Tiga Tahun berumah tangga, Amanda merasa bahwa pernikahannya benar-benar bahagia, tapi semua berubah saat ia bertemu Yuni, sahabat lamanya.
Pertemuan dengan Yuni, membawa Amanda pergi ke rumah tempat Yuni tinggal, dimana dia bisa melihat foto pernikahan Yuni yang bersama dengan pria yang Amanda panggil suami.
Ternyata Yuni sudah menikah lima tahun dengan suaminya, hancur, Amanda menyadari bahwa dia ternyata adalah madu dari sahabatnya sendiri, apakah yang akan Amanda lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh
Malam ini mungkin menjadi malam terakhir Amanda bersama suaminya Azka. Dia tak mau lebih lama lagi dibohongi. Tadi sore dia tahu sang suami pergi jalan-jalan dengan putranya Nathan. Dia tak mau mengganggu sehingga bersikap pura-pura tak tahu.
Amanda sadar, jika dia adalah orang ketiga dalam rumah tangga sahabatnya. Walau semua dia lakukan karena ketidak tahuan. Azka yang telah membohongi dirinya. Malam ini ia akan melayani suaminya untuk terakhir kalinya. Akan dibuatnya perpisahan mereka menjadi perpisahan terindah.
Amanda berdiri lama di depan meja makan. Tangannya sibuk menata piring, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Aroma masakan memenuhi ruangan, ayam panggang madu kesukaan Azka, sup jagung hangat, dan tumis sayur sederhana serta dendeng balado. Semua tersaji rapi, seperti malam-malam sebelumnya, tapi malam ini terasa berbeda.
Setiap gerakannya mengandung arti. Pisau yang menyiapkan potongan lemon, sendok yang meratakan saus di atas daging, hingga lipatan serbet di atas piring, semuanya seperti ucapan selamat tinggal yang tak terucap.
“Setidaknya biar dia pulang dengan senyum,” bisik Amanda lirih.
Ketika suara mobil terdengar di luar, jantungnya berdegup pelan tapi pasti. Azka masuk dengan langkah santai, wajahnya tampak lelah tapi tersenyum hangat.
“Wah, wangi banget. Ada acara apa, Sayang?” tanya Azka sambil mencium pipi Amanda. Kali ini dia tak menolak seperti belakangan ini.
Azka jadi tersenyum lega, karena berpikir istrinya sudah tak marah lagi. Ia tampak menarik napas lega.
Amanda hanya tersenyum kecil. “Nggak ada acara apa-apa, Mas. Cuma pengin masak yang enak malam ini. Rasanya sudah cukup lama tak menyiapkan makan malam untuk Mas."
Mereka makan dalam diam. Sesekali Azka memuji masakannya, dan Amanda membalas dengan senyum lembut. Tapi di balik senyum itu, hatinya sudah hancur berkeping. Ia menatap wajah pria di depannya, lelaki yang pernah ia cintai sepenuh hati, sekaligus yang membuatnya merasa paling bodoh di dunia.
Usai makan, Amanda membereskan meja seperti biasa, lalu mendekati suaminya yang sedang duduk di ruang tamu. Ia menatapnya lama, seolah berusaha menghafal setiap garis wajah itu untuk terakhir kalinya.
“Mas ….” Suaranya pelan tapi tegas.
Azka menoleh. “Hmm?”
Amanda tersenyum tipis, lalu menggenggam tangan suaminya. “Malam ini … aku cuma mau jadi istri yang paling Mas cintai. Sekali ini saja. Setelah itu, aku nggak janji besok kita masih seperti ini.”
Azka menatapnya heran, tapi belum sempat bertanya, Amanda sudah lebih dulu menariknya ke kamar.
Malam ini, Amanda bercinta dengan Azka bukan karena berharap, tapi karena ingin mengakhiri. Setiap sentuhan, setiap pelukan, adalah ucapan selamat tinggal yang tidak diucapkan. Tidak ada kemarahan, hanya kepasrahan yang indah sekaligus menyakitkan.
Dan ketika Azka tertidur dengan tenang di sampingnya setelah pergulatan mereka, Amanda memandang wajah itu untuk terakhir kali. Ia mengusap lembut rambut suaminya, menahan air mata yang akhirnya jatuh juga.
“Terima kasih sudah pernah mencintaiku, memanjakan aku, meratukan aku, meski dengan cara yang salah,” bisiknya.
Amanda memandangi wajah suaminya sekali lagi. Pria yang dulu sangat dia cintai, dan kalau boleh jujur hingga detik ini cinta itu masih ada. Karena cintanya yang besar itulah, akhirnya dia memilih mundur. Takut jika terlalu lama bersama membuat ia egois dan tak mau melepaskan padahal Azka bukan miliknya saja.
Aku tidak marah, aku tidak benci, aku hanya ingin jauh. Ingin selesai. Apakah kamu kehilanganku? Tidak. Aku sudah lebih dulu kehilangan kamu. Bukan aku yang meninggalkanmu. Kamu yang membuatku mengambil keputusan ini. Sikapmu menghentikan perjuanganku. Kamu telah begitu lama membohongiku. Aku capek, aku lelah. Percuma, seterang apa pun cahaya yang aku bawa, bila yang ku terangi orang buta, tetap saja tak akan pernah terlihat.
Percuma menjadi pelangi bagi orang buta warna. Aku telah memberimu kesempatan untuk jujur, tapi semakin hari aku melihat kamu semakin larut dengan kebohonganmu. Lebih baik kita berpisah, ini jalan terbaik agar kita tak saling menyakiti lebih dalam. Terima kasih atas semua yang kamu berikan padaku, Mas. Terima kasih atas cinta sekaligus luka yang kau berikan.
Pagi telah menjelang, sinar matahari menembus tirai kamar, jatuh lembut ke wajah Amanda. Ia sudah bangun sejak subuh, menatap Azka yang masih terlelap di sebelahnya. Ada ketenangan di sana, tapi juga perih yang menyelinap pelan.
Ia bangkit perlahan, beranjak ke dapur, menyiapkan kopi dan roti panggang kesukaan suaminya. Semua dilakukan seperti biasa, seolah tak ada yang akan berubah. Saat Azka keluar dari kamar sambil mengucek mata, aroma kopi langsung menyambutnya.
“Pagi, Sayang,” sapa Azka sambil tersenyum kecil.
“Pagi, Mas,” jawab Amanda lembut, menoleh sebentar sebelum menuang kopi ke cangkir.
Azka menatap istrinya yang tampak tenang dan manis pagi itu. Tidak ada lagi nada dingin di suaranya, tidak ada tatapan tajam seperti beberapa hari terakhir. Ia bahkan sempat berpikir, mungkin badai di antara mereka sudah benar-benar berlalu.
“Wah, tumben banget nih, dibuatin sarapan. Kayaknya suasana hati kamu udah membaik, Sayang!” seru Azka sambil duduk di meja makan, mengambil seteguk kopi.
Amanda tersenyum. “Aku pikir … udah saatnya berhenti marah. Capek juga terus ribut sama hal yang nggak pernah selesai. Lagi pula beberapa hari ini aku bukan marah hanya kecewa.”
Azka tertawa kecil, nadanya lega. “Iya, aku juga pengin semuanya balik kayak dulu lagi. Sayang, nanti saat IUD kamu dilepas, kita akan buat anak yang banyak," ucap Azka sambil tersenyum menggoda.
Dia masih terbayang pelayanan Amanda tadi malam. Istrinya kembali bergairah dan melayani dirinya dengan sepenuh hati.
Amanda hanya tersenyum samar. Di dalam hatinya, kata-kata itu terdengar seperti pisau tumpul yang perlahan menyayat. Kayak dulu lagi … Kalimat yang indah, tapi tak mungkin terjadi.
“Eh, kamu nggak siap-siap kerja?” tanya Azka saat melihat Amanda masih mengenakan daster, rambutnya dikuncir seadanya.
Amanda menoleh sebentar, lalu menjawab tenang, “Hari ini aku minta libur, Mas. Mau di rumah aja. Sekalian nyiapin diri untuk makan malam nanti.”
“Aku juga tak sabar ingin makan malam denganmu, Sayang. Rasanya sudah lama kita tak melakukan itu."
Amanda menatap suaminya lama, senyumnya lembut tapi matanya berkaca-kaca. “Aku pengin malam ini spesial, Mas. Biar bisa jadi kenangan buat kita berdua.”
Azka tampak terkejut, tapi kemudian tersenyum hangat. Ia bangkit, memeluk Amanda dari belakang. "Terima kasih, Sayang. Aku pasti akan selalu mengingat kenangan kita.”
Amanda menahan napas. Pelukan itu terasa hangat, tapi juga berat. Ia menatap ke luar jendela, menahan air mata yang hampir jatuh.
“Aku juga pasti akan selalu mengingat kenangan malam ini, Mas," ucap Amanda dengan suara lirih.
supaya adil tdk ada yg tersakiti..
amanda dan yuni berpisah saja..
klo terus bersm yuni hanya amanda yg diikiran azka ..hanya u status nathan..
klo terus dengan amanda..azka melepas yuni merampas nathan..bagai mana perasaan yuni apalagi amanda sahabat nya..
kita mah pembaca nurut aja gimana kak authornya..walau baper gemesh😂😂😂