NovelToon NovelToon
Mahar Pengganti Hati

Mahar Pengganti Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Pengganti / Bercocok tanam / CEO / Dijodohkan Orang Tua / Ibu Pengganti
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Husna, putri bungsu kesayangan pasangan Kanada-Indonesia, dipaksa oleh orang tuanya untuk menerima permintaan sahabat ayahnya yang bernama Burak, agar menikah dengan putranya, Jovan. Jovan baru saja menduda setelah istrinya meninggal saat melahirkan. Husna terpaksa menyetujui pernikahan ini meskipun ia sudah memiliki kekasih bernama Arkan, yang ia rahasiakan karena orang tua Husan tidak menyukai Arkan yang hanya penyanyi jalanan.
Apakah pernikahan ini akan bertahan lama atau Husna akan kembali lagi kepada Arkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25

Pesawat mendarat mulus di Bandara Ngurah Rai, Bali.

Udara hangat bercampur aroma laut langsung menyambut mereka begitu keluar dari bandara.

Husna menggenggam tangan Jovan erat-erat, matanya berbinar penuh antusias ini adalah perjalanan pertamanya setelah sekian lama terkurung di rumah sakit dan masa pemulihan.

“Van, ini pertama kalinya aku ke Bali,” ucapnya dengan nada kagum sambil memandangi langit biru yang bersih.

Jovan tersenyum, menatap wajah istrinya yang tampak bahagia.

“Makanya, kali ini kamu nggak perlu mikirin apa pun selain bersenang-senang. Anggap ini awal baru buat kita, ya?”

Perjalanan dari bandara ke hotel memakan waktu sekitar setengah jam.

Sepanjang jalan, Husna terus menatap keluar jendela melihat pantai yang memantulkan cahaya matahari, pepohonan kelapa yang menari tertiup angin, dan aroma laut yang begitu segar.

Ketika mobil berhenti di depan hotel tepi pantai, Husna terdiam sesaat.

Bangunan bergaya modern tropis dengan nuansa kayu dan batu alam berdiri anggun di hadapannya.

Ombak terdengar lembut dari kejauhan.

Begitu mereka masuk ke kamar yang sudah disiapkan, Husna spontan menutup mulutnya menahan kagum.

“Ya ampun, Van. Kamarnya indah banget…” ucapnya pelan, matanya berkeliling mengagumi setiap sudut ruangan.

Kamar itu luas, dengan dinding kaca besar yang langsung menghadap ke laut biru.

Tirai putih bergoyang pelan tertiup angin. Di tengah ruangan, ranjang berkanopi dengan seprai putih dan kelopak bunga merah muda tertata indah.

Sebuah balkon kecil terbuka ke arah pantai, menampilkan pemandangan matahari sore yang perlahan turun ke cakrawala.

Husna melangkah pelan ke arah jendela besar itu, lalu membuka pintu kaca.

Angin laut langsung menerpa wajahnya lembut.

Ia memejamkan mata, menikmati desiran angin dan suara ombak.

“Rasanya seperti mimpi, Van…” bisiknya dengan senyum haru.

Jovan berjalan mendekat dari belakang, lalu merangkul pinggangnya pelan.

“Kalau ini mimpi, jangan bangun dulu, Na,” ucapnya lembut di telinganya.

Husna tersenyum, lalu menatap suaminya.

“Terima kasih, Van. Karena kamu, aku bisa merasakan ini semua.”

“Bukan karena aku, tapi karena kita. Kita yang bertahan sampai di titik ini.”

Husna menatap laut biru di depan mereka, merasa hangat dan tenang untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia benar-benar merasakan kedamaian.

“Van,” ujarnya pelan sambil bersandar di dada suaminya, “aku pengen waktu berhenti di sini aja…”

Jovan menatap wajahnya yang damai dan menjawab lembut,

“Kalau waktu bisa berhenti, aku juga mau berhenti di momen ini, Na — di sisimu.”

Dan di bawah cahaya keemasan matahari Bali yang perlahan tenggelam, mereka berdiri berdua, tangan saling menggenggam, seolah dunia hanya milik mereka berdua.

Sore berganti malam. Langit Bali berubah menjadi kanvas gelap bertabur bintang, sementara suara ombak terdengar lembut dari kejauhan.

Jovan dan Husna berjalan menyusuri jalan setapak dari hotel menuju restoran tepi pantai yang sudah dihias indah untuk makan malam mereka.

Lampu-lampu kecil bergantungan di antara pepohonan kelapa, berkilauan seperti kunang-kunang.

Di tengah pasir putih, sebuah meja bundar telah disiapkan dengan taplak putih, lilin yang menyala lembut, dan bunga mawar merah di vas kaca kecil.

“Van, kamu yang menyiapkan semua ini?”

“Hmm, ada sedikit bantuan dari pihak hotel, tapi idenya dariku. Aku pengen malam ini jadi malam yang nggak bakal kamu lupakan.”

Mereka duduk berhadapan, dan pelayan datang membawa hidangan laut segar ikan bakar dengan saus lemon, salad tropis, dan segelas jus mangga dingin untuk Husna.

Angin malam berhembus lembut, meniup helaian rambut Husna.

Jovan memperhatikannya dalam diam, matanya hangat.

“Cantik banget,” gumamnya tanpa sadar.

Husna tersipu, menunduk kecil. “Kamu bilang gitu terus dari tadi.”

“Karena itu kenyataannya,” jawab Jovan sambil tersenyum.

Mereka makan sambil berbicara pelan membicarakan masa lalu yang mereka lewati, luka yang kini mulai sembuh, dan masa depan yang ingin mereka bangun bersama.

“Dulu aku nggak pernah nyangka kita bisa duduk berdua kayak gini lagi,” ucap Husna lirih sambil menatap laut.

Jovan menggenggam tangannya di atas meja.

“Aku juga nggak nyangka, Na. Tapi Tuhan kasih kesempatan kedua buat kita dan aku nggak mau menyia-nyiakannya lagi.”

Setelah selesai makan, Jovan berdiri dan menatap Husna dengan lembut.

“Na, ayo kita jalan sebentar di pantai sebelum balik ke hotel.”

Mereka berjalan tanpa alas kaki di atas pasir putih.

Ombak kecil menyentuh kaki mereka, udara laut membawa ketenangan. Husna menatap ke arah langit bertabur bintang dan tersenyum.

“Indah banget, Van…”

Jovan meraih tangan istrinya dan menautkan jari-jarinya.

“Tidak seindah kamu.”

Husna menoleh, menatap suaminya dengan pipi yang memerah.

“Kamu ini, ya…”

Mereka tertawa pelan, lalu Jovan mendekat dan berbisik,

“Ayo pulang ke kamar, sayang. Aku pengen kamu istirahat. Hari ini udah panjang banget.”

Husna mengangguk, senyum lembut masih menghiasi wajahnya.

Mereka berjalan kembali ke hotel, menyusuri jalan yang diterangi lampu taman yang redup.

Begitu sampai di kamar, Husna terdiam lagi suasana kamar kini diterangi cahaya lilin dan aroma lembut lavender yang menenangkan.

Di meja, ada sepotong kue kecil dengan tulisan “For Us” di atasnya.

Jovan menatapnya sambil berkata pelan,

“Malam ini cuma tentang kita berdua, Na. Tentang awal yang baru.”

Husna menatapnya lama, matanya berkilat lembut.

“Iya, Van. Awal yang baru,” ucapnya pelan sambil tersenyum, lalu bersandar di dada suaminya, mendengar detak jantungnya yang hangat dan menenangkan.

Malam itu, di bawah langit Bali yang berbintang, cinta mereka terasa lebih nyata dari sebelumnya.

Malam di Bali terasa tenang hanya suara debur ombak dan desir angin laut yang menyelinap dari balkon kamar hotel mereka.

Lampu di kamar temaram, menciptakan suasana hangat dan damai.

Husna berdiri di dekat jendela, menatap langit malam yang bertabur bintang.

Jovan mendekat perlahan dari belakang, tangannya menyentuh bahu istrinya dengan lembut.

“Na…” panggilnya pelan.

Husna menoleh sedikit, matanya menatap Jovan dengan senyum gugup.

“Hmm?”

Jovan menatapnya lama, lalu menggenggam tangannya.

“Aku tahu ini mungkin bukan waktu yang sempurna, tapi aku ingin kita benar-benar jadi suami istri tanpa batas, tanpa jarak.”

Husna terdiam. Pipinya memerah, sementara matanya menunduk.

“Van, aku nggak yakin.”

Jovan menatapnya lembut. “Kenapa, Na? Apa aku melakukan sesuatu yang salah?”

Husna menggeleng cepat, lalu menunduk makin dalam.

“Bukan, Van. Cuma…” ia menarik napas dalam, suaranya bergetar.

“Aku masih takut kamu jijik lihat aku. Luka-luka ini bekasnya masih ada.”

Jovan menatapnya lama, lalu mendekat, menangkup wajah istrinya dengan kedua tangannya.

“Na, dengar aku baik-baik,” ucapnya pelan tapi tegas.

“Aku nggak pernah jijik sama kamu. Luka itu bukan aib. Itu tanda kalau kamu kuat dan kamu masih di sini, bertahan demi Ava, demi kita.”

Husna menatap matanya, air bening mulai menggenang di sudut mata.

“Tapi, Van. Tubuhku nggak seperti dulu. Aku takut kamu kecewa.”

Jovan tersenyum kecil, lalu mendekat lebih dekat hingga napas mereka hampir bersentuhan.

“Husna, aku mencintai kamu, bukan karena tubuhmu, tapi karena hati kamu. Luka itu nggak mengubah siapa kamu buat aku.”

Husna menggigit bibir, menahan isak yang nyaris pecah.

“Kamu beneran nggak jijik?”

Jovan menggeleng pelan, menempelkan keningnya ke kening Husna.

“Tidak sedikit pun.”

Jovan menarik pinggang istrinya dan memberikan ciuman khasnya.

“Van…” bisiknya lirih.

Jovan hanya tersenyum dan memeluknya erat, berbisik di telinganya,

“Mulai malam ini, aku cuma mau kamu tahu satu hal kalau kamu sempurna, Na. Dengan atau tanpa luka.”

Jovan kembali mendekatkan bibirnya ke bibir istrinya.

Husna memberikan ciuman yang diberikan oleh suaminya.

Mereka berdua melepaskan pakaiannya dan Jovan sekarang sudah berada di atas tubuh istrinya.

"Aku mencintaimu, Husna." ucap Jovan sambil berbisik di telinga Husna.

Husna memejamkan matanya saat suaminya mulai melakukan kewajibannya.

Ia mencengkram erat punggung suaminya yang ada di atas.

"S-sakit..." ucap Husna.

Jovan menciumnya agar Husna bisa melupakan sakitnya.

Terdengar suara desahan mereka berdua di kamar hotel.

Setelah satu jam berlalu, Jovan memeluk tubuh istrinya yang kelelahan.

"Istirahatlah sayang." ucap Jovan yang ikut memejamkan matanya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!