 
                            Ayudia berpacaran dengan Haris selama enam tahun, tetapi pernikahan mereka hanya bertahan selama dua tahun, sebab Haris ketahuan menjalin hubungan gelap dengan sekertarisnya di kantor. 
Seminggu setelah sidang perceraiannya usai, Ayudia baru menyadari bahwa dirinya sedang mengandung janin kecil yang hadirnya tak pernah di sangka- sangka. Tapi sayangnya, Ayudia tidak mau kembali bersama Haris yang sudah menikahi wanita lain. 
Ayudia pun berniat nutupi kehamilannya dari sang mantan suami, hingga Ayahnya memutuskan agar Ayudia pulang ke sebuah desa terpencil bernama 'Kota Ayu'.
Dari situlah Ayudia bertemu dengan sosok Linggarjati Putra Sena, lelaki yang lebih muda tiga tahun darinya dan seorang yang mengejarnya mati-matian meskipun tau bahwa Ayudia adalah seorang janda dan sedang mengandung anak mantan suaminya.
Satu yang Ayudia tidak tau, bahwa Linggarjati adalah orang gila yang terobsesi dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nitapijaan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Bisa lupa
"Ayudia, Uti jok kebun sit, ya. Koe rep melu ora?" Uti Nur yang sudah siap dengan kostum ke kebun itu masih setia menunggu cucunya. (Uti mau ke kebun, Kamu mau ikut nggak?)
Hingga tak lama Ayudia muncul dengan pakaian santainya seperti biasa, kaos kebesaran dan celana pendek selutut. Rambut panjangnya yang bergelombang di ujung dibiarkan tergerai.
"Uti bilang apa? Ayudia nggak paham." Ayudia protes. Meskipun dia memang berasal dari keluarga orang-orang berbahasa ngapak, tapi selama ini Ayudia tinggal dan besar di kota. Ayah dan Ibunya juga tak pernah mengajarkan Ayudia bahasa ngapak seperti Utinya.
"Uti mau ke kebun, nduk. Kamu mau ikut?"
"Mau deh, tunggu bentar Ayudia mau ambil hape sama duit." Uti Nur mengangguk. Wanita sepuh itu harus menunggu cucunya mengambil barang keperluan. Hampir dua bulan di sini, Ayudia jadi suka mengemil, entah itu karena faktor kehamilan atau mungkin karna cucunya tak punya kegiatan selain makan.
"Yuk, Ti." Ajak Ayudia begitu kembali. "Kita mau panen di kebun apa lagi, Ti?" Ayudia penasaran. Dia baru menjajal panen di dua kebun Pakde Narman, sementara masih banyak lagi panen di kebun lainnya.
"Tomat, sisa Minggu lalu sekarang baru bisa di panen." Balas Uti. Ayudia mangut-mangut, dia tak masalah mau kebun apapun itu.
Sampai di kebun tomat yang luasnya tak main-main, Ayudia ternganga. "Hah? Serius ini kebunnya?" Ayudia tak percaya. Kebun ini memiliki tatanan yang rapi, di tambah hijau-hijau daun tomat dan merah merona buahnya sangat memanjakan mata Ayudia.
Wanita itu merasa sedang hiling, padahal ke sini untuk bekerja. Hah, andai saja dari dulu Ayudia tinggal di desa, dia tak mungkin stres kan. Tinggal jalan-jalan kesekitar dan menatapi kebun orang, wkwk.
"Kamu mau ikut panen?" Tanya Uti dengan peka ketika Ayudia menyentuh buah tomat yang sudah memerah sempurna. Cucunya itu mengangguk pelan. "Boleh?"
Wajah keriput Uti tampak khawatir, "Boleh sih, tapi kalau cape langsung istirahat aja ndak usah di paksa." petuah Uti. Ayudia mengangguk-angguk semangat.
"Ayudiaaa ...!"
Suara Raisa menginterupsi Ayudia, wanita yang baru berjongkok didepan pohon tomat itu seketika mendongak. "Mbak," panggil Ayudia, dia melambai pelan pada Raisa yang berjalan mendekatinya sembari membawa ember ukuran besar yang nantinya dijadikan wadah tomat sebelum di sortir ke pondok.
"Baru kelihatan, kemana aja?" tanya Raisa begitu sampai di sebelah Ayudia.
"Di rumah aja, Mbak. Akhir-akhir cuacanya tambah panas, jadi mager keluar rumah." Balas Ayudia sembari memetik tomat dan memasukkan kedalam ember yang di bawa Raisa.
Ayudia memang tidak di beri ember, karena niatnya dia cuma mau bantu-bantu, bukan beneran ikut kerja.
"Emang akhir-akhir ini panas banget, Yu. Tapi kalau malem beh, hujan nggak karu-karuan." Di ingatkan dengan hujan, Ayudia seketika mengingat momennya dengan Linggar beberapa hari lalu. Di dalam mobil lelaki itu, tengah malam dan di hutan belantara.
Seketika Ayudia merutuki dirinya yang bodoh karena gampang terlena. Tak mau mengelak, sentuhan Linggar dan gerakan bibirnya yang lembut mampu membuat Ayudia mabuk kepayang.
"Linggar cariin kamu terus, Yu. Orang mah kalau mau ketemu tinggal samper aja ke rumah, kan, yah? Ini malah sibuk ngeringik kaya bocah." Raisa juga menyinggung soal Linggar. Ngomong-ngomong, Ayudia tidak melihatnya dipondok tadi. Laki-laki itu kemana, ya?
Eh, tunggu! Kenapa Ayudia jadi kepo sih?
"Nyariin aku?"
Raisa mengangguk pelan, tetap fokus memetik buah tomat dan memasukannya ke dalam ember. "Iya tuh, katanya mau ngajak ke kecamatan lagi, siapa tau kamu nyidam apa gitu."
Ayudia mangut-mangut. "Beberapa hari ini aku lagi pengen banget berkebun sendiri, mbak. Makanya di rumah aja, jarang ikut Uti ke kebun."
"Meskipun nggak jago bercocok tanam, tapi nggak ada salahnya lah buat nyoba." imbuh Ayudia sembari terkekeh pelan. Dia mengingat keinginannya yang sering muncul tiba-tiba itu.
"Iya bener. Biar ada kegiatan juga di rumah." Bela Raisa. "Oh iya, Uti Nur bilang mau renovasi Kamar mandi di rumah, udah dapet tukangnya?"
Wanita hamil itu menggeleng pelan, jemari lentiknya mengusap peluh di dahi sebelum menjawab. "Belum, Aku kan nggak kenal siapa-siapa di sini, mbak. Tapi aku udah bilang paklik kok, katanya biar paklik yang Carikan tukangnya."
Raisa ber-Oh panjang. Berhubung ember sudah mulai penuh tomat, Raisa melambai pada seorang lelaki yang tidak Ayudia kenal. Lelaki itu mendekat sembari mengusap peluh dengan serbet yang terselampir di bahunya.
"Linggar belum dateng juga, Dek?" Tanya lelaki itu sembari mengangkat ember besar di atas bahunya.
"Belum, tadi sih nelpon katanya masih di kecamatan nyari pupuk. Tapi nggak tau sekarang, mungkin udah di perjalanan, paling sebentar lagi juga pulang," Ujar Raisa. Lalu melirik Ayudia sekilas, "Ini kenalin, Ayudia. Cucunya Uti Nur dari kota," wanita itu memperkenalkan Ayudia yang dibalas anggukan kecil dan senyuman tipis.
Setelah itu, lelaki hitam manis itu pergi sembari memanggul ember besar berisi tomat. "Ayahnya Reya, Yu. Mas Nadi namanya."
"Ohh, suami Mbak Raisa?" Timpal Ayudia. Raisa angguk-angguk dengan tawa cekikikan. Padahal tinggal bilang aja suamiku, pake Ayahnya Reya segala. Kalau Ayudia salah paham bagaimana?
"Lelaki di kota ayu nggak ada yang putih-putih, Yu. Rata-rata kulitnya hitam, kalau nggak ya coklat. Maklum, di sini panasnya udah kaya punya matahari pribadi," Raisa berkelakar.
Tapi emang iya sih, para lelaki, terkhusus bapak-bapak itu rata-rata memiliki kulit coklat pekat. Mungkin karena pekerjaan mereka rata-rata di kebun, jadi sering panas-panasan.
"Di sini jarang ada orang jualan gitu ya, mbak. Dua bulan disini nggak nemu orang keliling nawarin jajan, di warung aja paling cuma tepung sama ciki-ciki," Ayudia mengeluarkan keluh kesahnya. Sebagai ibu hamil, Ayudia pun sama hal nya dengan mereka yang suka mengemil, sayangnya di kota ayu tidak ada orang yang berjualan makanan siap lahap. Maksudnya, seperti jajanan cilok, telur gulung, eskrim, atau lain-lainnya.
Di warung yang Ayudia temui hanya bahan masakan dan per-bumbuan, tidak ada yang menjual sayur, mungkin karena sudah punya sayur yang di tanam sendiri.
"Jarang ada orang jualan emang, Yu. Bukan karena malas ke sini, tapi karna orang-orangnya kalau pagi sampe sore sibuk di kebun masing-masing. Paling malam baru rame,"
"Kalau jualan malem-malem, takut juga sih ngelewatin jalan full kanan kiri hutan." Tambah Ayudia bergidik ngeri. Dia Lagi-lagi mengingat malam dimana dia dan Linggar terjebak hujan di tengah jalan yang sekelilingnya masih hutan asri. Entah kenapa, kejadian waktu itu sangat sulit sekali Ayudia hempaskan dalam pikirannya.
'Sudah Dia! waktu itu kamu cuma kebawa suasana aja, nggak lebih!' Batin wanita hamil itu menenangkan.
Melihat respon Ayudia, Raisa tertawa. Menurutnya sangat dia maklumi sekali kalau Ayudia mengeluh begitu, dulu saat dia kecil juga berfikir desanya sangat terpencil dan terlalu hutan. Tapi seiring berjalannya waktu hingga dia sedewasa sekarang, Raisa malah nyaman, mungkin juga karena terbiasa.
"Ya gitu lah, dari dulu kota ayu memang nggak ada perubahan sama sekali kecuali orang-orangnya." Wanita dengan jilbab instan itu terkekeh geli menatap wajah Ayudia yang memerah.
"Eh, kenapa Yu? Panas ya?" Tanyanya khawatir.
