 
                            Aprilia, gadis desa yang dijodohkan dengan Vernando, pria tampan dan kaya raya, harus menelan pil pahit kehidupan. 
Alih-alih kebahagiaan, ia justru menerima hinaan dan cacian. Vernando, yang merasa memiliki istri "jelek" dan "culun", tak segan merendahkan Aprilia di depan teman-temannya. 
Kesabaran Aprilia pun mencapai batasnya, dan kata "cerai" terlontar dari bibirnya. 
Mampukah Aprilia memulai hidup baru setelah terbebas dari neraka pernikahannya? Atau justru terjerat dalam masalah yang lebih pelik?
Dan Apakah Vernando akan menceraikan Aprilia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Surga Dunia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 11
Pagi Hari
Pagi menyambut dengan udara sejuk. Setelah menyaksikan Vernando makan masakan buatan nya dan memastikan suaminya telah melaju pergi, Aprilia segera bergegas.
Ia menyambar kunci motor butut milik Toni, sang satpam rumah. Ini adalah kesepakatan rahasia mereka: meminjam motor Toni demi menghemat biaya transportasi untuk biaya perawatan wajah yang sempat ia bicarakan dengan Mbok Ratmi.
Melawan padatnya jalanan ibu kota dengan sepeda motor jauh lebih efektif. Tak butuh waktu lama, Aprilia sudah tiba di kediaman mewah Yuka.
Ia bersyukur tak terjebak macet, waktu adalah uang, dan ia harus bekerja tepat waktu.
Aprilia bergegas masuk. Tepat di ruang tamu, ia berpapasan dengan Yuka yang sudah rapi dengan setelan jasnya, siap berangkat ke kantor, sambil menggandeng Zio yang sudah berseragam sekolah.
"Selamat pagi, Pak Yuka, Zio," sapa Aprilia dengan senyum ramah.
"Selamat pagi, Kak April!" sambut Zio riang, mata kecilnya berbinar melihat Aprilia.
"Selamat pagi," jawab Yuka, suaranya datar dan dingin seperti biasanya, tanpa ada senyum sedikit pun yang terukir di wajah tampannya.
"Kami berangkat dulu ya, Kak," pamit Zio sambil melambaikan tangan.
"Iya, hati-hati ya," balas Aprilia, ikut melambaikan tangan hingga mobil mewah itu menjauh dari pandangan.
Setelah kepergian ayah dan anak itu, Aprilia segera memulai pekerjaannya. Rumah megah milik Yuka sungguh luas, setiap sudutnya menuntut perhatian.
Meski rasa lelah mulai menjalar di punggung dan kakinya, Aprilia terus bekerja dengan teliti.
Kelelahan itu terasa sepadan dengan imbalannya. Gaji sepuluh juta rupiah untuk satu bulan bukanlah jumlah yang kecil bagi Aprilia, dan setiap lembar uang itu membawanya selangkah lebih dekat menuju mimpinya: investasi pada dirinya sendiri.
Baru saja Aprilia hendak meraih gagang pintu kamar utama Yuka, ketika sebuah suara ramah dan asing menghentikannya.
"Kamu siapa?" tanya suara seorang wanita dari arah belakang, nadanya santai.
Aprilia menoleh dan tersenyum ramah. "Saya Aprilia, Mbak. Saya baru mulai bekerja kemarin, bertugas membersihkan rumah."
Wanita itu, yang tampak lebih tua dari Aprilia beberapa tahun dengan senyum yang tulus, membalas senyum Aprilia.
"Oh, saya Yuli. Tugas saya memasak di sini."
"Salam kenal, Mbak Yuli," kata Aprilia. Ia mengerutkan kening sedikit. "Tapi, maaf, kenapa kemarin saya tidak melihat Mbak Yuli?"
"Saya sedang mengambil cuti kemarin," jelas Yuli sambil mengelap tangannya yang basah.
"Oh, begitu ya. Kalau begitu, saya mau lanjut beres-beres dulu ya, Mbak," pamit Aprilia, kembali menghadap pintu kamar Yuka.
Yuli melangkah mendekat, matanya tampak sedikit serius. "Hati-hati ya, Pril, kalau membersihkan kamar Pak Yuka. Dengarkan baik-baik..... Pokoknya jangan ada satu pun barang yang dipindahkan. Cukup bersihkan apa yang terlihat kotor saja. Jangan sentuh atau pindahkan barang yang sudah ditata Pak Yuka. Dia sangat teliti." Yuli menekankan kata-kata terakhirnya.
Aprilia mengangguk, menyerap peringatan itu. "Iya, Mbak. Terima kasih banyak atas pesannya."
Setelah mendapat wejangan penting itu, Aprilia pun membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam kamar Yuka yang tampak luas dan sangat tertata rapi.
Aprilia mulai menyapu, menyusuri setiap sudut kamar Yuka yang luas. Matanya tak sengaja tertuju pada dinding di seberang ranjang.
Di sana, terpajang sebuah foto berukuran besar yang menarik perhatiannya.
Ia menghentikan gerakan sapunya sejenak.
Foto itu menampilkan seorang wanita berambut pirang dengan senyum cerah, tengah menggendong seorang bayi mungil.
Wajah wanita itu tampak familiar, ia memiliki fitur wajah yang mirip dengan Zio. Namun, yang menarik perhatian Aprilia adalah ketidakhadiran Yuka di dalam bingkai foto itu.
Hanya ada sosok wanita dan bayi kecil di pelukannya.
"Itu pasti istri Pak Yuka," gumam Aprilia pelan, rasa penasaran yang singkat segera ia tepis.
Ia segera tersadar dari lamunannya. Waktunya terbatas. Dengan cepat dan hati-hati, Aprilia melanjutkan pekerjaannya, memastikan debu terangkat sempurna.
Setelah lantai bersih, ia beralih ke jendela besar, mengelap kaca hingga berkilau, membiarkan cahaya pagi masuk tanpa hambatan.
Ia bekerja sesuai pesan Yuli: membersihkan tanpa menggeser tata letak yang sudah sangat rapi.
***
Di atas sofa beludru mahal itu, Vini duduk manja di pangkuan Vernando, tangannya melingkar erat di leher pria itu.
"Kak, kalau Kak Lia tahu gimana?" bisik Vini manja, suaranya sedikit bergetar, seolah menikmati ketegangan dari risiko tersebut.
Vernando tertawa kecil, suara tawanya kering dan dingin. Ia mencondongkan tubuhnya, mulai menciumi leher jenjang Vini.
"Biarlah," jawabnya, suaranya tercekat di sela kecupan. "Lagi pula, setelah aku resmi menjadi pewaris, aku akan segera menceraikan gadis jelek itu."
Mendengar janji itu, Vini mendongak, menatap mata Vernando dengan tatapan menuntut yang serius. "Tapi, Kakak harus bertanggung jawab padaku ya?"
Vernando menghentikan ciumannya sejenak, menatap Vini dengan tatapan penuh kepastian yang palsu. "Iya, Sayang. Tentu saja."
Setelah mendapatkan jawaban yang ia inginkan, Vini tersenyum puas. Tanpa menunda lagi, mereka pun kembali tenggelam dalam cumbuan mesra, melupakan sejenak keberadaan Aprilia, wanita yang menjadi sandungan kecil dalam rencana besar mereka.
Tangan Vernando bergerak cepat, melucuti satu per satu pakaian Vini. Ada kepuasan gelap yang membuncah di hatinya.
Vini adalah miliknya hari ini, dan Vernando senang mengetahui bahwa ia adalah pria pertama yang menyentuh wanita ini.
Ini bukan tentang cinta; ini adalah tentang dominasi dan nafsu yang membakar, kebutuhan egois yang harus segera dipuaskan.
Tanpa basa-basi, tanpa kelembutan, Vernando langsung menanamkan 'senjatanya' dengan kasar.
"Ah... Kak Nando, sakit..." rintih Vini, wajahnya meringis menahan rasa perih yang tiba-tiba.
Vernando tidak menggubris rintihan itu. Ia hanya memejamkan mata, membiarkan hasratnya yang membara mengambil alih kendali.
Perlahan namun pasti, ia memulai gerakannya, memaju-mundurkan ritme yang mendesak.
"Ah... Kak..." Vini meremas bahu Vernando, rasa sakit itu perlahan mulai digantikan oleh sensasi yang asing.
Beberapa menit berlalu dalam desahan dan gesekan kulit. Akhirnya, Vernando mencapai puncaknya, melepaskan seluruh ledakan hasratnya di dalam rahim Vini.
Napas Vernando terengah. Sambil mengatur napasnya yang berat, ia segera menjangkau laci nakas di sampingnya.
Ia mengambil sebutir obat, pil kecil yang sangat ia kenal fungsinya.
Tanpa berkata-kata, Vernando memaksa Vini untuk membuka mulut. Dengan gerakan kasar, ia memasukkan obat itu ke dalam mulut Vini, memastikan pil itu tertelan.
Kontrol dan pemenuhan diri telah selesai; kini, saatnya menyingkirkan konsekuensi.
Jujur saja, ada sengatan rasa sakit dan sedikit ketersinggungan yang menusuk hati Vini saat Vernando dengan dingin dan tanpa basa-basi memaksanya menelan pil itu.
Tindakan itu terasa merendahkan, seolah dia hanyalah alat sekali pakai.
Namun, Vini segera menepis jauh-jauh perasaan rapuh itu. Perasaan tersinggung itu tidak penting.
Target utamanya jauh lebih besar, ia harus mendapatkannya Vernando bagaimanapun caranya, Agar bisa merebut Vernando.
Menyingkirkan Aprilia, 'gadis desa' yang menyebalkan itu, adalah prioritas mutlaknya.
Kebersamaan sesaat ini hanyalah bagian dari permainan. Pil itu hanyalah harga kecil yang harus dibayar demi mendapatkan seluruh warisan dan status yang melekat pada nama Vernando.
 
                     
                     
                    