NovelToon NovelToon
My Hazel Director

My Hazel Director

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Teen School/College / Cinta pada Pandangan Pertama / Romantis
Popularitas:650
Nilai: 5
Nama Author: redberry_writes

Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.

Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.

Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.

Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 25 - Hari Pertama Syuting

Tyler

Aku berusaha datang sepagi mungkin, tapi Thomas sudah lebih dulu di sana. Tentu saja, pria itu tidak pernah bisa duduk diam walaupun tubuhnya sudah separuh kalah oleh usia dan obat. Elara sudah memperingatkannya berkali-kali untuk beristirahat, tapi Thomas Hunt tidak tahu cara berhenti, sama seperti dulu, dan mungkin… sama seperti aku sekarang.

Jadi aku tiba di studio ketika dunia sudah penuh dengan suara lima puluh orang dengan job desk yang berbeda masing-masing berbicara dalam waktu yang bersamaan. Kabel menjalar seperti urat nadi di lantai. Lampu-lampu diuji satu per satu. Kamera dicek, naskah dilipat, suara sepatu bergesekan dengan lantai kayu.

Dan di tengah kekacauan itu, ada dia.

Vee.

Rambutnya terikat sederhana, wajahnya serius tapi tenang. Tangannya memberi instruksi pada Chloe dan Naomi, nadanya tegas tapi lembut, seperti seseorang yang sudah tahu benar apa yang dia lakukan. Aku berdiri beberapa langkah di belakang, menyaksikan bagaimana semua orang mengarah padanya, seperti jarum kompas yang akhirnya menemukan utara.

Thomas berdiri di sisiku, matanya menatap ke arah Vee. “Sekarang kau tahu kenapa aku memilihnya,” katanya pelan, nyaris seperti gumaman.

Aku hanya mengangguk, tapi dada ini terasa penuh—antara bangga, takut, dan entah apa lagi yang tidak bisa kujelaskan. Ia berdiri tegak di tengah puluhan orang, suaranya membawa arah, dan setiap kali ia berbicara, semua berhenti untuk mendengarkan.

Vee Sinclair.

Mahasiswi yang dulu menatapku dengan gugup di kelas penyutradaraan kini memimpin satu set film, sementara Thomas Hunt—legenda itu—menyaksikannya dengan bangga.

Aku menoleh ke Thomas. “Mengingatkanmu pada dirimu yang dulu, ya?”

Ia tertawa kecil, suara yang terdengar seperti nostalgia. “Aku masih tetap sama seperti dulu, Tyler. Tapi ya, aku seperti melihat diriku sendiri setiap melihatnya.”

Aku tahu maksudnya. Aku tahu persis kenapa Thomas begitu keras padaku dulu—karena ia ingin seseorang bisa meneruskan langkahnya. Dan di depan kami, perempuan itu melakukannya.

Beberapa menit berlalu dalam persiapan. Suara alat, langkah kaki, dan aba-aba Chloe bercampur jadi satu harmoni kacau. Vee akhirnya menyadari kami, lalu bergegas mendekat. Napasnya sedikit terengah, rambutnya lepas beberapa helai dari ikatan, tapi matanya menyala.

“Professor Hunt,” katanya dengan sopan tapi percaya diri, “sebentar lagi kami akan mulai syuting. Dimulai dari adegan pertama. Mungkin Anda mau berbicara sepatah dua kata untuk semuanya?”

Thomas menggeleng ringan. “Tidak, lanjutkan saja. Saya akan mengawasi dulu.”

Vee mengangguk, dan sebelum kembali ke set, matanya sempat bertemu dengan mataku. Hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuat detak jantungku tak beraturan. Ada sesuatu di tatapannya—campuran gugup dan keyakinan—yang membuatku ingin melindunginya sekaligus membiarkannya terbang.

Ia kembali ke posisi, lalu bertepuk keras, meminta perhatian seluruh ruangan. “Semuanya siap, ya,” suaranya lantang tapi stabil. “Kita akan mulai adegan pertama di rumah—Vincent baru pulang, memainkan piano sendirian, lalu Claire datang. Vincent mencoba memeluk istrinya, tapi ia menjauh dan berteriak. Liam, Stella, posisi.”

Suara langkah kaki berpindah cepat. Chloe menyesuaikan fokus kamera, Harrison menggeser lampu sedikit ke kiri. Vee berdiri di belakang monitor, headset di telinganya, matanya menelusuri layar dengan fokus penuh.

“Lighting sepuluh derajat ke kiri,” katanya cepat. “Ya, perfect. Tahan.” Ia mengangkat tangannya sedikit, memberi aba-aba pada Chloe. “Kamera ready?”

“Ready,” jawab Chloe.

Vee menarik napas dalam, lalu suaranya menggema di studio. “Dan... three, two, one—action.”

Nada pertama piano terdengar, lembut dan patah, mengisi udara studio dengan kesunyian yang nyaris sakral. Liam duduk di depan piano, bahunya tegang, jari-jarinya menyentuh tuts dengan hati-hati—sedikit terlalu hati-hati. Di layar monitor, aku bisa melihat wajahnya yang berusaha keras terlihat sedih, tapi ekspresinya terasa… dibuat-buat. Vee berdiri tegak di belakang kamera, tubuhnya condong ke depan seperti seekor kucing yang siap menerkam ketidaksempurnaan.

“Dan... Claire masuk,” katanya pelan di mic, memberi aba-aba.

Stella melangkah masuk ke set, langkahnya ringan tapi canggung. Ia berhenti di belakang Liam, lalu berbicara dengan suara lembut “Vincent...”

Aku bisa mendengar suaranya bergetar, tapi bukan karena emosi—lebih karena takut. Dan saat Liam berdiri, mencoba meraih bahunya, semuanya runtuh. Dialog terasa mekanis, tatapan mereka datar. Tidak ada kehidupan di sana.

“Cut.”

Suaranya datar, tapi tegas. Tidak meninggi, tidak bergetar. Namun semua orang di studio langsung diam.

Vee menurunkan headsetnya, melangkah pelan ke tengah set. Langkahnya ringan, tapi setiap langkah mengandung keyakinan yang membuat orang tak bisa berkedip. Aku mengikuti dari jauh, berusaha menahan diri untuk tidak ikut campur. Ini panggungnya.

Ia berhenti di depan Liam dan Stella. “Kalian berdua hebat,” katanya lembut, “tapi aku nggak merasakannya.” Matanya berpindah dari Liam ke Stella. “Bukan karena kalian salah dialog, atau blocking. Tapi karena kalian berusaha terlihat seperti Vincent dan Claire, bukan menjadi mereka.”

Stella menggigit bibirnya, Liam menunduk sedikit. Vee melanjutkan, nadanya lembut tapi jelas.

“Liam, kamu bukan hanya memainkan piano, kamu mencoba mengingat rumah. Setiap tuts itu bukan musik — itu nostalgia. Coba bayangkan seseorang yang kamu cintai, tapi nggak mau melihatmu lagi. Kamu nyentuh piano bukan untuk memainkan lagu. Tapi untuk bicara sama dia tanpa kata.” Ia menoleh ke Stella. “Dan kamu, Claire. Kamu marah bukan karena benci. Kamu takut—karena kalau kamu memaafkannya, kamu harus mengingat rasa sakitnya lagi.”

Sunyi. Tidak ada satu pun yang berani bergerak. Hanya suara mesin kamera yang berputar lembut di belakang kami.

Liam mengangguk pelan, Stella mengusap sudut matanya. Vee mundur beberapa langkah, lalu mengangkat tangan. “Oke. Kita coba lagi. Dari awal.”

Aku menelan ludah. Bahkan Thomas, di sebelahku, tidak berkata apa-apa. Ia hanya tersenyum kecil—senyum yang sangat jarang muncul di wajahnya.

“Now that,” katanya pelan, “is direction.”

Kamera kembali bergulir, dan kali ini, semuanya berbeda. Nada piano terasa hidup, seperti tubuh Liam benar-benar mengingat rasa bersalah yang lama. Stella berjalan dengan langkah yang lebih pelan, matanya menatap punggung suaminya dengan amarah dan cinta yang tidak bisa ia bedakan lagi.

Dan saat dialog itu keluar, “Aku ingin pulang, Claire” suara Liam pecah dengan kejujuran yang tidak bisa diajarkan di kelas mana pun.

Vee tidak berkata apa-apa. Hanya menatap monitor, bibirnya sedikit bergetar. Ketika akhirnya ia berkata “Cut,” semua orang di studio menahan napas bersamaan. Lalu tepuk tangan kecil pecah, spontan, jujur.

Aku menatapnya dari jauh, dan aku tahu, saat itu juga, semua orang di ruangan ini tidak lagi melihat Victoria Sinclair sebagai mahasiswi Ashenwood. Mereka melihatnya sebagai sutradara.

Dan aku… aku melihatnya sebagai alasan kenapa aku jatuh cinta pada dunia ini lagi.

\~\~\~

1
Randa kencana
ceritanya sangat menarik
Abdul Rahman
Ceritanya asik banget thor, jangan lupa update terus ya!
Erinda Pramesti: makasih kak
total 1 replies
laesposadehoseok💅
Aku bisa merasakan perasaan tokoh utama, sangat hidup dan berkesan sekali!👏
Erinda Pramesti: terima kasih kak ❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!