Shanaya Sanjaya percaya bahwa cinta adalah tentang kesetiaan dan pengorbanan. Ia rela menjadi istri rahasia, menelan hinaan, dan berdiri di balik layar demi Reno Alhadi, pria yang dicintainya sepenuh hati.
Tapi ketika janji-janji manis tersisa tujuh kartu dan pengkhianatan terus mengiris, Shanaya sadar, mencintai tak harus kehilangan harga diri. Ia memilih pergi.
Namun hidup justru mempertemukannya dengan Sadewa Mahardika, pria dingin dan penuh teka-teki yang kini menjadi atasannya.
Akankah luka lama membatasi langkahnya, atau justru membawanya pada cinta yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Sebelum rapat dimulai, Shanaya dan Arya duduk berdampingan di ruang tunggu lantai dua puluh tiga, saling bertukar informasi soal pekerjaan.
"Bu Shanaya pasti sudah tahu, kan, gaya kerjanya Pak Dewa? Mirip bos-bos besar lainnya, beliau punya aturan main sendiri," ujar Arya, nada suaranya ringan tapi serius.
Shanaya mengangguk sambil menarik buku catatan kecil dari tas. Ia membuka halaman pertama, bersiap mencatat, meski tangannya sedikit gemetar. Ini bukan cuma hari pertama kerja—rasanya lebih seperti ujian hidup. Dulu, ia merasa percaya diri sebagai sekretaris andalan. Tapi entah kenapa, di depan Sadewa, semuanya terasa berbeda.
Arya tersenyum kecil, mencoba mencairkan ketegangan. “Tenang aja, Bu. Awalnya memang tegang, tapi lama-lama, polanya bisa dibaca.”
“Pola?” Shanaya mengernyit, penasaran.
Arya mengangguk mantap. “Misalnya, kalau beliau mulai ngetik cepat dan mulutnya rapat, jangan diganggu. Atau kalau lagi melipat tangan sambil pandangin jendela, artinya lagi mikir keras. Jangan potong, jangan ajak ngobrol dulu.”
Shanaya menelan ludah. “Kedengarannya kayak... menjinakkan harimau.”
Arya tertawa pelan. “Lebih ke komodo mutan.”
"Kan bukan aku saja yang bilang kalau dia itu komodo," gumam Shanaya.
"Apa Bu?"
Shanaya menggeleng, lalu tertawa canggung. “Jadi, Pak Arya udah lama kerja bareng Pak Dewa?”
“Jangan ditanya. Satu-satunya orang yang masih waras setelah kerja sama dia, ya aku ini.” Arya menyeringai. “Tapi tenang, sekarang kita partner. Aku bakal bantu semampuku.”
Shanaya tersenyum tulus. “Makasih, Pak Arya. Aku butuh partner yang ngerti medan tempur.”
Arya melirik jam tangannya. “Rapatnya sebentar lagi. Pak Dewa itu anti banget sama keterlambatan. Satu menit pun bisa dihitung dosa.”
Belum sempat Shanaya menanggapi, suara pintu kaca terbuka. Sadewa masuk, tegap dan rapi, jas abu-abunya nyaris tak berkerut. Ekspresinya datar, tapi kehadirannya langsung mengubah atmosfer ruangan. Semua peserta rapat spontan berdiri.
Shanaya ikut berdiri tergesa, memeluk buku catatannya erat seperti pegangan hidup.
Sadewa duduk di kursi utama, membuka laptop, dan melirik singkat ke arah Shanaya.
“Namanya Shanaya Sanjaya, asisten pribadi. Silakan kerja sama seperti biasa.”
Shanaya menunduk sedikit. “Mohon bimbingannya.”
“Duduk,” ucap Sadewa singkat, tanpa basa-basi.
Rapat dimulai. Topik langsung tancap gas, strategi ekspansi pasar baru. Shanaya mencatat cepat, fokus penuh, sesekali melirik Arya untuk memastikan catatannya tidak melenceng.
Tapi di tengah presentasi, mata Sadewa sempat berhenti sejenak padanya. Hanya sekejap, tapi cukup membuat Arya melirik—seolah menangkap ada yang berbeda dari tatapan itu.
Begitu rapat usai dan peserta mulai meninggalkan ruangan, Sadewa tetap duduk.
“Shanaya,” panggilnya tanpa menoleh.
Jantung Shanaya mencelos. “Ya, Pak?”
“Besok ke Bandung. Siapkan semua. Termasuk hasil rapat hari ini.”
Shanaya mengerjap. “Maksudnya... saya ikut, Pak?”
Sadewa menoleh, matanya menusuk. “Menurutmu?”
Shanaya menelan ludah. Gaya komunikasinya padat, singkat, dan bikin otak kerja lembur. Ia belum sempat membalas saat Sadewa berdiri dan keluar dari ruangan, meninggalkan hawa dingin dan tekanan seperti kabut tipis yang menempel di kulit.
Shanaya masih duduk, memutar bolpoin di antara jari-jari, menatap catatannya yang penuh coretan. Napasnya belum stabil.
Arya kembali duduk di sebelahnya, mencondongkan tubuh. “Kamu oke?”
Shanaya mengangguk lemah. “Aku harus siapin semuanya untuk besok... dan aku nggak tahu harus mulai dari mana.”
Arya tersenyum tipis. “Pelan-pelan. Kita mulai dari ringkasan rapat dulu. Mau aku bantu cek ulang?”
Shanaya membuka halaman catatannya dan menunjukkannya. “Menurut kamu, ini cukup nggak? Atau kebanyakan?”
Arya menelaah sejenak. “Yang ini cukup dijadikan subpoin aja. Pak Dewa nggak suka laporan panjang-panjang.”
Shanaya mencorat-coret cepat. “Terus, soal hotel... beliau biasanya prefer yang mana?”
“Yang dekat lokasi meeting dan ada ruang kerja pribadi. Nanti aku kirimin daftarnya.”
Belum sempat Arya mengirim apa pun, langkah berat terdengar lagi. Pintu terbuka sedikit, dan Sadewa berdiri di ambang. Keningnya berkerut.
“Sudah selesai ngobrolnya?” tanyanya tajam, pandangannya langsung ke Arya yang duduk agak dekat dengan Shanaya.
Arya berdiri cepat. “Maaf, Pak. Saya cuma bantu Bu Shanaya siapkan laporan.”
Sadewa menatap tajam. “Senggang, ya?”
Arya menelan ludah, rasanya seperti tertangkap basah sedang menggoda istri bosnya. “Sepertinya saya ada proposal yang perlu saya selesaikan.” Ia buru-buru mundur, bahkan sempat menabrak kursi.
Shanaya memandangnya heran. “Kenapa Pak Arya kabur kayak lihat setan?”
Sadewa menoleh padanya. “Kamu mau jadi asistennya?”
Shanaya menegang. Kalimatnya sederhana, tapi nadanya dingin. “M-maaf, Pak... saya tadi cuma—”
Sadewa mengangkat tangan, memotong. “Senggang? Ke ruangan.”
Shanaya buru-buru mengemasi barang, lalu mengekor dari belakang. Sadewa berjalan cepat, langkahnya panjang-panjang. Shanaya harus setengah berlari mengejar. Dan tentu saja, saat ia menunduk, Sadewa tiba-tiba berhenti—dan...
Duk.
Kening Shanaya membentur punggungnya.
“Ceroboh.”
“Maaf, Pak. Nggak sengaja. Bapak juga, kok bisa ngerem mendadak?”
Sadewa tak menjawab, hanya menunjuk pintu ruang kerjanya. Tanpa sepatah kata pun, ia melangkah masuk. Shanaya buru-buru mengikutinya.
Sadewa tak langsung duduk. Sebaliknya, ia berdiri di depan jendela besar, tangan terlipat di belakang punggung, menatap langit Jakarta yang mulai kelabu.
“Duduk,” ucapnya, tanpa menoleh sedikit pun.
Shanaya menelan ludah. Ia duduk perlahan di kursi depan meja kerja Sadewa, masih memeluk buku catatannya erat, hanya barang itu yang sekarang bisa ia bawa, karena baru datang langsung menjalani pekerjaannya, tanpa ada persiapan apapun.
Beberapa detik hanya diisi oleh dengungan halus pendingin ruangan.
“Nyaman dibimbing Arya?” tanyanya mendadak. Suaranya tenang, tapi dingin. Seperti pisau yang diselipkan rapi di balik formalitas.
Shanaya tersentak. “Bukan begitu, Pak... saya hanya takut membuat kesalahan, jadi saya pikir—”
“Kamu tidak akan belajar kalau terus bergantung pada orang lain,” potongnya tanpa ekspresi.
Shanaya langsung menunduk. “Saya mengerti, Pak. Maaf.”
Sadewa berbalik perlahan, menyilangkan tangan di dada, tatapannya menusuk. Keheningan kembali turun, membuat ruangan terasa lebih sempit dari biasanya.
Akhirnya ia bicara lagi. “Besok kita ke Bandung. Siapkan semua dokumen sebelum malam. Kita berangkat jam lima pagi. Bangunkan saya lima belas menit sebelumnya.”
Shanaya mengerjap, belum sepenuhnya menangkap maksudnya. “Hah, apa?”
“Shanaya, aku tidak suka mengulang perintah,” ucap Sadewa, datar namun tegas.
Shanaya menelan kembali kata-kata yang nyaris keluar. Ia hanya bisa mengepalkan tangannya di pangkuan, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Berhadapan dengan Sadewa rasanya seperti naik roller coaster—tidak ada yang bisa diprediksi, kecuali bahwa ia harus siap menghadapi kejutan berikutnya.
“Baik, Pak. Saya kembali ke ruang kerja saya.”
“Hmm...” gumam Sadewa, nyaris tak terdengar.
Namun sebelum benar-benar melangkah keluar, Shanaya menoleh lagi, ragu. “Tapi… Pak, meja kerja saya… ada di mana?”
Sadewa sempat bergerak, hampir melangkah untuk menunjukkan langsung. Tapi kemudian ia mengurungkan niat, kembali memasang wajah dinginnya.
“Perlu saya yang antar?”
Shanaya langsung gelagapan. “Hah—tidak, Pak! Biar saya tanya ke Pak Arya saja.”
Ia buru-buru bangkit dan keluar dari ruangan, hampir menabrak sisi pintu karena panik.
Begitu pintu menutup, Sadewa mengatupkan rahangnya, wajahnya tetap tanpa ekspresi namun matanya menajam.
“Sadewa, apa yang terjadi padamu…” gumamnya pelan, seperti bicara pada diri sendiri.
knp update nya Arsen buk bgt y🫢🫢🫢
Sadewa JD anak tiri 🤔
itu jodohmu, Shanaya🤭