Setelah mati tertembak, Ratu Mafia yang terkenal kejam, dan tidak memiliki belas kasihan. Tamara sang Ratu Mafia, mendapati dirinya bertransmigrasi ke dalam tubuh seorang antagonis novel roman picisan bernama sama.
Harus menjalani pernikahan paksa dengan Reifan Adhitama, CEO berhati dingin dan ketua mafia yang tampan, dan juga terkenal kejam dan dingin. Duda Anak dua, yang ditakdirkan untuk jatuh ke pelukan wanita licik berkedok polos, Santi.
Dengan kecerdasan dan kemampuan tempur luar biasa yang masih melekat, Tamara yang baru ini punya satu misi. Hancurkan alur novel!
Tamara harus mengubah nasib tragis si antagonis, membuktikan dirinya bukan wanita lemah, dan membongkar kepalsuan Santi sebelum Reifan Adhitama terlena.
Mampukah sang Ratu Mafia menaklukkan pernikahan yang rumit, mertua yang membenci, serta dua anak tiri yang skeptis, sambil merancang strategi untuk mempertahankan singgasananya di hati sang Don?
Siapa bilang antagonis tak bisa jadi pemeran utama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hofi03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
VILLA TIMUR
"Aku tidak pernah salah perhitungan, Tuan Adhitama. Markas Pertahanan kita akan segera dipindahkan ke sana. Dan malam ini, kita akan membangun pondasi yang lebih kuat, bukan di atas ketiadaan, tetapi di atas apa yang sudah ada," ucap Tamara, memberikan sinyal bahwa ia tidak akan menjadi ibu tiri baru, melainkan kelanjutan yang lebih kuat.
Reifan hanya mengangguk, membuka pintu mobil untuk Tamara, matanya menatap wanita itu dengan kekaguman yang semakin besar dan kecemasan yang mendalam.
Reifan telah melempar kelemahan terbesarnya, dan kini dia khawatir bahwa Ratu Mafia itu akan mengubahnya menjadi kekuatan terbesarnya.
"Ayo berangkat," perintah Reifan, menutup pintu mobil.
Mobil melaju, membawa Reifan, Tamara, dan dua Pangeran Kecil itu menuju Villa Timur, menuju arena pertarungan emosional yang jauh lebih berbahaya daripada negosiasi bisnis mana pun.
Perjalanan menuju Villa Timur terasa tenang, kontras dengan kegaduhan emosional yang terjadi di balik keheningan itu.
Azka dan Alvero duduk di barisan tengah, sesekali berbisik tentang rencana markas pertahanan mereka, dan sesekali melihat ke luar jendela, tampak senang meninggalkan hiruk pikuk kota.
Tamara duduk di kursi penumpang depan, di samping Reifan yang mengemudi sendiri. Keputusan Reifan untuk mengemudi menunjukkan keinginannya untuk menciptakan suasana yang lebih intim dan pribadi, jauh dari pengawasan sopir.
Jalanan perkotaan perlahan berganti menjadi jalan pedesaan yang sunyi, diapit oleh pohon-pohon tinggi yang menaungi jalanan. Keheningan di antara Tamara dan Reifan terasa berat, penuh dengan kata-kata tak terucapkan.
"Villa Timur. Itu adalah tempat di mana kami menghabiskan Natal pertama Azka. Dan ulang tahun Alvero yang kedua," ucap Reifan, memecah keheningan, suaranya pelan.
Tamara tidak langsung merespons dengan strategi atau tantangan. Dia membiarkan kata-kata itu menggantung di udara.
"Itu pasti memiliki banyak kenangan indah," jawab Tamara, nadanya tenang dan menghormati.
"Indah, dan menyakitkan," ucap Reifan, mengoreksi, genggamannya pada kemudi sedikit mengeras.
"Kau akan melihat jejaknya di mana-mana. Baju tidur lama Alvero yang digantung di sana. Buku cerita Azka yang dia suka baca di bawah pohon apel. Dan aku tidak pernah mengubahnya," lanjut Reifan
"Kau akan menjadi pengacau, Tamara. Kau akan menjadi penyusup di surga kecil mereka," ucap Reifan menoleh sekilas ke Tamara, matanya menantang.
"Aku tidak akan menjadi pengacau, Reifan. Aku akan menjadi Penjaga Gerbang," jawab Tamara membalas tatapan itu dengan tenang tetapi matanya tetap tajam.
"Penjaga Gerbang?" tanya Reifan, tersenyum miring.
"Ya. Kenangan adalah gerbang. Aku tidak akan memaksa mereka menutupnya, tapi aku akan memastikan bahwa kenangan itu tidak menjadi penjara yang menghalangi Azka dan Alvero untuk melangkah maju," jawab Tamara, menjelaskan
"Aku akan berdiri di sisi mereka, dan menghormati apa yang ada di balik gerbang itu," lanjut Tamara, melirik Azka dan Alvero.
"Kau terdengar sangat mulia. Tapi itu omong kosong. Setiap ibu tiri ingin menjadi satu-satunya wanita di mata anak-anak," ucap Reifan tersenyum sinis.
"Dan setiap Ayah ingin menjadi satu-satunya pahlawan. Kita berdua tahu itu tidak mungkin. Aku tidak ingin menghapus Azura. Itu adalah strategi yang bodoh dan menjamin penolakan. Aku akan memposisikan diriku sebagai Sekutu Azura dalam menjaga anak-anaknya. Aliansi itu lebih kuat daripada permusuhan, Tuan Adhitama," jawab Tamara, tersenyum miring.
Reifan kembali terdiam, dia telah menyerang dengan emosi, dan Tamara membalasnya dengan strategi emosional yang lebih unggul.
Setelah hampir dua jam perjalanan, mobil mereka berbelok memasuki jalan setapak panjang. Di ujungnya, tampak sebuah villa kayu besar bergaya kolonial, diselimuti oleh taman yang luas dan rimbun. Villa Timur terlihat hangat, diterangi lampu kuning yang lembut.
Saat mobil berhenti di depan teras kayu yang lebar, Azka dan Alvero segera meloncat keluar.
"Pohon apel!" seru Azka, menunjuk ke sebuah pohon besar di halaman.
"Ayah, ayo cepat!" ucap Alvero menarik tangan Reifan.
Reifan mengangguk pada anak-anaknya, lalu menoleh ke Tamara.
"Selamat datang di medan perang emosional mu, Tamara," ucap Reifan tersenyum miring.
Tamara membiarkan Reifan dan anak-anaknya berjalan lebih dulu, membuka pintu bagasi untuk mengambil tasnya. Ia melirik bayangannya di kaca mobil. Gaun hijaunya tampak serasi dengan suasana villa yang asri.
Sistem 007 berbisik di benaknya: Peringatan: Level Kerentanan Tuan Reifan di area ini adalah 9/10. Level Nostalgia Tuan Muda Azka dan Alvero adalah 10/10. Pertarungan ini adalah antara Logika dan Memori.
"Terima kasih, Sistem. Memori adalah senjata terbaikku," jawab Tamara, berjalan perlahan memasuki villa.
Di dalam, suasananya persis seperti yang dijelaskan Reifan. Segala sesuatu tampak tersentuh, tetapi juga terawat dengan baik, seolah waktu berhenti di sini. Ada foto keluarga di dinding, sketsa Azura tergantung di atas perapian, dan bahkan sepatu bot karet kecil Azka dan Alvero yang berjejer rapi di dekat pintu.
Reifan sudah berada di tengah ruang tamu, membiarkan anak-anaknya menjelajahi kenangan mereka. Alvero berlari ke sudut sofa, tempat boneka beruang usang diletakkan, dan memeluknya. Azka berjalan ke rak buku, menyentuh tepi buku yang sering dibacakan Ibunya.
"Ini kamar kita!" seru Azka, menunjuk ke lorong.
Tamara tersenyum, lalu menoleh ke Reifan.
"Reifan. Kenapa kau tidak pernah menjual tempat ini?" tanya Tamara.
"Karena aku tidak bisa. Ini adalah bagian dari mereka," jawab Reifan, matanya sedikit berkaca-kaca, sebuah kerentanan yang nyata.
Tamara berjalan ke arahnya, tidak menantang, tetapi mendekat sebagai sekutu.
"Aku mengerti, kau tidak perlu menghancurkan atau melupakan, untuk melanjutkan. Kau hanya perlu sebuah ritual. Sebuah cara untuk mengakui masa lalu, sebelum melangkah ke masa depan," ucap Tamara, tenang.
Tamara meraih salah satu sepatu bot karet kecil milik Alvero, yang dipajang di dekat pintu. Dia memandangnya sejenak.
"Biar aku tunjukkan cara seorang Ratu menghadapi masa lalu, Reifan. Aku tidak akan menganggap diriku lebih penting dari Azura, tetapi aku akan menunjukkan bahwa aku mampu melindungi warisannya. Dan itu, adalah cinta sejati yang anak-anakmu butuhkan," ucap Tamara, tanpa melihat ke arah Reifan.
Reifan hanya menatapnya, bingung. Dia menunggu serangan, tetapi Tamara memberikan simpati dan rencana aksi yang tak terduga.
Malam itu, di Villa Timur, Reifan menyadari bahwa ia tidak hanya berhadapan dengan Ratu Mafia, tetapi dengan seorang jenius psikologis yang mampu mengubah setiap kelemahan menjadi keunggulan.
🖤🖤🖤
Makan malam keluarga inti diadakan di ruang makan besar, dengan penerangan kristal yang suram. Selain Reifan dan Tamara, hanya ada Azka dan Alvero yang duduk di kursi mereka, dengan Robert dan Damian berdiri di dekat dinding.
Azka dan Alvero duduk lebih dekat ke Tamara daripada ke Ayah mereka, sebuah kemenangan kecil yang tidak terlewatkan oleh mata tajam Reifan.