Melting The Pilots Heart
Suasana kamar rumah sakit itu sunyi. Terlalu sunyi untuk sebuah pagi yang seharusnya membawa harapan.
Risa duduk di sisi ranjang, jari-jarinya menggenggam tangan Kirana yang semakin dingin, semakin lemah.
Di balik wajah yang pucat, Kirana masih menyimpan sisa senyum yang selama ini menjadi cahaya bagi hidup Risa.
“Aditya…” bisik Kirana pelan.
Aditya yang berdiri di sudut ruangan segera melangkah mendekat.
Mata lelaki itu sembab, tetapi ia berusaha tetap tegar.
Sebagai pilot, ia telah menghadapi banyak badai di udara. Namun, badai kali ini ia melihat Kirana yang sedang kritis.
“Kirana, jangan bicara dulu. Istirahat, ya? Dokter bilang—”
“Aku tahu waktuku tidak banyak,” potong Kirana lembut namun pasti.
“Dengar baik-baik… aku ingin kalian menikah.”
Kata-kata itu menggantung di udara. Risa terpaku. Aditya menunduk, seolah dunia runtuh di bawah kakinya.
“Jangan bilang begitu…” Aditya menggeleng, menahan emosi.
“Kita belum menyerah. Kau masih bisa—”
“Tidak, Dit,” Kirana memejamkan mata sebentar, lalu membukanya kembali dengan susah payah.
“Aku ingin kamu dan Risa... bersama. Aku ingin dia dijaga oleh orang yang paling aku percaya.”
“Ka-Kirana…” Risa berbisik, nyaris tak mampu berkata-kata.
Ia menatap Aditya, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia melihat ketidakberdayaan di mata pria itu.
Kirana tersenyum lemah. “Tolong... bahagiakan dia. Jangan biarkan dia sendiri.”
Aditya memejamkan mata, menahan air mata yang sudah tak bisa dibendung lagi. Dan di saat itulah, di bawah langit muram dan doa yang lirih, ia mengangguk.
Hari itu, pernikahan mereka berlangsung dalam sunyi.
Hanya suara penghulu, isak tangis, dan doa yang mengiringi.
Risa mengucap do'a dengan suara bergetar. Aditya memakaikan cincin dengan tangan yang gemetar.
Dan Kirana… menggenggam tangan mereka berdua, lalu menutup mata dengan damai.
Ia pergi dengan senyum, meninggalkan dua hati yang kini diikat oleh janji suci, bukan oleh cinta.
*****
Tiga bulan telah berlalu sejak pernikahan itu. Sejak janji diucap di hadapan Kirana yang perlahan melepas napas terakhirnya.
Sejak hati Risa terikat pada seseorang yang hatinya masih terpenjara oleh masa lalu.
Pagi ini, matahari menyusup malu-malu ke sela jendela dapur.
Risa bangun lebih awal, seperti biasa. Ia memasak dengan penuh perhatian dan menu pagi ini ia memasak nasi goreng sederhana, telur dadar, dan segelas kopi hitam, persis seperti yang Aditya suka.
Meja makan ditata rapi, dua piring, dua cangkir. Seolah ingin meyakinkan diri bahwa rumah ini benar-benar milik mereka berdua, bukan bayangan dari pernikahan yang hampa makna.
Tapi ketika langkah kaki Aditya terdengar di tangga, harapan kecil di dada Risa kembali bergetar.
Mungkin hari ini... mungkin pagi ini dia akan duduk. Mungkin dia akan bicara lebih dari sekadar "terima kasih."
“Selamat pagi,” ucap Risa pelan, mencoba tersenyum.
Aditya berhenti sejenak di ambang pintu dapur. Ia sudah berpakaian lengkap, seragam pilotnya terpasang rapi, wajahnya bersih tapi datar.
Ia melirik meja makan sekilas, lalu kembali pada jam tangannya.
“Maaf, aku harus berangkat lebih awal. Sarapan di bandara saja.”
Suaranya dingin. Pendek. Tak ada senyum. Tak ada pelukan. Tak ada kehangatan seorang suami, meski hanya basa-basi.
Risa hanya mengangguk. Ia sudah hafal reaksi itu. Tapi tetap saja, setiap kali terjadi, rasanya seperti ditinggalkan lagi dan lagi.
Aditya mengambil tasnya, berjalan cepat melewati ruang tamu.
Tak ada ciuman di kening, tak ada pamit yang hangat.
Hanya suara pintu yang tertutup perlahan. Lalu sepi.
Risa menatap kursi di seberangnya. Masih kosong, seperti biasanya.
Lalu ia duduk, menyendok nasi goreng ke piringnya sendiri.
Mengunyah perlahan, menelan lebih banyak kesepian daripada rasa.
Dalam hati ia bertanya, sampai kapan janji akan cukup untuk mempertahankan hubungan yang tak berakar pada cinta?
Namun jauh di dasar hatinya, ia masih menyimpan harapan kecil dimana ia yakin bahwa hati yang beku pun suatu hari bisa mencair.
Langkah kaki Risa menggema di lantai marmer rumah yang terlalu besar untuk hanya satu jiwa.
Setelah Aditya pergi, ia kembali menyapu ruang tamu, merapikan bantal sofa yang tak pernah benar-benar berantakan, dan membuka jendela lebar-lebar seolah berharap angin bisa membawa suara tawa atau apa saja yang bisa mengusir kesunyian.
Rumah ini hadiah pernikahan yang sudah Aditya siapkan untuk Kirana.
Bangunan dua lantai bergaya modern minimalis dengan taman kecil di belakang yang pernah dipenuhi tawa mereka saat masih remaja.
Dulu tempat ini hangat. Penuh obrolan, musik lembut, aroma teh melati.
Kini, semuanya hanya tinggal kenangan yang menggantung di dinding.
"Rumah sebesar ini... hanya ada aku," bisik Risa sambil memeluk tubuhnya sendiri, berdiri di ambang pintu balkon.
Tak ada suara selain kicau burung dan detak jam dinding yang terdengar begitu nyaring dalam keheningan.
Ia berjalan ke kamar yang dulunya adalah kamar tamu, tapi sekarang jadi kamar tidur mereka. Tempat ia dan Aditya tinggal bersama, tapi tak benar-benar hidup bersama.
Risa membuka lemari, melihat barisan seragam pilot Aditya yang tergantung rapi.
Semuanya tertata sempurna, seperti hidup Aditya yang selalu terstruktur.
Tapi tidak dengan perasaannya. Tidak dengan hatinya yang tak pernah terbuka.
Ia menarik napas panjang dan duduk di pinggir ranjang.
Tangannya meraih bingkai foto kecil—foto dirinya, Kirana, dan Aditya, di hari ulang tahun Kirana tahun lalu.
Senyum mereka saat itu tulus. Hangat. Penuh kehidupan. Seolah tidak ada duka yang menunggu di tikungan waktu.
"Aku di sini, Kirana... aku menjaga dia. Tapi kadang aku tak yakin... apakah dia ingin dijaga?"
Risa tak menangis. Air mata sudah terlalu sering jatuh hingga kini hanya tersisa diam.
Ia tahu, cinta tak bisa dipaksakan. Tapi ia juga tahu, ada janji yang tak bisa diingkari.
Dan ia bertekad, meski rumah ini sunyi, dan hatinya sendiri, ia akan tetap bertahan. Untuk Kirana. Untuk janji itu.
Jam menunjukkan pukul sembilan pagi dimana hujan mulai turun perlahan, membungkus rumah itu dengan cahaya temaram yang samar.
Risa duduk di meja makan, menatap layar ponselnya yang sunyi.
Ia sudah mengetik pesan sejak satu jam lalu, namun belum juga ada tanda-tanda balasan.
[Aku mau ke supermarket, ada yang kamu butuhkan?]
Pesan itu sederhana. Biasa. Tapi Risa mengirimkannya bukan hanya untuk bertanya.
Ia ingin komunikasi. Ingin pengakuan. Ingin merasa bahwa dirinya ada dalam kehidupan suaminya—meski hanya lewat satu balasan singkat.
Ponsel berbunyi.
Namun bukan notifikasi balasan dari Aditya. Hanya satu pemberitahuan dari bank tentang transfer dana masuk.
Nominalnya cukup besar. Lebih dari cukup untuk belanja. Tapi hati Risa malah terasa semakin kosong.
Ia menatap layar ponsel itu lama. Lalu meletakkannya pelan di meja.
Yang ia butuhkan bukan uang. Bukan izin. Bukan tanggung jawab suami yang dijalankan seperti kewajiban teknis.
Yang ia harapkan hanyalah... satu balasan.
"Sekadar tanya 'kamu baik-baik saja?' pun cukup," gumamnya lirih.
Ia bangkit, mengambil tas dan kunci mobil. Melangkah keluar dengan langkah pelan.
Angin sore menyambutnya, dan ia tersenyum tipis, walau hanya pada dirinya sendiri.
Risa melirik ke arah garasi sebelum melangkah keluar rumah.
Mobil sedan hitam milik Aditya terparkir rapi di sana—mobil yang dulu juga sering digunakan Kirana saat mereka pergi bersama, sekadar mencari udara segar atau membeli es krim di malam hari.
Kini, setiap kali Risa melihat mobil itu, yang muncul bukan keinginan untuk mengendarainya, melainkan rasa enggan yang membungkus hatinya erat.
“Mobil itu... milik Kirana,” bisiknya pelan, seperti meminta maaf pada kenangan.
Dengan berat hati, ia kembali ke ruang tamu, duduk di ujung sofa, dan membuka aplikasi ojol di ponselnya.
Ia lebih memilih naik ojek online, walau harus menunggu dan berdesakan, daripada menyentuh setir kendaraan yang penuh dengan memori sahabatnya.
Setelah memesan, ia menatap dirinya di cermin dekat pintu.
Wajahnya tampak tenang, tapi matanya lelah. Ia merapikan kerudung, mengambil tas belanja, lalu berdiri tegak, seperti berusaha meyakinkan diri bahwa semuanya baik-baik saja.
Notifikasi masuk—ojeknya sudah tiba.
“Bu, sudah di depan ya,” tulis sang pengemudi.
Risa menarik napas dalam, lalu melangkah keluar rumah, menutup pintu perlahan di belakangnya. Jalanan sore cukup ramai, tapi ia tetap merasa sendiri.
Dan di tengah perjalanan menuju supermarket, ia membiarkan angin menyapu wajahnya, seolah berharap rasa sepi bisa ikut terbawa pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
gojam Mariput
awal yang sedih ...
moga happy ending
2025-05-30
1
kalea rizuky
cerai aja lah ris hidup masih panjang
2025-05-31
0