NovelToon NovelToon
Sillent Treatment Suamiku

Sillent Treatment Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Cinta Terlarang / Beda Usia
Popularitas:622
Nilai: 5
Nama Author: Fay :)

Sinopsis



Ini berawal dari Nara yang dijodohkan oleh Ayahnya dengan laki-laki dewasa, umur mereka terpaut selisih 15 tahun. Dimana saat itu Nara belum siap dari fisik dan batinnya.


Perbedaan pendapat banyak terjadi didalamnya, hanya saja Rama selalu memperlakukan Nara dengan diam (sillent treatment) orang biasa menyebutnya begitu.


Semua permasalahan seperti tak memiliki penyelesaian, finalnya hilang dan seperti tak terjadi apa-apa.


Puncaknya saat Nara kembali bertemu dengan cinta pertamanya, rasanya mulai goyah. Perbandingan antara diamnya Rama dan pedulinya Mahesa sangat kentara jauh.


Rama laki-laki dewasa, hatinya baik, tidak gila perempuan dan selalu memberikan semua keinginan Nara. Tapi hanya satu, Rama tak bisa menjadi suami yang tegas dan tempat yang nyaman untuk berkeluh kesah bagi Nara.


Pertemuan dan waktu mulai mempermainkan hati Nara, akankan takdir berpihak dengan cinta Rama atau mulai terkikis karna masa lalu Nara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fay :), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12— Ketika Diam Menjadi Jarak

Matahari sore menyusup masuk melalui tirai kamar, menciptakan bayangan lembut di lantai. Di ruang tengah, Aiden tertidur di boks kecilnya setelah seharian bermain. Nara duduk di sofa, dan mencatat kebutuhan rumah tangga yang habis. 

   Pernikahan yang sedari awal masih penuh dengan kata hangat dan kenyamanan, kini sudah berjalan lima bulan. Aiden yang semula baru belajar melangkah, kini bisa berjalan tanpa di papah.

   Di dapur, aroma sop ayam rebus perlahan memenuhi rumah, dan suara air yang menetes dari keran terdengar pelan. Semua terasa seperti hari-hari sebelumnya — tenang, hangat, dan penuh kedamaian.

   Namun, sejak tiga hari terakhir, ada yang berbeda dari Rama. Lelaki itu lebih banyak diam dari biasanya. Jika sebelumnya ia selalu menyapa dengan penuh bahagia dan lega di wajahnya, kini ucapan ‘pagi’ terdengar sekilas saja, dan tak lagi ada senyum saat pulang.

   Nara awalnya mengira Rama lelah karena pekerjaan. Tapi setelah dua hari berturut-turut sikap itu tidak berubah, hatinya mulai terusik.

*

*

*

   Sore itu, Rama pulang dengan langkah pelan. Ia melepas sepatu, menggantung jaket, dan langsung masuk ke kamar tanpa menyapa. Nara berdiri di ambang pintu dapur, bingung harus bagaimana. Ia ingin bertanya, tapi takut malah memperkeruh suasana.

   Akhirnya, ia menyusul Rama ke kamar, membawa segelas teh hangat.

   “Mas…” panggilnya pelan, mengetuk pintu kamar yang sedikit terbuka.

   Rama menoleh sekilas dari tempat duduknya. “Hm?” jawabnya singkat.

   “Aku bikinin teh. Kamu capek ya?”

   Rama hanya mengangguk. Ia menerima teh dari tangan Nara tanpa banyak kata. Lalu, kembali menatap lantai tanpa bicara lagi.

   Nara duduk di pinggir ranjang. “Aku ada salah, ya?” tanyanya akhirnya, pelan namun jelas.

   Rama diam. Matanya menatap lurus ke arah lemari. Udara dalam kamar terasa berat.

   “Mas…” Nara menatap suaminya. “Aku bisa ngerti kalau kamu lagi banyak pikiran, tapi… tolong kasih tahu aku. Jangan diam kayak gini. Aku jadi ngeraba-raba sendiri.”

   Rama mendesah. “Aku nggak marah. Aku cuma… butuh waktu sendiri.”

   “Tapi kita udah menikah, Mas. Aku istrimu. Kalau kamu pendam semua sendiri, aku nggak tahu harus bagaimana,” suara Nara sedikit bergetar.

   Rama menatapnya sejenak. Wajahnya lelah, tapi bukan karena marah. “Aku cuma lagi kepikiran kerjaan dan aku nggak suka kalau kamu mulai nyalahin diri sendiri. Bukan salah kamu. Aku cuma… ya begini caraku tenangin diri.”

   “Aku hanya ingin tau apa permasalahan mu Mas, anggap aku disini dan aku merasa dihargai.” Bela Nara meluluhkan hati Rama.

   “Orang yang aku percaya mengatur semua alat berat kabur dan membawa uang yang sudah aku bayar dimuka.” Jelas Rama dengan ekspresi yang begitu kalut.

   Jelas saja, dari banyaknya uang yang keluar harus Rama yang menanggung, menguras banyak tabungannya selama ini.

   “Jadi kamu harus ganti rugi?” Tanya Nara begitu penasaran. 

   “Iya.” Jawabnya lemas.

   Nara mengangguk pelan. Ia paham kini. Kepercayaan yang dibayar dengan kecurangan pasti rasanya bagai dipukul tangan sendirisendiri -yang di percaya, yang menghianati.

   Nara juga merasa berat mendengar banyaknya uang yang harus dikeluarkan Rama untuk menggantinya. Tapi tetap saja, sikap diam Rama membuatnya merasa asing di rumahnya sendiri. 

   “Tapi kenapa kamu nggak cerita dari kemaren Mas, aku merasa gak penting dan baru tau sekarang.” Pinta Nara agar Rama menjelaskan. 

   “Aku gamau kamu kepikiran, apa lagi uang yang keluar itu bukan sedikit.” Jelas Rama berusaha tenang.

   Nara mencoba mengerti dengan keadaan dan juga mengerti sifat suaminya, perlahan Nara banyak belajar dan tak menuntut apa yang suaminya tak bisa lakukan.

*

*

*

   Keesokan harinya, Nara mencoba bersikap seperti biasa. Ia menyiapkan sarapan, menyuapi Aiden, dan menanti Rama duduk di meja makan. Tapi Rama hanya makan sebentar, lalu pamit pergi tanpa banyak bicara.

   “Mas… jangan bawa semua beban sendiri. Aku di sini untuk jadi tempat cerita,” ucap Nara sebelum Rama melangkah ke pintu.

   Rama menoleh sebentar, lalu mengangguk. Tapi tak ada senyum. Tak ada pelukan.

   Setelah pintu tertutup, Nara menghela napas panjang. Ia tahu, suaminya bukan tipe yang mudah membuka diri. Tapi setelah hari-hari manis kemarin, diam Rama kini terasa seperti dinding yang dingin dan sunyi.

*

*

*

   Sore harinya, Nara menelepon Rama. Suaranya ragu.

   “Mas, nanti pulang jam berapa?”

   “Kayaknya malam, aku harus mengurus semua dari awal lagi untuk proyek baru ini,” jawab Rama singkat.

   “Oh… Mau dibungkusin makan malam nggak?”

   “Nggak usah. Makan aja duluan.”

   Klik. Sambungan terputus. Nara menatap layar ponselnya, perih di dada mulai terasa. Ini bukan pertama kalinya Rama memilih diam. Tapi sejak mereka menikah, Nara berharap dinding itu akan runtuh. Ia ingin jadi seseorang yang bisa menjadi tempat singgah Rama, bukan hanya istri yang mengurus rumah.

*

*

*

   Malam itu, Nara duduk di samping boks Aiden yang tertidur. Tangannya mengelus lembut rambut anaknya, tapi pikirannya mengembara. Menunggu kedatangan suami yang tengah di timpa musibah. 

   Tiba-tiba, pintu depan terbuka. Rama pulang. Nara berdiri, menghampirinya di ruang tamu.

   “Udah makan?” tanyanya pelan.

   Rama menggeleng. “Nggak lapar.”

   Nara menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata.

   “Kamu bisa bilang apa aja ke aku, Mas. Aku nggak akan marah. Aku cuma pengin ngerti apa yang kamu rasain. Jangan pasang tembok terus kayak gini. Kita udah janji saling terbuka…”

   Rama menatap Nara. Ada keraguan di matanya. Kemudian ia duduk di sofa, menunduk.

   “Aku… takut bikin kamu kecewa, Nara,” ucapnya akhirnya.

   Nara duduk di sampingnya. “Kecewa kenapa?”

   “Aku tahu aku nggak ekspresif. Aku pendiam. Aku nggak selalu tahu gimana cara bilang ‘aku sayang kamu’. Tapi aku bukannya nggak peduli. Cuma kadang... dunia di kepalaku terlalu ribut. Aku takut kamu nggak tahan nanti.”

   Air mata Nara jatuh. Ia menggenggam tangan Rama.

   “Aku bukan minta kamu berubah total. Aku cuma minta kamu ajak aku masuk ke dunia kamu. Sedikit aja. Aku pengin jadi orang yang kamu percaya, Rama.”

    Rama memejamkan mata. Untuk pertama kalinya, ia menarik tubuh Nara ke dalam pelukannya. Pelan. Hangat.

   “Maaf ya…” bisiknya. “Aku janji akan belajar. Belajar bicara. Belajar cerita. Karena kamu... kamu bukan cuma istri. Kamu rumah buat aku.”

   Nara membalas pelukan itu erat.

 

   Esok paginya, Rama bangun lebih awal. Ia menyiapkan sarapan, dan kali ini, bukan hanya menyeduh teh, tapi juga membuatkan Nara roti isi dan telur dadar.

   Saat Nara turun dari kamar, ia terkejut melihat pemandangan itu.

   “Aku belum jago masak, tapi setidaknya bisa belajar,” ucap Rama sambil tersenyum kecil.

   Nara tertawa pelan. “Rasanya pasti enak. Karena kamu yang buat.”

   Dan pagi itu, mereka duduk bersama. Tak hanya tubuh mereka yang mendekat, tapi juga hati yang mulai belajar lebih saling mengerti.

   Dalam pernikahan, cinta bukan soal kata-kata manis semata. Tapi soal keberanian untuk tetap tinggal saat badai datang, dan kemauan untuk membuka pintu hati saat dunia terasa sempit.

   Dan hari itu, meski dengan langkah pelan, Rama dan Nara mulai belajar menghadapi konflik—bukan sebagai dua orang asing, tapi sebagai dua insan yang saling memilih untuk tetap bersama.

*

*

*

1
L3xi♡
Nangis deh 😭
Fay :): sedih ya kak 😢😢
total 1 replies
pEyt
Jelasin semua dengan detail
Fay :): siap kak.
masih outor amatir, kritik dan sarannya sangat diperlukan.
terima kasih.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!