KARENA MEMBUKA MATA BATIN

KARENA MEMBUKA MATA BATIN

BAB 1. TARUHAN KONYOL

Langit Bandung sore itu bergelayut rendah, memerah seperti bara api yang belum padam. Jalanan kota dipenuhi arus kendaraan yang tak pernah benar-benar berhenti, seperti denyut nadi sebuah tubuh raksasa yang bernama kota. Di salah satu kafe modern di bilangan Dago, sekelompok anak muda duduk melingkar di pojok ruangan, suara mereka menenggelamkan dentuman musik indie yang diputar setengah hati oleh barista.

Di antara mereka, seorang pemuda dengan rambut hitam bergelombang dan tatapan penuh percaya diri menjadi pusat perhatian. Dialah Sadewa, namun hampir semua orang memanggilnya dengan nama singkat, Dewa. Anak pejabat kota yang disegani, hidup dengan segala kemewahan yang hanya bisa dibayangkan oleh sebagian besar remaja seusianya. Jaket kulit hitam melekat di tubuhnya, jam tangan mahal melingkar di pergelangan, dan senyum tipisnya seolah mengatakan ia terbiasa menguasai panggung di mana pun ia berada.

"Lo kalah, Wa," ujar Andra, salah satu temannya, sambil mengangkat alis penuh kemenangan. Tawa pecah di meja itu, sebagian menepuk-nepuk bahu Dewa.

Dewa hanya mendengus, meneguk minuman dingin di tangannya. "Taruhan receh kayak gini aja heboh banget sih, Dra. Biasa aja kali."

"Biasa gimana? Lo sendiri yang bikin taruhan kan?" sahut Bagas, si anak kampung yang entah bagaimana bisa nyambung dengan lingkaran anak-anak kota kaya raya itu. Rambutnya acak-acakan, kulit sawo matang terbakar matahari, kontras sekali dengan Dewa yang tampak seperti model majalah.

Taruhan itu awalnya memang sepele. Hanya sebuah permainan kartu di sela obrolan mereka. Dewa kalah telak, dan sesuai aturan, ia harus menerima hukuman. Hukumannya kali ini bukan sekadar mentraktir atau disuruh nembak cewek acak, melainkan sesuatu yang muncul dari mulut Bagas, ide yang sejak awal terdengar konyol, tapi justru disambut dengan tawa.

"Lo harus mau buka mata batin sama orang pintar di kampung gue," ucap Bagas waktu itu, setengah bercanda.

"Wih, ide bagus itu," setuju Kevin, si playboy sekolah yang terkenal udah banyak cewek sekolah pernah merasakan jadi pacarnya.

Seketika meja itu meledak oleh suara riuh. "Anjir, cocok banget buat Dewa. Lo kan sok berani, Wa. Masa lihat hantu aja takut?"

Dewa menegakkan tubuhnya. "Halah, gampang. Gua mah santai aja." Ia berkata dengan nada menantang, walaupun dalam hatinya ada sedikit keraguan yang ia sembunyikan rapat-rapat.

Maka sore itu, taruhan konyol berubah menjadi kesepakatan serius.

Dewa sebenarnya bukan tipe orang yang percaya dengan hal-hal gaib. Baginya, dunia cukup sederhana: ada uang, ada kekuasaan, maka semuanya bisa diselesaikan. Ayahnya, seorang pejabat kota yang namanya sering muncul di televisi lokal, adalah contoh nyata betapa kuasa bisa menyingkirkan segala kesulitan. Sejak kecil Dewa terbiasa hidup dalam bayang-bayang kemewahan; rumah besar di kawasan elit, mobil-mobil mewah berganti setiap beberapa tahun, dan pesta ulang tahun yang selalu jadi buah bibir.

Tapi justru karena itu, Dewa haus pembuktian di depan teman-temannya. Ia ingin dianggap pemberani, pemimpin geng mereka. Dan taruhan kali ini, meski agak di luar nalar, adalah panggung sempurna untuk menunjukkan keberaniannya.

"Besok malam kita berangkat, Wa," kata Bagas di sela tawa. "Gua udah janjian sama Ki Jatmiko. Dia orang pintar yang dipercaya di kampung gua. Kalo lo beneran buka mata batin, siap-siap aja lihat makhluk yang biasanya nggak kelihatan."

Andra menambahkan dengan wajah jahil, "Kalo lo tiba-tiba kesurupan, jangan salahin kita ya. Hehehe."

Dewa menepuk meja. "Besok malam, beres. Jangan pada nyalain kamera buat bikin konten, gua gamau jadi bahan TikTok. Ngerti? Bisa ancur harga diri gua yang ada nanti."

Mereka serempak tertawa lagi, sementara Dewa tersenyum tipis, berusaha menutupi keresahan kecil yang mulai menyusup di relung hatinya.

Malam itu, ketika Dewa sudah kembali ke rumahnya yang megah, ia duduk sendirian di balkon kamar. Bandung dari ketinggian tampak seperti hamparan bintang di bumi, lampu-lampu kota berkelap-kelip di balik kabut tipis. Dewa menyalakan sebatang rokok, mengisapnya pelan sambil menatap jauh.

Ia teringat ucapan Bagas. Mata batin ... bisa lihat hantu ....

Bulu kuduknya sedikit meremang, meski ia cepat-cepat menepisnya dengan logika.

Ah, paling juga cuma sugesti. Bagas kan doyan ngibul. Paling besok cuma ritual aneh-aneh, terus nggak terjadi apa-apa, batin Dewa.

Namun di balik pikirannya, ada bagian kecil dari dirinya yang justru penasaran. Bagaimana jika memang benar ada dunia lain yang tersembunyi? Bagaimana jika ada sesuatu di balik wajah ramah orang-orang, sesuatu yang selama ini tak terlihat?

Pertanyaan itu menempel di kepalanya hingga ia tertidur, ditemani dengung samar kota yang tak pernah benar-benar diam.

Keesokan malamnya, mobil hitam milik Dewa meluncur ke arah pinggiran kota, melewati jalanan sempit yang semakin lama semakin sepi. Bagas duduk di kursi depan, sementara Andra dan dua teman lain di kursi belakang. Tawa mereka sesekali pecah, tapi seiring jalan semakin gelap, suasana jadi agak hening.

"Serius, Gas, orang pintar lo ini beneran bisa buka mata batin?" tanya salah satu teman, Raka, dengan nada setengah tak percaya.

Bagas mengangguk mantap. "Ki Jatmiko itu udah terkenal. Banyak orang datang buat minta tolong, entah sakit aneh, usaha mandek, atau pengen 'lihat dunia lain'. Kalo lo mau tahu, malam Jum'at kayak gini tuh paling pas buat buka mata batin."

"Pas apaan, Gas," sahut Andra sambil tertawa, "Pas buat bikin Dewa kencing di celana kali!"

"Sialan, kalian," umpat Dewa ke teman-temannya.

Suasana di dalam mobil kembali riuh oleh canda tawa. Dewa hanya menggelengkan kepala, pura-pura tidak peduli, meski tangannya sedikit lebih erat menggenggam setir.

Mobil berhenti di depan sebuah rumah tua yang terletak agak masuk ke dalam kampung. Pagar bambu berdiri miring, cat dinding rumah sudah mengelupas dimakan usia. Lampu temaram berwarna kuning menggantung di beranda, dan suara jangkrik bersahut-sahutan dari kebun di samping rumah.

"Ini tempatnya," ujar Bagas sambil turun dari mobil.

Mereka berjalan menapaki tanah yang agak becek setelah hujan sore tadi. Bau tanah basah bercampur dengan aroma dupa samar yang terbawa angin.

Di beranda, seorang pria tua dengan rambut putih panjang dan mata tajam sudah menunggu. Ia mengenakan kain hitam sederhana, tubuhnya tegap meski jelas usianya sudah lanjut.

"Selamat datang," suara Ki Jatmiko berat namun tenang. "Kamu pasti Sadewa? Temen Bagas yang katanya mau buka mata batin?" tanyanya.

Dewa tertegun sejenak, lalu mengangguk. "Iya, Ki. Saya yang mau ... buka mata batin."

Ki Jatmiko tersenyum tipis, seolah sudah tahu segalanya. "Baiklah. Masuk."

Ruang dalam rumah itu remang, hanya diterangi beberapa lampu minyak. Aroma dupa semakin pekat, bercampur dengan bau dedaunan kering yang dibakar. Di sudut ruangan, terlihat meja kayu dipenuhi sesaji: bunga tujuh rupa, air dalam kendi, dan sebatang keris tua.

Teman-teman Dewa duduk melingkar di pinggir ruangan, berusaha menahan tawa gugup mereka. Dewa diminta duduk bersila tepat di depan Ki Jatmiko.

"Pejamkan matamu," ujar Ki Jatmiko perlahan. "Tarik napas dalam, buang perlahan. Kosongkan pikiranmu."

Dewa menurut, meski detak jantungnya berdegup lebih cepat. Ki Jatmiko mulai merapalkan doa dengan bahasa Jawa Kuno yang sulit dipahami. Suaranya bergema di antara dinding bambu, menimbulkan kesan magis yang tak bisa dijelaskan.

Sebuah tangan tua menyentuh kening Dewa, dingin seperti es.

Dewa merinding, tapi tak berani membuka mata. Jantungnya seketika berdetak liar.

"Mulai malam ini, tirai akan terbuka," bisik Ki Jatmiko. "Apa yang tidak terlihat akan kamu lihat. Ingat, jangan pernah meremehkan apa yang akan datang padamu."

Dewa menggertakkan gigi, setengah ingin tertawa, setengah ingin kabur. Tapi ia tetap diam, menunggu sesuatu terjadi.

Lima menit. Sepuluh menit. Hening.

Tak ada yang berubah.

Ketika Ki Jatmiko menarik tangannya, Dewa membuka mata dengan ekspresi hambar. "Udah, Ki?"

Ki Jatmiko menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. "Sudah."

Teman-temannya menahan tawa, beberapa malah cekikikan. "Gimana, Wa? Lihat hantu belum?"

Dewa mendengus, bangkit berdiri. "Ah, paling cuma sugesti doang. Nih liat, gua baik-baik aja."

Bagas mencoba menahan ekspresi seriusnya, tapi sudut bibirnya terangkat. "Sabar, Wa. Nggak selalu langsung kelihatan."

Namun bagi Dewa, semua itu hanya lelucon. Ia menyalakan rokoknya lagi, menghembuskan asap sambil berjalan keluar rumah. "Taruhan kelar. Udah, balik yuk. Besok kita nongkrong lagi."

Ki Jatmiko hanya menatap punggungnya, mata tuanya menyiratkan sesuatu yang tak terbaca.

"Ingat pesanku, Nak," suaranya berat, menggantung di udara. "Jangan pernah menyesal karena membuka mata yang seharusnya tertutup."

Dewa tidak menoleh. Ia hanya terkekeh, menganggap semua itu drama belaka.

Namun malam Bandung terasa lebih dingin dari biasanya ketika mereka meninggalkan rumah tua itu, seakan udara menyimpan sesuatu yang belum siap diungkap.

Dan di balik kaca mobil yang buram oleh embun, Dewa sempat merasa ada bayangan hitam melintas cepat di pinggir jalan. Ia mengedipkan mata, mencoba mengabaikannya.

Ah, paling cuma bayangan pohon.

Dewa tidak tahu bahwa malam itu adalah awal dari segalanya. Segala dari rasa takut yang berlum pernah ia rasakan seumur hidupnya.

Terpopuler

Comments

Miss Typo

Miss Typo

mampir thor 💪

pasti seru cerita horor gini, percaya gak percaya tapi dulu saat dikampung sering lihat yg kayak gituan lah hehe

2025-09-08

1

Deyuni12

Deyuni12

siap Thor
aku mampir nh,moga seru ceritanya
Aamiin

2025-09-08

1

Jelita S

Jelita S

udah mampir thor

2025-09-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!