NovelToon NovelToon
Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Keluarga / Persahabatan / Anak Lelaki/Pria Miskin / Tamat
Popularitas:516
Nilai: 5
Nama Author: dsparkyu

[Follow dulu sebelum baca ya :)]
Penulis: Sparkyu x Hokuto

Bagi Revan, Devan adalah oksigen yang harus dirinya hirup agar bisa bernafas. Sementara untuk Devan, Revan adalah penopangnya untuk tetap berdiri. Tapi bagaimana jadinya jika salah satu dari oksigen dan penyokong itu ditakdirkan tidak bisa bertahan?



"Rumah gue itu ya lo, Devano Davian Putra". Perkataan Revan tegas namun lembut.

"Meski mama dan papa udah gak ada, gue gak akan berharap punya pengganti mereka, karena bagi gue lo udah cukup menggantikan kedua peran itu. Gue sayang lo Kak. Cukup Revano Ardian Pratama". Devan balas mengenggam tangan itu lembut.


Cerita non baku pertama dari aku~, kalau masih kurang mohon krisarnya ya. Ini juga cerita dengan peran karakterku sendiri

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dsparkyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 3

Senandung kicauan burung mulai terdengar. Bintang yang paling bercahaya di seluruh alam itu mulai menampakkan dirinya. Seolah dia baru saja terbangun dari istirahatnya selana 12 jam. Cahaya terangnya kini sudah menerangi banyak kehidupan yang sudah memulai untuk melakukan berbagai aktivitas.

Tidak terkecuali dengan salah satu rumah yang di dalamnya juga mulai beraktivitas. Terlebih hari ini adalah hari senin, dimana aktivitas padat dimulai kembali. Dimulai dari orang yang berangkat kerja hingga pergi untuk sekolah.

Hanya saja di dalam rumah tersebut tidak terdengar percakapan yang terjadi. Sebuah kebisuan dan kesunyianlah yang kentara disana. Dua orang berwajah mirip itu hanya terdiam satu sama lain. Yang satu sibuk memasak sarapan tanpa mau memulai pembicaraan terlebih dahulu. Sementara satu yang lainnya hanya bisa memandang sendu orang yang mirip dengannya itu. Dia sangat merasa bersalah karena membuat Revan begitu kecewa.

Meski begitu, semarah-marahnya Revan pada sang adik, remaja itu akan selalu memastikan bahwa Devan sudah memakan sarapannya dan tepat waktu meminum obatnya. Walau pada kenyataannya Revan hanya mengeluarkan sedikit verbalnya. Masih terlihat jelas kilat mata Revan yang dipenuhi oleh kekecewaan yang mendalam.

Devan sendiri memakan makanannya dengan sesak. Ini adalah jam makan pertama, tetapi Devan sudah merasa sangat kenyang. Bukan karena dia tidak lapar tetapi karena sesak di dalamnya melihat binar yang disukainya itu masih penuh dengan rasa kecewa.

"Kalau udah minum obatnya ayo berangkat sekarang." Revan tidak menatap kelam yang dimiliki oleh Devan. Kalimatnya bahkan terkesan terlalu datar.

Devan mengangguk, mulai merapikan bekas sarapannya. "Gue beresin dulu ya Rev."

"Gak usah, biarin aja." Revan masih belum memandang Devan.

Devan mendengus. Kenapa Revan tiba-tiba jadi jorok seperti ini? "Tar banyak laler Rev kalau ditinggal, ih kecoak apalagi jijik tau."

"Gue bilang gak usah." Tajam mata milik Revan menusuk langsung ke arah pandangan Devan.

Devan menegang, beberapa jam sudah berlalu tetapi luka milik kakak kembarnya itu masih menganga dengan jelas. "Terserah lo Rev gue nurut. Maaf...."

"Cepet pake jaketnya udah mau telat." Revan tidak membalas ucapan maaf dari sang adik.

Mulut Devan kembali terbuka untuk mulai membahas, tetapi beberapa detik kemudian terkatup kembali. Hingga akhirnya Devan hanya bisa menggangguk lemah dan menuruti apa yang diperintahkan oleh sang kakak. Remaja itu menaiki sepeda motor Revan dengan lesu.

Di dalam perjalanan menuju sekolah Revan yang biasanya suka sibuk menggoda Devan kini hanya berdiam diri. Lebih memilih untuk fokus pada jalanan yang ada di depannya. Devan semakin sesak, pagi ini terasa cukup panas tetapi dia merasa dingin. Revan seolah membuat tembok besar yang berlapiskan balok es yang begitu padat.

Hingga tiba di sekolah Revan memang masih mengantar Devan sampai ke kelas. Namun lagi-lagi Revan tidak memandang kelam milik Devan. Seolah memang sengaja untuk menghindari kontak. Sebenarnya Revan sangat tidak bermaksud untuk melakukan hal seperti itu. Tetapi dia terlalu takut bila menatap kelam bola mata yang sama dengannya itu, kemarahannya kembali datang. Revan sangat tidak mau jika harus membentak kembali Devan seperti kemarin. Maka biarlah untuk beberapa waktu seperti ini dulu. Emosi milik Revan memang cukup membutuhkan waktu lama untuk menghilang.

Devan memasuki kelasnya dengan ekspresi kesal, marah, sedih dan tentu saja kecewa. Lebih tepatnya kecewa pada dirinya ssndiri. Ardli yang melihat itu ikut bersedih. Walau Ardli tidak tau kejadian apa kemarin yang telah dilalui Devan tetapi dia tahu betul bahwa saat ini sahabatnya sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Dan hal yang sampai membuat Devan seperti ini pasti adalah Revan.

"Gue tebak semuanya gak berjalan lancar." Ardli membuka pembicaraannya ketika Devan sudah duduk di bangku miliknya.

Devan belum mau melihat Ardli. "Ya, dan sekarang Revan."

"Kenapa? Lo berantem sama dia? Dipukul?" Ardli sebenarnya bertanya ragu, tapi bisa saja kan orang yang marahnya sudah memuncak melakukan hal yang kasar.

Devan tersenyum mendengar pertanyaan Ardli. "Kalau bisa milih sih mending gue berantem ma adu jontos ma dia."

"Jadi kalau bukan karena itu, Revan ngapain lo Dev?" Belakangan ini Ardli melihat film tentang psikopat, dia jadi takut bahwa Revan melakukan hal yang sama dengan mereka.

Devan menghela nafasnya beberapa saat. "Yang jelas beda jauh sama prasangka lo. Dia diemin gue, acuhin gue, meskipun masih tetep merhatiin gue sedikit. Tapi cuma sebatas itu. Gak ada obrolan lain diantara kita. Itu bikin gue sakit Dli. Revan udah kecewa banget sama gue."

Ardli mulai mengerti inti dari permasalahan sahabatnya ini. "Mungkin kalau gue ada di posisi Revan gue juga akan ngelakuin hal yang sama. Karena kepercayaan itu adalah suatu hal yang susah untuk didapatin."

"Mungkin gue gak akan pernah bisa dapetin kepercayaannya Revan lagi." Devan harusnya tahu akan hal itu sejak awal.

Ardli memegang pundak Devan dan tersenyum. "Tapi gak salah juga kalau lo mau mencoba memperbaiki dan ngedapetin rasa percaya Revan lagi."

"Makasih Dli, walaupun lo kadang koslet tapi disaat seperti ini lo adalah orang yang paling bisa gue andelin." Devan bersyukur masih ada seseorang yang mau mendengarkannya.

Ardli memukul lengan Devan dengan sayang. "Kurang ajar banget sih punya temen dari bocah ini untung sayang."

Devan tertawa mendengarnya. "Gue kan cuma ngomong fakta Dli."

Tiba-tiba saja Ardli mengajukan telapak tangannya ke depan Devan seperti meminta sesuatu. Devan menatap Ardli heran.

"Sini ceban, nasihat dari orang kayak gue tuh langka jadi ada harganya."

"Lah kambing, lo tuh ya matre banget. Ogah mending gue beliin makan kucing." Devan mendengus sebal.

Ardli langsung memasang wajah cuek. "Pokoknya istirahat nanti lo yang traktir, sekali-kali."

Devan ingin memprotes tapi karena moodnya kembali baik, remaja itu menuruti kemauan Ardli. Sekali-kali dia membuat sahabatnya itu senang.

.

.

.

.

.

Sementara itu di kelas Revan, Raka dan Kian hanya bisa bertanya-tanya aneh di dalam hati mereka masing-masing. Revan terlihat lebih dingin dari biasanya. Revan seperti sengaja menutupi perasaannya. Meski setiap harinya Revan memang begitu sikapnya tetapi untuk kali ini Raka dan Kian merasa sangat berbeda.

Sebenarnya Raka dan Kian sudah tau jika Revan menjadi seperti ini tidak lain penyebabnya adalah Devan. Padahal baru kemarin mereka sangat lengket tetapi sekarang mereka sudah kembali bertengkar. Ingin menghibur tetapi tak mampu ada kata yang terucap dari mulut mereka.

Revan mendecak. Sedikit risih juga karena dari tadi dipandangi seperti itu oleh kedua sahabatnya yang aneh tapi nyata ini. Revan menutup bukunya dan menatap Raka dan Kian dengan jengah.

"Apaan sih? Risih." Revan itu kalau berkata suka blak-blakan.

Raka mendecak. "Lo yang apaan. Tiba-tiba diem macem patung yang jalan ada nyawanya. Ya walaupun lo tiap hari juga kayak gini sih."

"Tapi Ka, kali ini lebih parah loh. Mikirin apa sih lo Rev? Mikirin kenapa nyamuk hidupnya cuma satu hari?" Sambung Kian sekenanya.

Raka terperangah mendengarnya. "Tumben jir Yan lo bisa mikirin begituan, eh kan lo emang gaada otak jadi gak bisa mikir."

Kian memukul Raka dengan sayang. "Lo kalau punya mulut tuh mau dilakban ma gue apa?"

"Lama-lama gue yang jahit mulut kalian berdua." Revan yang berkata seperti itu langsung membuat Raka dan Kian bungkam seketika.

Raka hanya bisa memberikan cengirannya. "Abis kenapa sih lo? Masih ngambekan sama Devan?"

"Nggak juga. Cuma gue aja yang jaga jarak dari dia." Terdengar helaan nafas dari Revan.

"Jadi lo marah sepihak nih? Jangan elah Devan masih butuh lo. Gue tau sendiri adek lo tuh gakkan bisa kalau gaada lo. Apalagi lagi sakit pan." Kian memberi nasehatnya.

Revan menjawabnya, memikirkan sesuatu. "Kalau itu sih gue masih ngontrol makanannya, jam minum obatnya dan yang lain-lain."

"Baguslah kalau gituh." Kian langsung menyinpulkan.

Raka maju mendudukkan dirinya di samping Revan. "Gue rasa Devan gak butuh semua itu Rev, gue yakin itu malah bikin Devan malah tambah sedih. Dia cuma butuhin lo, keberadaan lo. Anak itu pasti ngerasa kalau lo udah gak anggap keberadaan dia Rev. Dia emang gak nunjukkin, tapi gue juga kenal Devan dari kecil sama kayak lo. Udah lah gak usah ngambekan kayak anak kecil gini."

Revan mengerti sekali maksud perkataan Raka padanya, tetapi apa yang di hati berbeda dengan apa yang dia keluarkan dari mulutnya.

"Yang anak kecil itu dia! Udah gue kasih kepercayaan, seenaknya nungguin gue berangkat kerja. Cari kesempatan buat bohongin gue! Apa dia gak tau gue ngelakuin semua hal itu buat siapa? Buat dia Ka buat dia! Gue sampe kayak orang gila nyariin dia, sementara yang gue khawatirin malah cengegesan disana! Apa semua yang gue lakuin ini percuma buat dia?! Kalau gitu dari awal gue gak perlu berjuang cuma buat dia!" Revan berkata dengan cukup keras, untung saja saat itu sedang istirahat jadi tidak banyak murid yang tinggal di dalam kelas.

Raka menghembuskan nafasnya kasar, percuma membujuk Revan disaat emosinya sedang seperti ini. "Gue ngerti Rev, gue ngerti tapi apa lo yakin bahwa sikap lo ke Devan yang kayak begini udah bener?"

"Keluar Ka,Yan. Gue pengen sendiri." Hanya balasan itu yang diberikan oleh Revan.

Kian ingin ikut  berbicara tetapi Raka  langsung menariknya keluar. Tetapi beberapa detik kemudian mata Raka membola. Orang yang tidak diharapkan dan sangat dijaga untuk tidak mendengar ini semua malah kini tengah berdiri mematung di depan Raka dan Kian.

Jam istirahat tadi Devan memang sengaja untuk pergi menghampiri sang kakak. Mengingat saran dari Ardli tadi, dia mencoba untuk mulai memperbaikinya perlahan-lahan. Tadinya Devan ingin mengajak kakak kembarnya itu makan di kantin bersama, tetapi langkahnya terhenti ketika mendengar obrolan yang cukup keras disana.

Namun karena mendengar namanya ikut tersebut-sebut dalam percakapan Devan langsung mendengarkan dengan seksama. Semua percakapan itu membuatnya merasa sesak. Rasa bersalah di dalam diri Devan semakin besar. Terlebih setelah mendengar teriakan Revan tadi semakin membuatnya kelu dan susah sekali untuk melangkah.

Melihat Devan yang masih mematung di tempatnya, Raka langsung membawa remaja itu pergi dari sana. Membawa Devan untuk duduk saja di kantin dimana disana Ardli juga sudah duduk menunggu. Ardli sedikit terheran karena Revan tidak ikut bersama mereka, hanya Raka dan Kian saja yang menghampiri.

"Dev, Revan bilang kayak tadi cuma karena emosinya lagi gak stabil aja. Jangan dimasukin hati ya." Raka mengacak surai milik Devan. Karena sudah mengenal Devan sejak kecil, dia sudah menganggapnya seperti adik sendiri walau umur mereka hanya beda beberapa bulan.

Kian juga ikut menambahkan karena melihat Devan yang belum juga berekspresi. "Revan kayak gitu karena dia sayang banget sama lo."

Masih saja Devan terdiam tidak menjawab baik Raka maupun Kian.

"Jagain ya Dli, sorry kita gak bisa ikutan makan bareng, masih ada urusan di OSIS." Raka berpamitan pada Ardli.

Ardli menganggukkan kepalanya. Kemudian pandangannya beralih pada Devan. Anak itu hanya diam dan tidak menyentuh makanannya sama sekali.

"Dev dimakan, keburu dingin. Lo juga harus minum obat kan." Ardli membujuk Devan.

Devan menggeleng, tanda dia tidak mau. "Kenyang Dli."

"Lo baru minum segelas air, kenyang dari mana coba? Gue suapin lama-lama." Ardli langsung mengambil piring Devan, mulai menyendokkan makanannya dan akan menyuapi Devan.

Tetapi Devan membungkam mulutnya, menghalangi Ardli. "Gue pusing Dli. Kepala gue sakit."

Mendengar kata itu langsung membuat Ardli panik seketika. Mungkinkah sahabatnya sedang kambuh?

"Gimana ini gimana? Mana yang sakit? Gue panggil Revan ya."

Devan menggeleng. "Minum obat aja terus balik kelas."

"Eh kupret balik kelas? Lo tuh istirahat aja di UKS bego." Kesal sendiri karena Devan malah memilih kembali masuk kelas.

Devan memandang Ardli dengan tatapan memohon. Kalau dia berada di UKS, Revan pasti tau dan akan datang. Dia tidak mau Revan nanti akan berkata sepeti itu lagi. "Plis Dli."

"Oke. Makan sedikit dulu tapi. Sebelum minum obat perut lo jangan terlalu kosong."

Akhirnya Devan mengangguk, meski makanan yang masuk itu seolah ingin dirinya keluarkan lagi.

.

.

.

.

.

.

Bel tanda pulang berbunyi, semua murid langsung mengemasi tasnya. Devan juga sudah bersiap untuk pulang. Sejujurnya semenjak istirahat tadi sakit di kepalanya tidak kunjung hilang, begitu juga dengan tubuhnya. Hanya saja dia tidak ingin membuat Ardli khawatir.

Devan berusaha berdiri tetapi dia gagal. Ardli yang melihat itu semakin panik. Dia segera membantu Devan untuk berdiri. Ardli bahkan memaksa supaya dirinya mengantar anak itu sampai ke parkiran sekolah. Tetapi Devan bersikeras untuk pergi sendiri, dia ingin menghindari kecurigaan kakaknya.

Berjalan pelan seperti ini sudah sangat terasa melelahkan untuknya. Devan ingin membuat tubuhnya tumbang saja, namun melihat Revan yang menunggunya dia tidak bisa melakukan itu. Setelah sampai di tempat parkir, Revan tanpa mengatakan sepatah katapun hanya memberikan helmnya pada Devan.

Adik yang berbeda dua menit dengannya itu hanya bisa menghela nafasnya. Tetapi ketika dia menatap wajah Revan, ucapan itu kembali terngiang. Ada sebuah rasa sakit lain yang muncul di dalam tubuhnya. Rasa sakit karena kecewa pada dirinya sendiri.

Revan dan Devan langsung mengganti pakaian mereka sesaat setelah sampai di rumah. Devan hanya berdiam diri di atas tempat tidur, menunggu waktu makan malam. Terlebih dia merasa tubuhnya semakin meronta meminta istirahat. Hingga akhirnya remaja itu perlahan-lahan mulai tertidur.

Beberapa jam dia tertidur, Devan mulai membuka matanya. Rasa sakitnya bukan menghilang tetapi semakin bertambah. Ada rasa hangat yang keluar dari hidungnya. Dengan cepat dia meraba, ternyata rasa hangat itu adalah darah. Devan takut, padahal sejak terakhir di rumah sakit dia tidak pernah seperti ini.

Memaksakan tubuhnya yang masih lemah, Devan mulai berjalan untuk menghampiri Revan. Tidak peduli apapun yang saat ini sangat dirinya butuhkan adalah Revan. Namun semuanya berhenti, ketika Devan melihat Revan yang seperti akan pergi.

"Makan malem udah gue siapin, hari ini gue lembur." Revan tidak membalikkan badannya sama sekali.

Perasaannya semakin sesak. Meski dia mengadu Revan seperti sudah tidak akan mempedulikannya lagi. "Sekarang juga, kalau gue bilang gue pengen...."

"Lo pengen apapun juga, lo kan bisa kabulin sendiri. Gak usah minta ataupun izin sama gue." Sindiran keras itu langsung menancap perasaan Devan.

Devan mengepalkan tangannya. "M...Ma.."

Revan mulai membukan knop pintu, langsung memotong ucapan Devan.

"Gue berangkat."

Kepalan tangan Devan semakin keras, sudah cukup dirinya bersabar. "Bisa gak sih lo dengerin gue sekali aja?!"

Revan tertegun, baru pertama kali dia mendengar Devan meninggikan suara padanya. "Kenapa gue harus dengerin, sementara lo juga mengabaikan ucapan gue?!"

"Gue cuma ngabaikan omongan lo soal makrab doang, lebih dari itu gue selalu nurutin kemauan lo Rev! Tapi itu bikin gue ngerasa bersalah banget, gue benci liat luka itu Rev! Gue benci lo kayak gak anggap keberadaan gue Rev! Maafin gue Rev gue selalu mencoba buat bilang maaf, tapi lo bahkan denger gue ngomong aja gak mau! Itu semakin bikin gue merasa bersalah. Kalau lo emang mau berhenti ngelakuin semua hal untuk gue seperti yang lo bilang ke Raka, silahkan. Gak usah pura-pura lagi!"

Nafas Devan naik turun, dia sudah meluapkan semua perasaannya.

Revan mengepalkan tangannya, ada luka yang terdengar dari semua ucapan itu tetapi itu juga hanya membuat lukanya semakin bertambah. 'BUK' Tangannya memukul tembok dengan keras, hingga membuat retakan yang besar. "Liat kan apa yang udah gue lakuin selama ini ternyata gak pernah bernilai di mata lo Dev. Seenaknya lo bilang kalau gue pura-pura."

Tubuh Devan bergetar hebat menyaksikannya. Tangan kakaknya mengeluarkan darah.

"Mulai sekarang, semua terserah lo Dev, dua hari ini gue gakan pulang dulu."

Revan meninggalkan rumah begitu saja. Melihat itu Devan langsung membelalakkan matanya, apakah Revan benar-benar akan meninggalkannya? Dia tidak mau, dia tidak mau kehilangan lagi. Dia tidak mau sendiri. Tanpa mempedulikan kondisinya Devan langsung berlari mengejar Revan. Dia melewati semua rute yang memungkinkan dirinya akan tiba lebih dulu dibandingkan Revan.

Revan mengerem mendadak ketika sosok Devan berdiri di depannya. Remaja itu bernafas dengan berat. Pipinya penuh dengan air mata yang mengaliri.

"Ja....ngan....per....gi... Rev..." Dengan sangat lemah Devan berucap.

'BRUK' Tubuh Devan langsung ambruk di depan Revan. Dunia milik Revan langsung berhenti seketika. Dia menjatuhkan sepeda motornya dan menghampiri tubuh Devan.  Dibawanya tubuh Devan ke dalam pelukannya, dia bisa merasakan bahwa suhu tubuh Devan sangat panas. Jantungnya semakin berpacu kencang ketika darah segar mengalir dari hidung adiknya.

"Devano, Devano! Gue gak pergi Devano please buka mata lo."

Revan seolah kehilangan akal sehatnya saat itu. Dia tidak bisa berpikir jernih apa yang seharusnya dia lakukan. Setelah beberapa detik, kesadaran mulai menghampirinya. Dia langsung menelpon Raka yang rumahnya tidak jauh dari sana.

"Ka, Devano collapse tolongin gue, tante Andrea lagi di luar kota."

^^^"Dimana lo sekarang? Gue kesana, kebetulan bang Arjun udah pulang. Lo tenang jangan panik, kita bawa Devan ke rumah sakit."^^^

"Di 5 gang deket rumah gue Ka, cepet Ka gue takut Devan kenapa-kenapa."

Tidak begitu lama Raka dan kakaknya Arjun sudah tiba dengan mobil mereka. Arjun langsung membawa masuk Devan ke dalam mobil. Mereka semua menuju rumah sakit. Setelah tiba, Arjun yang juga yang kebetulan sedang praktek disana langsung ikut bersama dokter lain untuk menangani Devan.

Revan mendudukkan diri frustasi di ruang tunggu. Dia mengusap kasar wajahnya. "Pukul gue Ka, pukul gue. Gue emang brengsek. Apa yang lo bilang di sekolah emang bener Ka. Gue terlalu kayak anak kecil."

"Udah Rev, yang lalu biar berlalu." Raka mengelus pundak sahabatnya itu untuk menenangkan Revan.

Revan menghapus air matanya yang terus mengalir. "Gue gatau bahwa dari siang tadi Devan drop, harusnya gue lebih merhatiin dia. Dan akhirnya gue yang bikin dia tambah drop sampai collapse."

"Rev, jangan nyalahin diri lo kayak gini. Gue yakin Devan juga gak suka kalau tau lo kayak gini. Saat ini kita harus berdoa yang terbaik buat Devan." Raka dengan lembut menenangkan Revan.

Revan menghembuskan nafasnya keras. Berusaha untuk tegar di saat ini. "Lo harus bertahan Dev, lo harus bertahan."

"Gue yakin kok Devan itu bukan anak yang gampang nyerah. Sekarang obatin dulu sana tangan lo, Devan makin sedih tar kalau liat luka lo itu." Saat ini hanya itulah yang bisa Raka lakukan, menghiburnya.

Revan menggeleng. "Gue mau nungguin sampe dokter selesai nanganin Devan dulu Ka."

Raka menggaruk rambutnya kasar. "Adek, kakak sama batunya. Yodah deh terserah lo."

Setalah satu jam lebih akhirnya pintu ruangan Devan terbuka. Terlihat dokter bernama Rian berdiri di depan Raka dan Devan, diikuti oleh Arjun serta perawat lainnya.

Ada senyuman kelegaan yang dr. Rian berikan. "Masa kritis Devan udah lewat, cuma dia masih harus istirahat buat beberapa jam kedepan."

Seketika itu membuat Revan tenang. Di dalam hatinya Revan terus mengucapkan beribu syukur karena Tuhan masih mengizinkan Devan untuk bertahan. Raka juga ikut senang mendengarnya, Revan sudah tidak terlihat seperti mayat hidup lagi.

Baru saja Raka akan melangkahkan kakinya untuk menyusul Revan, seseorang menahan lengannya.

"Apaan sih bang?" Tanya Raka agak kesal.

Arjun langsung menjawab. "Makan dulu, lo belum makan."

"Dimana bang? Bareng lo?" Raka bertanya malas.

Arjun tidak mau menatap manik Raka, ada rasa bersalah yang terbesit di dalam dirinya. "Gue masih ada tugas."

"Lah tenang aja kok bang, siapa juga yang mau makan bareng lo? Udah biasa gue makan sendiri kok jadi gak usah bawel, kalau inget, gue nanti makan. Halah kapan sih gue punya cewek supaya ada yang nemenin makan. Udah ah gue nyusul si Revan dulu takut dia mewek lagi. Mau gue foto biar disimpen jadi aib dia. Jadi kalau dia gak mau kasih gue contekan PR, gue bisa ancem kan bang?" Raka berucap sangat panjang, tetapi bukan itu yang dia ingin ucapkan.

Karena yang ingin dia ucapkan sebenarnya adalah. "Bisa gak bang tugas lo ditunda dulu, terus kita makan bareng?"

Arjun hanya bisa melihat punggung Raka yang semakin menghilang dengan sendu.

.

.

.

.

.

.

Di dalam sebuah ruangan bernuansa putih itu terselebung oleh udara. Dimana di dalamnya terkandung berbagai jenis udara, tetapi yang lebih banyak adalah oksigen yang menyatu, meskipun karbondioksida sedikit tercantum di dalamnya. Ya, hanya suara udara itulah yang bisa didengar biasanya meski mungkin malah sebaliknya tidak terdengar.

Untung saja di dalam ruangan tesebut, ada suara tetesan air yang ikut terdengar. Tetesan air yang berasal dari sebuah selang yang menyambung untuk menancap ke dalam kulit tangan seseorang. Salah satu tangan yang bebas dari infus kini tengah digenggam seseorang dengan begitu erat. Seolah takut bahwa dia akan kehilangannya barang sedetik saja.

Revan tahu saat ini adiknya Devan tengah tertidur karena masih memerlukan waktu untuk beristirahat, tetapi dia tidak bisa berhenti untuk merasa khawatir. Revan terlalu takut bahwa Devan tidak akan pernah membuka matanya lagi. Disini Revan menyadari bahwa dirinya yang terlalu membutuhkan Devan.

Suara pintu yang terbuka tidak didengar oleh Revan. Saat ini pikiran Revan seolah hanya dipenuhi oleh Devan seorang. Orang yang membuka pintu tersenyum melihatnya, kedua anak kembar itu selalu saling menyayangi satu sama lain.

Andrea yang baru kembali dari luar kota langsung mengunjungi rumah sakit setelah mendengar kabar dari Revan. Dia menghampiri Revan yang masih setia menahan atensinya hanya untuk Devan.

"Rev, gantian yuk. Tante denger dari Arjun kamu belum makan dari kemarin."

Revan menggeleng, dia tidak ingin meninggalkan Devan barang sedetik saja. "Tante Andrea, udah balik ya? Gapapa tante nanti Revan makan kalau Devan udah sadar."

"Jangan gitu dong Rev, Devan nanti sedih. Nanti kalau kamu sakit juga siapa yang bisa jagain Devan coba?" Andrea masih berusaha untuk membujuk keponakannya itu.

Revan mungkin mulai melunak tapi dia masih pada pendiriannya. "Revan mau jaga Devan, Revan takut kalau Revan pergi, Devan malah ninggalin Revan tan."

Terdengar getar disana, Revan memang selalu rapuh jika menyangkut Devan. "Sayang, Devan bentar lagi sadar kok. Lagian gak sopan banget kan kalau dia tidur terus pas tantenya dateng? Jadi biar tante aja yang nungguin Devan, sana kamu makan dulu gih."

"Yodah deh, tuh denger kata tante Andrea lo gak boleh tidur terus, mana sopannya." Revan sedikit memberikan candaannya pada sang adik.

Andrea tersenyum mendengarnya. "Udah sana cepet makan, biar yang ngomelin Devannya tante aja yang lanjutin."

"Kasih tau Revan kalau Devan udah sadar ya tan." Revan masih saja berbicara saat memegang knop pintu.

Andrea berdiri dan segera mendorong Revan. "Iya bawel banget, tante juga gakan culik Devan kok."

"Tan, tante gak takut sama KPAI apa? Gak boleh Devan tuh cuma punya Revan." Revan tidak mau membayangkan jika sampai Andrea membawa Devan darinya.

Andrea mendengus. "Rev, bener kata Devan ternyata, cepet tobat sana cari cewek. Ngeri ah tante hush hush jauh-jauh dari Devan."

"Tante ketularan Ardli yang mikirnya udah kemana-mana deh." Revan memutar bola matanya malas.

Andrea segera menutup pintu ruang rawat Devan. "Udah ah, kamu boleh kesini lagi kalau beneran udah makan Rev."

"Siap Komandan." Nada ceria Revan sudah mulai terdengar kembali.

Sementara itu Ardli yang masih berada di sekolah bersin mendadak.

"Ini pasti kerjaan duo kembar aneh yang ngmongin gue dah."

Kembali di dalam ruangan serba putih itu, dua kelopak mata mencoba membuka matanya. Membiasakan bias cahaya yang mulai memasuki pengelihatan miliknya. Cahaya lampu adalah yang pertama menyapanya. Sedikit melirik, kemudian dia menangkap keberadaan seorang wanita tengah duduk.

Andrea sedikit terkejut ketika melihat Devan yang sudah sadar. Dia segera memanggil dokter Rian untuk memeriksa keadaan Devan. Tidak lama setelah dipanggil, dr. Rian sudah masuk ke dalam ruangan.

Dokter muda itu tersenyum setelah memeriksa keadaan Devan. Remaja itu sudah dalam keadaan yang cukup baik. Setelah memastikan keadaan, dr. Rian undur diri.

"Berapa hari tan aku di rumah sakit?" Hal pertama yang ditanyakan Devan adalah itu.

Andrea mengelus rambut Devan sayang. "Tiga hari Dev, kamu tidur lama banget."

Sudah selama itu semenjak kejadian tersebut? Revan? Apakah Revan benar-benar meninggalkannya? Dia tertidur selama tiga hari, mana mungkin dia bisa mengetahui itu bukan?

Andrea langsung merasa panik karena tiba-tiba saja melihat Devan menangis.

"Kamu kenapa Dev, ada yang sakit?"

Devan memandang Andrea dengan berkaca-kaca, suaranya serak seolah tertahan sesuatu. Tangisnya pecah begitu bicara. "Kak Revan... Hiks... Dimana Kak Revan?"

"Revan ada kok. Dia tante suruh makan dulu. Kamu tahu selama kamu gak sadar, keadaan Revan kacau banget Dev." Andrea mulai mengerti kenapa Devan sampai menangis.

Devan masih menangis. "Beneran tan? Kemarin dia bilang mau pergi tan, dia udah gak peduli lagi sama Devan."

"Revan ninggalin kamu? Gakan mungkin Dev. Kamu tahu waktu kamu ke acara makrab kemaren-kemaren itu Revan nyariin kamu seolah kehilangan akal sehatnya. Revan nelpon ke tante dengan nada suara yang kacau. Dia juga nyari kamu di seluruh komplek sampai tetangga pada tahu. Revan sayang banget sama kamu, dia gakan pernah ninggalin kamu Devano, percaya sama tante." Andrea menenangkan Devan yang masih menangis.

Mendengar semua itu membuat perasaan bersalah Devan membesar kembali. Revan terlalu banyak melakukan hal untuknya. "Aku... Aku mau minta maaf sama Kak Revan tan.."

Dari arah luar pintu terdengar suara orang berlari dengan cepat. Orang itu tidak lain adalah Revan. Dia langsung berlari kemari setelah mendengar kabar dari Andrea bahwa adik kembarnya sudah sadar.  Setelah pintu terbuka, Revan sedikit membola, ini kenyataan. Adiknya sudah sadar setelah tidur sekian lama. Perlahan-lahan Revan menghampiri Devan dan Andrea.

"Kamu mau minta maaf bukan? Bilang ke orangnya langsung aja ya Dev, tante pamit dulu mau ke sekolah  Dirta." Andrea meninggalkan ruangan dan hanya menyisakan anak kembar di dalam sana.

Devan menatap Revan dengan sangat dalam. "Ma..."

"Maafin gue Devano, gue kakak yang brengsek. Gue terlalu egois. Gue kayak anak kecil. Gue gak mikirin perasaan lo juga. Gue gak bisa jagain lo sampai lo masuk rumah sakit. Maafin gue plis." Revan langsung menerjang Devan dan memeluknya dengan sangat erat.

Devan membalas pelukan sang kakak dengan sama eratnya. Sudah lama dia merindukan pelukan hangat dari Revan. "Maafin gue juga Rev, gue cuma menilai dari sisi gue dan udah nuduh lo yang macem-macem. Padahal gue harusnya tahu kalau kakak gue ini superhero gue yang gakan pernah pura-pura."

"Lo gak salah Dev, gue yang salah. Ucapan gue waktu itu keterlaluan. Gue bodoh." Revan masih memeluk Devan dengan erat, dia bersumpah tidak akan pernah lagi bicara seperti itu.

Devan tersenyum, jika dia keras kepala maka Revan itu melebihinya. "Kalau lo bodoh, gakan ranking 1 terus di sekolah Rev."

"Lah kok jadi becanda lagi serius gini." Revan langsung meregangkan pelukannya dan duduk. Tapi sedetik kemudkan matanya memandang Devan dengan serius.

"Dev jangan pernah tidur lagi selama itu ya gue mohon. Kalau lo sakit tolong kasih tau gue, jangan sembunyiin rasa sakit lo sendirian lagi gue mohon."

Devan bisa melihat dari tampak wajah Revan. Dia terlihat sangat berantakan, berbeda jauh dengan image Revan yang satu sekolah tahu. Permohonan Revan bukan main-main.

"Gue janji Kak. Tapi lo juga harus janji sama gue?"

Revan mengernyitkan keningnya bingung. "Apa? Semuanya pasti gue turutin kalau itu permintaan lo."

"Lo harus janji kalau ranking 1 lagi, lo harus nari pake kostum ikan kelilingin satu sekolah." Devan memberikan persyaratan janji anehnya.

Revan langsung mengangguk tanpa bertanya. "Deal. Gue setuju asal lo juga nepatin janjinya."

Devan tahu, Revan itu memang pengabul segala keinginnannya tapi dia tidak tahu kalau Revan sangat polos seperti ini, dia hanya langsung mengiyakan. "Kagak lah, gue gak setega itu Rev. Gue cuma pengen lo janji jangan tinggalin gue lagi kayak kemaren-kemaren. Gue takut lo pergi dari hidup gue Rev. Jangan tinggalin gue, plis jangan pergi."

"Kenapa gue harus pergi kalau gue punya rumah untuk kembali." Pandangan lembut diberikan oleh Revan pada sang adik.

Devan bertanya heran. "Rumah?"

"Rumah gue itu ya lo, Devano Davian Putra". Perkataan Revan tegas namun lembut.

Ucapan Revan itu membuat Devan merasa sangat hangat. Tanpa disadari air matanya mulai menetes.

"Makasih Kak. Makasih.."

Revan terkekeh melihat adiknya. Sebenarnya Revan sedang menahan gemas karena melihat ekspresi sang adik yang begitu lucu. Bagaimana tidak hidung adiknya terlalu banyak menangis hingga menjadi merah seperti tomat.

'CUP' Satu ciuman di pipi sang adik langsung berhasil dicuri Revan. Sudah lama juga dia tidak jahil seperti ini.

Devan langsung menghapus air matanya kasar dan menatap sangar Revan yang tersenyum jahil.

"Tante Andrea, dr. Rian, suster, pengantar makanan, plis siapapun bawa Revan pergi dari sini. Penyakitnya udah kumat lagi!"

Dan itu malah membuat Revan semakin tertawa. Bisakah Revan berharap bahwa suatu hari akan ada keajaiban yang datang menghampiri Devan dan dirinya? Terlebih untuk Devan. Tapi meski sekuat apapun takdir itu Revan akan melawannya. Tidak peduli sesulit apapun dia akan bertahan.

.

.

.

.

.

.

.

To Be Continue............

...Mohon masukan serta kritiknya dengan mencantumkan di kolom komentar ya....

...Jangan lupa Vomment...

...Biar author semangat...

...Annyeong,...

)

1
Lourdes zabala
Makin ketagihan.
Earnist_: makasih banyak~
total 1 replies
ALISA<3
Bikin ketagihan deh.
Earnist_: wuah makasih reviewnya
total 1 replies
Sterling
Jleb banget!
Earnist_: hehe thank u kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!