Alena Prameswari percaya bahwa cinta bisa mengubah segalanya.
Tapi setelah tiga tahun menikah dengan Arga Mahendra, ia sadar bahwa kesetiaan tak akan berarti bila hanya satu pihak yang berjuang.
Saat pengkhianatan terbongkar, Alena memilih pergi. Ia menerima proyek desain di Dubai... tempat baru, awal baru.
Tanpa disangka pertemuan profesional dengan seorang pangeran muda, Fadil Al-Rashid, membuka lembaran hidup yang tak pernah ia bayangkan.
Fadil bukan hanya pria miliarder yang memujanya dengan segala kemewahan,
tetapi juga sosok yang menghargai luka-luka kecil yang dulu diabaikan.
Namun cinta baru tak selalu mudah.
Ada jarak budaya, gengsi, dan masa lalu yang belum benar-benar selesai. Tapi kali ini, Alena tak lari. Ia berdiri untuk dirinya sendiri... dan untuk cinta yang lebih sehat.
Akankah akhirnya Alena bisa bahagia?
Kisah ini adalah journey untuk wanita yang tersakiti...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 18.
Ruang rapat utama tampak megah dengan kaca tinggi yang memantulkan sinar matahari Dubai. Deretan layar menampilkan desain terbaru proyek Abu Dhabi yang menjadi sorotan publik. Di tengah ruangan itu, berdirilah dua sosok perempuan yang kini menjadi pusat perhatian — Alena dan Nadine.
Hari itu dewan investor mengumumkan bahwa keduanya akan mempresentasikan dua versi rancangan akhir. Versi Alena yang dikenal rapi dan efisien, dan versi Nadine yang baru saja muncul dengan ide revisi signifikan.
Fadil duduk di sisi ruangan, menyilangkan tangan. Wajahnya tenang, tapi matanya tajam memantau setiap detail.
“Baik, kita mulai dengan tim Alena.” Ujar salah satu anggota dewan.
Alena maju, ia mengenakan setelan putih gading Setiap kata yang keluar darinya terdengar mantap, namun tidak angkuh. Ia menjelaskan alur kerja, risiko, dan nilai inovatif proyek dengan ketenangan khasnya.
Selama lima belas menit, ruangan itu seperti dikendalikan oleh suaranya.
Hingga giliran Nadine tiba.
Nadine melangkah maju dengan langkah mantap, suara hak sepatunya memantul di lantai marmer. Ia mengenakan gaun kerja berwarna merah tua yang kontras dengan setelan putih Alena. Senyum tipisnya terlihat profesional di permukaan, tapi nada suaranya segera menyingkap sesuatu yang lebih tajam dari sekadar ambisi.
“Terima kasih atas kesempatan ini,” ucapnya, menatap seluruh dewan sebelum berhenti sejenak tepat di hadapan layar besar yang menampilkan desainnya. “Saya menghargai presentasi sebelumnya… meskipun, tentu saja efisiensi bukan satu-satunya hal yang membuat proyek besar berhasil.”
Beberapa kepala di meja dewan saling melirik. Nada Nadine terdengar halus, tapi maksudnya jelas.
“Desain yang saya bawa tidak sekadar efisien.” Lanjutnya, suaranya penuh keyakinan.
“Desain saya hidup, ia berbicara. Tidak kaku dan matematis seperti yang biasa kita lihat.” Nadine menatap sekilas ke arah Alena, tersenyum tipis seolah ingin berkata... lihat dan belajar lah dariku.
Fadil yang sejak tadi diam, menegakkan punggungnya. Mata pria itu berpindah dari layar ke Nadine, lalu ke Alena—yang tetap berdiri dengan wajah tenang tanpa menunjukkan reaksi berlebihan.
Nadine melanjutkan dengan gestur teatrikal, menekan tombol di remote dan menampilkan animasi rancangan 3D yang indah. “Di sini, saya menambahkan area publik dengan sirkulasi udara alami. Sebuah terobosan yang… mungkin tidak terpikirkan oleh mereka yang terlalu terpaku pada angka.”
Beberapa anggota dewan mengangguk, terpukau dengan tampilannya. Nadine menangkap respons itu, lalu menatap Alena dengan tatapan menang.
“Namun tentu,” katanya lagi, nada suaranya setengah manis, setengah menusuk, “Kita semua punya gaya masing-masing. Ada yang main aman… dan ada yang berani keluar dari batas konvensional.”
Sudah jelas, Nadine merendahkan Alena.
Ruangan mendadak terasa dingin, suara pendingin udara pun seperti lenyap.
Alena masih berdiri di tempatnya, menatap layar dengan tenang. Ia tahu Nadine sedang mencoba memancingnya, merendahkannya tanpa menyebut namanya secara langsung.
Tapi justru itu, ketenangan Alena membuat Nadine sedikit gelisah. Karena tak ada yang lebih mengacaukan, daripada seseorang yang tidak terpancing.
Fadil mencondongkan tubuh sedikit ke depan. Suaranya akhirnya terdengar, dalam dan berat.
“Cukup menarik, Miss Nadine.” Katanya pelan, tapi cukup jelas untuk seluruh ruangan mendengar. “Tapi mari kita ingat... proyek ini bukan kontes gaya. Ini tentang keberlanjutan, efisiensi, dan tanggung jawab desain. Tidak ada yang ‘main aman’ di sini, hanya yang tahu batas realitas.”
Nadine terdiam sepersekian detik, tatapan matanya membeku sebelum akhirnya ia tersenyum lagi dengan dipaksakan.
“Sudah tentu, Tuan Fadil,” jawabnya lembut. “Saya hanya ingin memberi perspektif yang berbeda.”
Alena tak berkata apa pun. Tapi senyum kecil di sudut bibirnya yang nyaris tak terlihat, membuat Nadine semakin gusar.
Karena tanpa satu pun kata, Alena baru saja menang satu langkah.
Beberapa detik setelah Nadine menutup presentasinya, ruangan itu senyap.
Bukan karena tak ada yang ingin berbicara, melainkan karena semuanya sibuk mencerna dua dunia berbeda yang baru saja dipamerkan di depan mereka.
Desain Alena: Bersih, Praktis, Presisi.
Desain Nadine: Megah, Berani, Mencolok.
Dua pendekatan yang sama-sama memukau, tapi jelas tidak bisa hidup berdampingan.
Ketua dewan, seorang pria berusia 60-an dengan kacamata tebal menatap layar lalu menghela napas. “Kedua rancangan ini luar biasa, saya melihat potensi besar di keduanya. Namun... sebelum kita ambil keputusan, saya ingin mendengar pendapat Tuan fadil.”
Semua mata langsung beralih padanya.
Fadil yang sejak tadi duduk bersandar dengan tangan terlipat di dada, perlahan menegakkan tubuh. Ia menatap layar, lalu menatap dua perempuan di depannya dengan ekspresi netral.
“Baik,” katanya pelan, suaranya tenang namun cukup dalam untuk membuat semua orang berhenti bernapas sesaat. “Kedua desain memang memiliki nilai, namun... saya ingin kita mengingat kembali visi awal proyek ini.”
Fadil berdiri dan berjalan pelan ke depan, langkahnya mantap lalu ia menunjuk layar yang menampilkan rancangan Alena.
“Tujuan proyek Abu Dhabi Heritage Center, bukan untuk menunjukkan kemewahan baru... tapi untuk menghormati nilai lama dalam kemasan modern. Kita ingin bangunan yang tahan waktu, bukan hanya viral di media sosial.”
Beberapa anggota dewan mengangguk setuju. Nadine yang berdiri tak jauh di sampingnya berusaha tersenyum, tapi matanya mulai kehilangan kilat percaya diri tadi.
Fadil kemudian menatap ke arah desain Nadine.
“Desain Miss Nadine indah, itu sangat memukau. Tapi... terlalu banyak bermain di estetika. Jika kita lihat dari sisi operasional, biaya pemeliharaan jangka panjangnya akan berlipat ganda.”
Fadil menatap Nadine langsung kali ini. “Dan... risiko itu tidak bisa diabaikan hanya karena kita ingin terlihat berani.”
Ucapan itu seperti pisau yang dibungkus dengan sutra. Lembut, tapi memotong dalam.
“Tentu, semua masih bisa diatur sesuai kebutuhan anggaran.“ Nadine tersenyum kaku, nada suaranya berusaha terdengar profesional.
“Bisa, tapi... tidak seharusnya.” Ucap Fadil dengan penuh ketegasan.
Kalimat itu membuat Nadine tak punya ruang untuk membalas.
Sementara Alena yang berdiri di ujung meja, tetap diam.
Fadil menatap Alena sesaat, tatapan singkat tapi ada sesuatu di baliknya. Seolah ia sedang menilai bukan hanya hasil kerja, tapi juga keteguhan hati. “Alena, rancanganmu lebih dekat dengan visi perusahaan. Kamu tidak mengejar pujian, kamu membangun dasar.”
Beberapa anggota dewan mulai berbisik-bisik pelan.
Ketua dewan akhirnya menyimpulkan. “Jadi, keputusan kita—”
“Akan tetap melalui voting,” potong Fadil cepat, lalu menatap seluruh orang yang hadir. “Saya tidak ingin keputusan ini terkesan subjektif, kita beri waktu sepuluh menit. Semua anggota dewan bisa memilih lewat sistem internal. Tapi satu hal yang ingin saya garis bawahi... yang kita nilai bukan hanya siapa yang lebih indah, tapi siapa yang lebih realistis dan berkelanjutan.”
Sang CEO menatap layar besar di depan. “Proyek ini akan bertahan puluhan tahun, jadi pilihlah desain yang akan tetap relevan... bahkan saat kita sudah tidak di sini lagi.”
Kalimat itu menggema, menembus kesunyian ruangan. Satu per satu anggota dewan mulai menunduk ke tablet mereka, memberikan suara.
Sepuluh menit terasa seperti satu jam.
Di sisi ruangan, Nadine menegakkan punggungnya dengan senyum palsu. sementara Alena hanya berdiri tenang, jarinya memegang map biru muda di tangannya. Ia tahu, ini bukan tentang dirinya melawan Nadine. Ini tentang siapa yang mampu tetap tegak tanpa kehilangan arah.
Sampai akhirnya, layar besar di tengah ruangan menampilkan hasil.
Alena – 78%
Nadine – 22%
Beberapa orang langsung bertepuk tangan pelan. Ketua dewan tersenyum puas, “Selamat, Miss Alena. Dewan sepakat memilih rancanganmu untuk diajukan ke fase final pembangunan.”
Nadine tersenyum kaku, menatap layar lalu menoleh ke arah Alena. “Selamat, sepertinya gayamu yang ‘aman’ kali ini menang.”
Alena hanya membalas dengan nada datar. “Terima kasih, Nadine. Tapi aku kira ini bukan soal aman… tapi ini soal tanggung jawab.”
Ucapan itu seperti peluru bersuara lembut.
Beberapa orang yang mendengar menunduk menahan senyum, sementara Fadil hanya diam. Bibirnya menegang sedikit, nyaris seperti menahan tawa kecil.
Rapat resmi berakhir, anggota dewan satu per satu meninggalkan ruangan.
Namun sebelum Alena sempat membereskan berkasnya, Fadil menghampiri.
“Presentasimu baik,” katanya singkat.
Alena menatapnya dengan tenang. “Terima kasih, Tuan Fadil. Saya hanya berusaha mengikuti instruksi tim desain awal.”
“Dan kamu... melakukannya dengan sempurna. Tetap seperti ini, fokus. Jangan biarkan cara orang lain memprovokasi gaya kerjamu.”
Alena menunduk sedikit, sopan. “Saya akan mengingat itu, Tuan.”
Sebelum Fadil pergi, Nadine mendekat pada pria itu. “Tuan Fadil, saya harap keputusan ini tidak didasari faktor pribadi.”
Fadil menatap Nadine, tatapannya dingin. “Saya tidak pernah mencampur adukan urusan pribadi dalam pekerjaan, Miss Nadine. Tapi kalau kamu menganggapnya seperti itu... berarti ada sesuatu dalam otakmu. Mungkin, kamu perlu meninjau ulang cara berpikir mu.”
Nadine membeku sejenak, lalu tersenyum kaku. “Baik, saya mengerti.”
Wanita itu melangkah pergi dari ruangan.
Setelah Nadine keluar, Fadil kembali menatap Alena. “Kamu harus bersiap, proyek ini akan jadi lebih besar setelah hasil ini diumumkan. Tekanan juga akan lebih besar.”
Alena mengangguk. “Saya tidak takut tekanan, Tuan Fadil. Selama saya tahu apa yang saya kerjakan.”
Senyum kecil muncul di wajah Fadil. Ia menatap Alena lalu berbalik dan berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan aroma maskulin yang samar tertinggal di udara.
Saat pintu tertutup, Alena menarik napas panjang.
Dari kejauhan Nadine berdiri di koridor, menatap ke arah ruangan itu dengan rahang mengeras. Ia tidak bisa menerima kekalahan seperti ini.
“Baik, Alena. Kalau ini permainanmu, aku akan belajar cara bermainnya. Tapi percayalah… lain kali, aku tidak akan kalah lagi darimu!”
Kaya Jailangkung aja, datang tak dijemput pulang tak diantar /Facepalm/
Karena dianggap Lady Diana sering melanggar aturan selama menjadi istrinya Pangeran Charles...