“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”
Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.
Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.
Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.
Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
ADEGAN: PAGI DI KOTA INGGRIS – MUSIM SEMI
Keesokan paginya, cahaya matahari musim semi yang hangat menyusup pelan di sela-sela tirai kamar hotel tua bergaya Victoria. Cahaya keemasan menari lembut di dinding, menghidupkan ruang itu dengan kehangatan yang tenang.
Risa masih tertidur, nafasnya teratur, wajahnya damai seolah semalam mimpi indah datang menyapanya. Aditya, yang telah bangun lebih dulu, duduk di sisi tempat tidur. Di tangannya, kruk yang kini menjadi teman setia dalam pemulihan kakinya. Ia menatap istrinya dengan kasih yang tak bisa disembunyikan, lalu menyibak helai rambut dari wajah Risa dan menciumnya dengan lembut di kening.
"Ris… bangun yuk. Hari ini aku mau ajak kamu jalan-jalan," ucapnya lirih, hampir seperti berbisik agar tidak mengagetkan.
Risa membuka matanya perlahan. Cahaya pagi membuat matanya menyipit, lalu ia menoleh pelan ke arah suara itu. Ada keterkejutan kecil di sana, campur ragu.
"Jalan-jalan? Tapi... aku—"
Aditya memotongnya dengan suara lembut, penuh ketegasan manis.
"Kita butuh udara segar. Kamu butuh melihat dunia lagi. Dunia yang nggak menghakimi kamu. Dunia yang cinta kamu… sama seperti aku."
Risa terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan. Ada sesuatu di dalam dirinya yang mulai bergerak kembali. Sesuatu yang sempat hilang—harapan.
Ia masuk ke kamar mandi. Suara air mengalir, diselingi hembusan nafas panjang yang terdengar seperti melepaskan beban.
Lima belas menit kemudian, Risa keluar dengan jaket tipis dan syal biru pucat membingkai lehernya. Wajahnya tanpa riasan, namun justru tampak lebih hidup dari sebelumnya.
Mereka berjalan di taman kota yang tenang. Bunga tulip, daffodil, dan sakura liar bermekaran seolah menyambut mereka. Udara pagi sejuk namun bersahabat. Burung-burung kecil terbang rendah, kicauannya riuh namun menyenangkan.
Aditya berjalan perlahan dengan kruk, sementara Risa menggandeng tangannya erat. Tidak bicara banyak, tapi keheningan di antara mereka justru nyaman.
Beberapa orang mengenali Risa. Mereka mendekat, sopan, membawa senyum hangat dan mata yang berbinar.
"Mbak Risa… tulisannya selalu menguatkan kami. Terima kasih ya. Saya baca novel Mbak waktu saya lagi sakit, dan itu bikin saya kuat lagi."
Risa membalas senyum mereka, kali ini lebih tulus dari yang pernah ia rasakan dalam waktu lama. Ada sesuatu yang mencair dalam hatinya.
"Terima kasih, Mas…" ucapnya pelan, lalu ia menatap Aditya dengan mata yang tak lagi redup.
RISA (dalam hati):
Terima kasih… Karena sudah membuat aku percaya lagi. Pada dunia. Pada cinta. Pada diriku sendiri.
Tak lama, suara kecil dari perutnya terdengar. Risa tertawa malu. Aditya menoleh dan ikut tersenyum geli.
"Ris, kamu lapar ya?"
"Iya… kayaknya dari tadi kita keliling taman, aku lupa makan."
"Yuk, kita turun cari makanan. Atau kamu mau aku pesenin room service?"
Risa menggeleng, lalu tersenyum iseng.
"Kalau kamu yang masak, aku lebih suka."
Aditya tertawa. "Aduh, chef-nya masih pakai kruk nih. Tapi demi istri tercinta… akan kuusahakan."
Mereka tertawa bersama. Tawa yang ringan, tulus, bebas dari beban. Risa terlihat lebih hidup. Ada cahaya baru di matanya.
Di balkon kamar mereka, makanan sederhana tersaji: sup hangat, roti panggang, dan teh. Mereka duduk berdampingan, menyaksikan langit senja berubah menjadi malam yang jernih. Bintang-bintang bersinar malu-malu di langit Inggris.
"Aku lupa rasanya bahagia sesederhana ini… makan bareng orang yang aku cinta," ucap Risa pelan.
"Dan aku lupa betapa berharganya melihat kamu tersenyum seperti ini," balas Aditya.
Malam itu, tanpa mereka sadari, adalah titik balik.
---
ADEGAN: BANDARA INTERNASIONAL – SIANG HARI
Beberapa hari kemudian, setelah menikmati bulan madu yang penuh pemulihan jiwa, mereka tiba di bandara internasional tanah air. Risa menggenggam tangan Aditya lebih erat dari biasanya.
Saat melewati pintu kedatangan, kerumunan kecil sudah menunggu. Tak hanya keluarga, tapi juga beberapa wartawan yang mengarahkan kamera dan mikrofon ke arah mereka. Tatapan-tatapan tajam dan penuh rasa ingin tahu segera menyerbu.
Salah satu wartawan dengan tergesa maju, menyodorkan amplop besar. Isinya: foto-foto masa lalu Risa. Foto-foto lama saat SMA, dengan ekspresi kosong dan mata yang memelas. Sebagian besar tampak diambil secara diam-diam—mungkin dari arsip lama yang tak semestinya muncul ke permukaan lagi.
Risa gemetar. Tubuhnya menegang.
"Ini… dari mana mereka dapat ini…?" gumamnya, setengah tidak percaya.
"Siapa yang berani sebar ini?!" seru Aditya dengan wajah menegang, matanya menyala marah.
"Mas… seseorang ingin menghancurkan aku… Aku tahu ini… pasti dari mereka…" suara Risa nyaris tak terdengar, bergetar.
Aditya menggenggam tangan Risa lebih erat. Ia menatapnya, tegas.
"Aku nggak akan diam. Siapa pun yang menyakiti kamu… akan aku lawan."
Stefanus, sahabat Aditya, sudah menunggu di luar. Ia membawa berkas lengkap. Mereka langsung menuju kantor polisi.
Di ruang interogasi yang dingin dan sunyi, Risa duduk di depan penyidik. Tangannya gemetar, tapi suaranya perlahan menjadi stabil.
"Aku nggak ingat wajahnya… Tapi aku ingat jelas… ada tato elang di leher kirinya. Itu yang paling membekas."
"Itu sudah cukup kuat sebagai ciri khas," jawab penyidik. "Kami akan telusuri data kriminal dan registrasi tato. Korban tidak sendiri dalam hal ini."
"Tolong lindungi istri saya," ujar Aditya. "Dia sudah cukup lama menanggung ini sendirian."
Penyidik mengangguk. "Kami akan beri perlindungan sementara dan mulai penyelidikan."
"Aku juga akan bantu dari luar," tambah Stefanus. "Aku punya akses ke jaringan data yang bisa mempercepat proses."
Risa hanya mengangguk. Tapi tatapan matanya kali ini bukan takut—melainkan berani.
---
ADEGAN: DI DEPAN RUMAH – SORE HARI
Mobil mereka berhenti di depan rumah. Sebelum mereka sempat turun, beberapa tetangga sudah berdiri di depan pagar. Membawa bunga, makanan, dan pelukan hangat.
"Risa, kami semua mendukungmu. Kamu perempuan yang sangat kuat."
"Ini buat kamu dan Mas Aditya. Semoga sehat selalu, ya."
"Kalau butuh bantuan, kami siap. Kamu nggak sendiri."
Risa tertegun. Matanya basah.
"Terima kasih… Aku nggak nyangka… kalian semua masih peduli sama aku."
Seorang ibu tua memeluknya erat.
"Apa pun masa lalu kamu, itu bukan salahmu. Kami bangga punya tetangga sekuat kamu."
Risa menatap langit. Kali ini air matanya jatuh tanpa rasa malu. Di dalam hatinya, ada kehangatan yang belum pernah ia rasakan selama bertahun-tahun.
---
ADEGAN: MALAM HARI – RUANG TENGAH
Malam itu, Risa duduk sendirian di ruang tengah. Lampu temaram menyoroti wajahnya yang tenang tapi penuh pikiran. Di pangkuannya, sebuah album foto lama. Ia membelai sampulnya, lalu membuka perlahan, halaman demi halaman. Foto masa kecil, masa remaja, dan satu halaman yang segera membuat nafasnya tertahan—foto seragam SMA. Senyum dipaksakan. Mata yang tak bisa bohong.
"Kenapa semua ini harus terulang? Kenapa masa lalu yang sudah kukubur dalam-dalam harus muncul lagi… saat aku mulai bahagia…" ucap Risa dalam hati.
Langkah kaki terdengar dari arah kamar. Aditya muncul dengan langkah pelan, lalu duduk di samping Risa. Ia menatap istrinya, mengusap punggungnya pelan.
"Ris… kamu ngelamunin apa?"
Risa diam. Kemudian menatap suaminya dan tersenyum—senyum yang lelah.
"Aku cuma… takut, mas. Takut semua ini akan merusak kita."
Aditya menarik napas, lalu menggenggam tangannya erat.
"Aku tahu kamu kuat. Tapi kamu nggak harus menghadapi ini sendiri lagi. Aku di sini… selalu."
Risa menyandarkan kepalanya di bahunya. Tangisnya jatuh tanpa suara, bukan karena ketakutan. Tapi karena rasa syukur. Untuk cinta yang tak luntur. Untuk harapan yang kembali. Untuk sebuah rumah… yang akhirnya terasa benar-benar pulang.
tata bahasanya bagus, enak dibaca
moga happy ending