JANGAN ABAIKAN PERINGATAN!
Sadewa, putra seorang pejabat kota Bandung, tak pernah percaya pada hal-hal mistis. Hingga suatu hari dia kalah taruhan dan dipaksa teman-temannya membuka mata batin lewat seorang dukun di kampung.
Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai seminggu kemudian dunia Dewa berubah, bayangan-bayangan menyeramkan mulai menghantui langkahnya. Teror dan ketakutan ia rasakan setiap saat bahkan saat tidur sekali pun.
Sampai dimana Dewa menemukan kebenaran dalam keluarganya, dimana keluarganya menyimpan perjanjian gelap dengan iblis. Dan Dewa menemukan fakta yang menyakiti hatinya.
Fakta apa yang Dewa ketahui dalam keluarganya? Sanggupkah dia menjalani harinya dengan segala teror dan ketakutan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25. BANTUAN
Siang itu, langit seperti menyimpan luka. Awan mendung menggantung berat di angkasa, menutup cahaya mentari yang biasanya riang menghangatkan bumi bagai mata para leluhur. Sadewa, Arsel, dan Tama berjalan pulang dengan langkah yang tak teratur, lelah bercampur resah. Angin malam menampar wajah mereka, dingin dan getir, seakan menegaskan bahwa dunia tengah menyiapkan ujian yang lebih besar.
Kos mewah tempat Arsel dan Tama tinggal tampak megah dari kejauhan, berdiri gagah dengan seolah tak akan lekang akan usia. Bangunan itu kontras dengan perasaan gundah yang mereka bawa pulang. Sadewa berjalan paling belakang, kepalanya tertunduk, beban di dadanya terlalu berat setelah apa yang terjadi pada ibunya.
Arsel beberapa kali menoleh, memastikan Sadewa tidak tertinggal. Sedangkan Tama menahan diri untuk tidak banyak bicara, meski gelisahnya menuntut keluar. Mereka tahu, sesampainya di sana, ada sosok yang bisa memberi jawaban, Eyang.
Ketika pintu kayu besar itu terbuka, aroma kayu cendana bercampur melati menyambut mereka. Ruangan luas dengan perabotan antik menyiratkan nuansa masa lalu yang masih hidup. Di sudut ruangan, seorang lelaki tua duduk di kursi rotan, matanya tajam menembus waktu, wajahnya berkerut namun memancarkan wibawa yang tak bisa ditawar. Dialah Eyang.
"Pulang juga kalian," ucap Eyang dengan suara yang tenang, namun ada getar halus di baliknya, seolah ia sudah tahu apa yang akan diceritakan cucu-cucunya malam itu. "Sepertinya sesuatu yang besar telah terjadi, ya," sambungnya.
Arsel mendekat, duduk di samping lelaki tua itu. "Eyang, Ibu Sadewa dirasuki oleh makhluk yang mengincar Sadewa, dan kini sukmanya diambil ke alam gaib. Kami hendak menolong tapi ... kami gagal. Kami mencoba, tapi pintu perbatasan itu sudah tertutup. Sukma Ibu Sadewa, sudah ditarik masuk oleh makhluk itu. Kami tidak bisa menolong."
Tama menunduk dalam-dalam, menahan perasaan bersalah. "Kami bertiga, bahkan dengan bantuan Dewa, tetap tidak bisa menembusnya. Dunia gaib menolak kami."
Sadewa mengepalkan tangan, menahan gemetar yang merayapi tubuhnya. "Eyang, Ibu sekarang hanya raga tanpa jiwa. Aku takut kalau sukma beliau tak kembali, aku akan benar-benar kehilangan Ibu."
Eyang menatap tajam, matanya seakan menyelami isi dada mereka satu per satu. Hening cukup lama sebelum ia akhirnya bersuara, lembut namun penuh kekuatan, "Untuk masuk ke dunia gaib, nggak cukup hanya dengan keberanian dan kekuatan. Kalian masih manusia, daging dan darah. Ada batas yang nggak bisa ditembus begitu saja. Dunia itu hanya bisa dimasuki dengan aman jika kalian ditemani oleh mereka yang memang berasal dari sana."
Kata-kata itu jatuh bagai palu yang mengetuk kesadaran.
Arsel menelan ludah, dadanya berdegup. Ada sesuatu yang tersentak dalam ingatannya. "Mereka yang berasal dari sana?"
"Lakukan lagi saat malam tiba, sekarang istirahat. Biar Eyang bantu seimbangkan energi kalian yang kacau ini. Kalian harus siap mental dan fisik jika mau ke alam sana," kata Eyang dengan penuh kasih.
Mereka menurut, karena Eyang mungkin yang paling tahu tentang apa yang terjadi. Dan setahu Arsel juga pintu masuk dunia sana sangat tipis jika di siang hari. Mereka menunggu dan beristirahat serta mendengarkan saran dari Eyang hingga malam tiba.
Malam terasa semakin pekat ketika Arsel menutup mata sejenak. Dalam gelap pikirannya, ia kembali ke masa kecil. Ia melihat dirinya, seorang bocah dengan rasa ingin tahu yang besar, bertemu dengan sosok yang tak semua orang bisa lihat. Sosok rupawan yang ia temui di sebuah petilasan di kampung halamannya, Kalimantan.
Sosok yang menjadi seorang kakak untuk Arsel. Bukan manusia, tapi begitu dekat layaknya keluarga. Sosok yang kala itu memerkenalkan diri sebagai Andi. Ia berasal dari dunia lain, dunia yang hanya bisa disentuh oleh mereka yang memiliki garis nasib tertentu. Sebuah kota gaib yang sempat Arsel pun masuki dengan izin dari Andi agar Arsel dapat melihat serta belajar antara koneksi dua dunia.
Sejak kecil, Andi selalu mendampingi Arsel. Layaknya seorang kakak yang menjaga adiknya, membantu segala hal tentang hal gaib dan gangguan tak kasat mata yang diarahkan ke Arsel. Dialah yang membantu Arsel mengerti hal-hal yang orang lain anggap mustahil. Bahkan dalam banyak kasus supranatural, Andi hadir memberi petunjuk. Bahkan ketika Arsel sempar ditarik ke alam gaib oleh makhluk dari wilayah gelap, Andi yang datang menolong tanpa diminta.
Arsel membuka mata, napasnya tercekat. Ia menoleh pada Eyang. "Eyang, Kak Andi?!"
Sadewa dan Tama menatapnya heran.
"Siapa dia?" tanya Tama, alisnya mengernyit.
Arsel menarik napas panjang. "Namanya Andi. Jin penghuni kota gaib yang mungkin sering kalian dengar, dan sudah bersama denganku sejak aku kecil. Sampai sekarang, dia masih menemaniku ... meski tak selalu muncul di hadapan orang lain."
Sadewa menatap dengan mata membesar, antara ragu dan berharap. "Jadi dia bisa membawa kita masuk?"
Eyang tersenyum tipis, matanya berkilat. "Jika dia setia dan masih mendampingimu, maka dialah jembatan kalian. Dunia gaib menerima bangsanya, dan dengan izin, kalian bisa lewat bersamanya."
Arsel menegakkan tubuhnya, hatinya berdebar. Sudah lama ia tidak memanggil Andi dengan kesadaran penuh. Biasanya Andi muncul sendiri, ketika situasi menuntut. Tapi kini ia harus mencoba. Ia duduk santai, menutup mata, menenangkan diri. Tangannya ia letakkan di atas lutut, jemarinya sedikit bergetar. Ia mengatur napas, lalu memanggil dengan lirih namun penuh keyakinan.
"Kak Andi, kalau kamu mendengarku, aku butuh bantuanmu sekarang," ujar Arsel.
Ruangan mendadak terasa berbeda. Angin yang tadinya sepoi berubah dingin, aroma dupa makin kuat. Lampu gantung bergoyang pelan, seakan tersentuh sesuatu yang tak terlihat. Sadewa merapat pada Tama, merasakan bulu kuduknya berdiri.
Suara samar terdengar, seperti bisikan dari balik tabir. "Udah lama nggak manggil, Sel. Ada apa? Pekerjaan baru?"
Arsel membuka mata perlahan. Di hadapannya, kabut tipis mulai membentuk siluet seorang pemuda. Wajahnya teduh, mata hitam berkilau bagai malam tanpa bintang, senyum samar menghiasi bibirnya. Dialah Andi.
"Kak Andi," Arsel berucap, lega melihat sosok itu datang dengan sangat cepat.
Sosok itu menatapnya dengan lembut. "Ada apa? Apa ada yang ganggu kamu?"
Sadewa dan Tama saling berpandangan, bingung antara takjub dan takut. Sementara Eyang menunduk pelan, tanda hormat pada sosok yang datang.
"Kak Andi," suara Arsel tegas, "kami butuh bantuanmu. Sukma Ibu dari temanku ditawan di dunia gaib. Gerbangnya tertutup untuk kami. Eyang bilang, hanya dengan bantuan mereka yang berasal dari sana, kami bisa masuk. Apa Kak Andi bisa bantu?" tanya Arsel.
Andi menatap Arsel lama, lalu beralih menatap Sadewa dengan tatapan dalam. "Anak ini, ditakdirkan menghadapi sesuatu yang besar. Tak heran ibunya jadi umpan. Dia bagian dari Akasha juga rupanya."
"Benar," sahut Arsel. "Tapi dia belum tahu apa pun tentang Akasha. Nanti saatnya tiba akan aku beritahu," sambungnya.
Sadewa menggertakkan gigi, dadanya bergetar menahan emosi. Entah kenapa ia terkagum melihat sosok Andi ini. Pria yang tampak seperti akhir dua puluhan, namun rupawan dan berwibawa.
Andi kembali pada Arsel. "Oke. Kalau kamu minta, aku akan bantu. Tapi ingat, jalan ke sana tidak mudah. Sekali melangkah, kalian harus siap kehilangan jalan pulang."
Arsel mengangguk mantap. "Aku tahu. Tapi kami tidak bisa diam. Kami harus membawa sukma Ibu Sadewa kembali."
Eyang tersenyum samar, suaranya rendah. "Maka perjalanan kalian akan dimulai. Dengan Andi sebagai penuntun, kalian akan membuka tabir yang sudah lama tertutup."
Dan mereka akan menghadapi ketakutan yang sesungguhnya setelah ini.
ikutan emosi,kalut,takut n apa y,gtu lah pokoknya mah
ternyata bener kn jadi tumbal
kenapa si dewa ini
apa ayahnya Dewa???