meraih tangan kecil putrinya, menggenggamnya erat.
“Kamu jangan bohong, Via… kamu nggak bisa bohong sama Ibu.”
Kevia tersenyum lagi, senyum penuh luka tapi juga penuh cinta.
“Ibu… aku ingin Ibu sembuh. Aku ingin Ibu melihat aku sukses. Jadi Ibu harus bertahan, ya.”
Air mata menitik di sudut mata Kemala. Ia menarik Kevia ke dalam pelukan, menahannya erat seolah takut kehilangan.
“Ibu akan bertahan, Sayang… demi kamu, demi Ayahmu. Ibu nggak akan biarkan pengorbanan kalian sia-sia.”
***
Keesokan paginya, setelah sarapan singkat, Kevia dan Riri berangkat lebih dulu bersama sopir. Ardi mengemudi sendiri menuju kantor, dengan Rima duduk di kursi penumpang depan, sibuk membenahi lipstiknya di kaca kecil.
Mobil melaju tenang di jalan utama, hingga tiba-tiba Ardi mengerutkan kening. Dari kaca depan, ia melihat sosok Kevia berjalan cepat dengan tas menyelempang, wajahnya menunduk menahan silau matahari pagi.
Ardi refleks menepikan mobil.
“Ardi, kenapa berhenti?” suara Rima penuh protes, tanpa menoleh, masih sibuk merapikan riasan.
Ardi tak menjawab. Dengan hati berdebar, ia segera turun dan menghampiri putri semata wayangnya.
“Sayang, kenapa jalan kaki? Apa Riri meninggalkanmu?” tanyanya, suara penuh cemas.
Kevia tersentak, lalu buru-buru menggeleng. “Enggak, Yah. Aku sengaja jalan kaki… olahraga pagi.” Senyumnya dipaksakan, seolah tak ingin ayahnya khawatir.
Dari dalam mobil, Rima mendengus, lalu membuka kaca jendela.
“Bohong. Riri pasti meninggalkanmu, 'kan?” Ardi menatap putrinya lekat.
Kevia menunduk. “Nggak, Yah. Beneran. Aku harus buru-buru ke sekolah. Ayah berangkat kerja saja.” Tatapannya sekilas mengarah ke Rima, lalu segera berpaling lagi, seperti takut memicu bara.
Ardi menatap jam tangannya. Waktu sudah mepet. “Ini udah siang. Ayah antar, nanti kamu terlambat,” ujarnya sambil berjalan ke pintu belakang mobil, hendak membukanya.
Namun suara ketus Rima memotong.
“Ardi, aku nggak mau terlambat ketemu klien hanya gara-gara mengantar anakmu itu. Kalau dia ikut, aku pasti harus menunggu. Cepat masuk mobil dan tinggalkan anak itu!”
Ardi menoleh tajam. “Rima, jangan begitu. Dia anakku.”
Rima membalas dengan sorot mata dingin, bibirnya tersenyum sinis.
“Kalau kau berani melawan, Ardi, aku hentikan semua biaya cuci darah untuk Kemala. Ingat itu.”
Kevia terbelalak, wajahnya seketika pucat. Jantungnya serasa diremas.
Ardi menahan napas panjang, rahangnya mengeras. “Apa maksudmu? Kita sudah sepakat, hitam di atas putih—”
Rima langsung memotong, tertawa kecil penuh ejekan.
“Memang kenapa kalau ada hitam di atas putih? Kau akan menuntut aku? Dengan apa? Uang dari mana?” Tatapannya menusuk, menantang.
Ardi mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, berusaha menahan ledakan emosi.
“Jadi selama ini kau sengaja menjebakku? Membuat aku mengurus usahamu tanpa memberi akses keuangan, agar aku nggak bisa apa-apa di hadapanmu?”
Rima menyilangkan tangan di dada, senyumnya makin congkak.
“Ya. Dan sekarang kau tahu posisimu. Kau hanya suami formal. Aku yang punya harta, aku yang punya kuasa. Apa kau pikir aku sudi anak dan istri miskinmu tinggal di rumahku? Mereka cuma beban. Jadi, kalau tak mau mereka aku usir, menurutlah. Jadilah suami yang patuh.”
Kevia menggigit bibir, kedua tangannya mengepal kuat. Panas, marah, benci, semuanya menyesakkan dada. Tapi ia tak berani bersuara, hanya menunduk dalam diam.
“Rima…” suara Ardi bergetar, tertahan di tenggorokan, penuh amarah yang ingin meledak namun terkunci oleh sesuatu yang jauh lebih menyesakkan.
Rima mencondongkan tubuh ke luar jendela mobil, bibirnya melengkung sinis, matanya berkilat tajam.
“Cepat naik, Ardi. Atau…” ia berhenti sejenak, menatapnya seperti predator yang baru saja menemukan kelemahan mangsanya. “Kuperintahkan pelayan menyeret Kemala keluar dari rumahku. Pilih sekarang!”
Ardi menegang. Napasnya berat. Rahangnya mengeras ketika tatapannya menancap pada wajah Rima.
“Aku… aku akan menceraikanmu!” suaranya rendah, tapi penuh getaran amarah yang menahan ledakan. “Aku tak sudi hidup bersama wanita ular sepertimu. Lebih baik aku hidup sederhana dengan Kemala dan Kevia, daripada terpenjara bersama wanita busuk dan anakmu yang tak tahu sopan santun!”
Rima terdiam sebentar. Lalu tawanya pecah, dingin, menusuk, membuat bulu kuduk meremang.
“Menceraikan aku?” ia mendengus, meliriknya dari atas ke bawah, seperti menertawakan kebodohan Ardi. “Ardi sayang, kau pikir cukup hanya dengan mulutmu menyebut kata cerai? Tidak. Kau harus punya kuasa hukum. Kau harus punya uang. Dan apa kau punya itu sekarang?”
Ardi mengepalkan tangan begitu kuat hingga buku jarinya memutih. Keringat dingin merembes di pelipisnya.
“Kau…”
Rima mencondongkan tubuh, senyumnya makin bengis.
“Jangan mimpi kau bisa lepas dariku. Selangkah saja kau berani keluar dari rumahku tanpa izinku, maka yang pertama kali menanggung akibatnya bukan kau—tapi Kemala. Dan setelah itu, anakmu yang malang itu.”
Dunia Ardi seakan berhenti berputar. Kata-kata Rima bagai jerat yang melilit lehernya, semakin ia melawan, semakin sesak. Napasnya tercekat. Ia ingin berteriak, tapi lidahnya kelu. Ingin melawan, tapi logika menghantam. Tanpa uang, tanpa kuasa, ia benar-benar tak berdaya.
Kevia, yang sejak tadi berdiri terpaku, kini melangkah maju dengan tubuh bergetar. Wajahnya pucat, mata berkaca-kaca, suara parau penuh kepanikan.
“Ayah… masuklah. Tolong.”
Kedua tangannya menyatu di depan dada, seperti doa yang tak henti. Air matanya berusaha ia tahan, tapi suaranya pecah, menusuk dada Ardi.
Ardi menoleh ke arah putrinya. Mata Kevia basah, penuh harap dan ketakutan. Sejenak, hatinya hancur. Ia ingin merengkuh anaknya, melindungi dengan seluruh jiwa. Tapi rantai tak kasatmata yang diikat Rima terlalu kuat.
Ardi menutup mata, giginya terkatup rapat, lalu ia menatap putrinya, perih menusuk jantung.
“Maafkan ayah, Kevia…” ucapnya akhirnya, suara serak penuh rasa bersalah.
Ia berbalik, berjalan dengan langkah berat. Lalu akhirnya membuka pintu mobil dan masuk, menelan habis sisa harga dirinya. Mesin meraung, mobil melaju, meninggalkan Kevia yang berdiri di pinggir jalan.
Rima tersenyum puas, wajahnya berseri penuh kemenangan.
Sedangkan Kevia berdiri kaku di trotoar, tubuh gemetar. Air matanya akhirnya jatuh, tapi ia buru-buru menghapusnya dengan punggung tangan. Ia berlari searah dengan mobil yang perlahan menjauh, napasnya terengah, namun ia menolak tertinggal, menolak kalah.
"Aku nggak boleh terlambat sekolah. Aku harus kuat. Aku harus jadi orang sukses… agar bisa hidup bahagia bersama Ayah dan Ibu, seperti dulu."
Ardi, dari balik kaca spion, melihat sosok mungil itu berlari dengan tas bergoyang di dadanya. Pandangannya kabur oleh air mata yang nyaris jatuh.
"Maafkan Ayah, Kevia. Maafkan Ayah yang tak berdaya."
Ardi menatap jalanan dengan rahang menegang. Jemarinya mencengkram stir begitu keras hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya sesekali melirik ke arah wanita di sampingnya, istri yang kini lebih tampak seperti musuh berbahaya.
“Kau benar-benar wanita licik, Rima. Aku menyesal menikah denganmu,” ucap Ardi, suaranya rendah, nyaris serupa geraman.
Rima menoleh.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
tenang saja Kevia jika ada yang mengusikmu lagi Kevin tidak akan tinggal diam,,Kevin akan selalu menjadi garda terdepan untukmu..
rasain Riri dan Ani kamu harus tanggung jawab atas semua perbuatanmu
makanya jadi orang jangan jail dan berbuat jahat.
semangat kak lanjutkan makin seru aja...
Karena bila ketauan Riri, nasib Kemala & Kevia jadi taruhannya, disiksa di rumah tanpa ada yang berani menolong 🤨
Wali kelas akan menyelidiki dengan minta bantuan pak Anton untuk mengecek CCTV.
Di Aula suasana semakin panas semua menghujat Kevia.
Wali kelas datang meminta Kevia untuk berkata jujur apa benar mencuri uang kas dan alasannya apa.
Kevia menjawab dengan menceritakan secara runtut kenapa sampai dituduh mencuri uang dan bukti bisa berada di dalam tasnya.
Kita tunggu rekaman CCTV
lanjut kak Nana sehat dan sukses selalu 🤲
Kevin tentunya akan melindungi Kevia dengan diam²,,demi menyelamatkan dari amukan si anak ular betina,,good Kevin biar dua anak ular itu di kira kamu benci sama Kevia...padahal sebaliknya Kevin sangat peduli sama Kevia dan akan melindunginya...
sabar banget Kevia...
orang sabar di sayang Alloh..
menolong Kevia secara tidak langsung di depan 2 ulet bulu yang tidak sadar diri....mantap..
ayo mau di hukum apa nih jedua ulet bilu itu...
enaknya disruh ngapain ya...
bersihin kelas yang bau kali ya..kna seru tuh ngebayangin mereka berdua beraihin kelas sambil muntah2 ...
alhasil bersihin kelas plus muntahannya sendiri...
rasain tuh hukuman yang sangat setimpal Dan jnagan lupa hubungi kedua orang tuanya terus mereka berdua di skorsing selama 1 minggu....
cukup lah ya hukumannya.....
setuju ga ka....