Kadang, hidup tak memberi pilihan. Ia hanya menaruhmu di satu persimpangan, lalu membiarkan waktu yang menyeretmu ke arah yang tak kau minta. Johan Suhadi adalah lelaki yang kehilangan arah setelah maut merenggut tunangannya. Tapi duka itu bukan akhir—melainkan pintu gerbang menuju rahasia besar yang selama ini terkubur di balik hutan lebat Bukit Barisan. Sebuah video tua. Sepucuk surat yang terlambat dibuka. Dan janji lama yang menuntut ditepati. Dalam pelariannya dari masa lalu, Johan justru menemukan jalannya. Ia membuka aib para pejabat, mengusik mafia yang berlindung di balik jubah kekuasaan, dan menciptakan gelombang kejujuran yang tak bisa dibendung. Bersama sahabat sejatinya dan seorang wanita yang diam-diam menyembuhkan luka jiwanya, Johan menghadapi dunia—bukan untuk menang, tapi untuk benar.
Dari Padang hingga Paris. Dari luka hingga cinta. Dari hidup hingga kematian.
Bukit Takdir bukan kisah tentang menjadi kuat,
tapi tentang memilih benar meski harus hancur.
Karena
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"SD Card Berdarah"
Pagi itu, aroma tumisan yang Johan racik baru matang menyelinap di antara celah-celah dinding rumah sederhana itu. Seolah menyapa pagi dengan kelembutan yang tak kasat mata, membangunkan siapa pun yang masih terbuai dalam mimpi.
Di meja makan, Putri sudah duduk manis, dengan seragam putih abu abu, yang rapi dan rambut dikuncir dua. Gadis bungsu itu tengah bersiap menghadapi hari seperti biasa—hari-hari remaja yang dipenuhi tugas sekolah dan percakapan ringan bersama teman-teman. Sebentar lagi masa kenaikan kelas, dan Putri mulai membicarakan rencananya melanjutkan sekolah—sesuatu yang diam-diam ia banggakan karena tahu betul perjuangan kakaknya untuk itu.
Rumah itu tak besar. Tapi penuh kenangan, penuh kasih yang diam-diam bekerja siang dan malam. Keluarga kecil itu kini hanya terdiri dari Johan—yang diam-diam menua lebih cepat karena tanggung jawab—dan tiga adik yang ia cintai sepenuh napas.
Faisal Fahmi, si anak kedua, kini tengah sibuk dengan dunia ikannya di Bandung. Jarang pulang, tapi Johan tahu, ia sedang membangun masa depan dari kejauhan.
Surya Alif, si anak ketiga, kini menjalani kuliah semester tiga. Masih sering terlambat bangun, masih suka bercanda seenaknya, tapi tetaplah adik yang lembut hatinya.
Dan Putri Berliana, si bungsu, satu-satunya cahaya riang yang setiap pagi mengisi rumah itu dengan tawa dan pertanyaan-pertanyaan polosnya.
"Put, bangunin Surya, ya. Katanya dia ada kuliah pagi. Biar kalian sekalian bareng," ucap Johan sambil mengatur piring-piring di meja makan, gerakannya tenang tapi penuh perhatian.
"Udah, Bang! Tadi Putri udah coba, tapi susah banget bangunnya! Dia tidur kayak mayat!" gerutu Putri, suaranya meninggi tapi wajahnya tetap ceria.
Johan hanya tersenyum kecil, senyum yang tak pernah benar-benar lepas dari wajahnya. “Ya sudah, biar Abang yang bangunin. Kamu bilangin ke Lia, sarapannya udah siap.”
“Siap, Bang!” seru Putri penuh semangat, lalu berlari kecil menuju kamar Liana, gadis asing yang kini mulai terasa seperti bagian dari keluarga.
Tok, tok, tok. Tiga ketukan menghantam pintu kamar Surya, cukup keras untuk memaksa kantuk pergi.
“Sur, bangun. Katanya ada kuliah pagi,” panggil Johan dari balik pintu. Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang menjawab.
Johan menghela napas, lalu merogoh kantong bajunya. Ia mengeluarkan seutas kawat tipis, benda kecil yang biasa ia bawa ke mana pun, warisan pelajaran hidup dari Kalmi—sahabatnya, yang entah bagaimana, telah mengajarkan banyak hal tentang bertahan hidup.
Dengan cekatan, kawat itu ia masukkan ke lubang kunci. Tangannya bergerak tenang, presisi, seperti seorang mekanik yang telah terbiasa mengutak-atik dunia. Klik. Pintu pun terbuka dalam hitungan detik.
“Woi, bangun. Kuliah pagi, kan?” ucapnya sambil menepuk pundak Surya yang masih terbenam di balik selimut.
Surya menggeliat, menguap panjang seperti singa malas. “Wuaaahhh…”
Lalu ia melirik ke arah pintu, matanya setengah terbuka. “Eh, kok Abang bisa masuk sih?”
Johan mengangkat alis. “Gue bobol. Jangan kunci kamar kalau gak bisa bangun pagi.”
Nada suaranya santai, tapi selalu ada ketegasan yang tak bisa dibantah di dalamnya.
Surya hanya menggeleng, pasrah. Ia bangkit perlahan, mengambil handuk, dan berjalan menuju kamar mandi. Tak ada protes. Tak ada gerutu. Karena ia tahu, di balik sikap tegas Johan, ada cinta yang tak pernah dinyatakan dengan kata-kata.
Johan bukan hanya seorang kakak. Ia adalah pelindung, penyambung hidup, dan satu-satunya alasan mereka masih bisa mengejar mimpi. Dan bagi Surya, tak ada hal yang lebih besar dari rasa hormatnya kepada lelaki itu—lelaki yang diam-diam telah menjadi ayah, ibu, dan segalanya.
Setelah semua berkumpul di meja makan, kehangatan pagi itu seperti menemukan bentuknya yang paling utuh. Di antara aroma nasi hangat dan lauk sederhana yang dimasak dengan kasih, duduklah empat jiwa yang saling melengkapi: Johan, Surya, Putri, dan Liana. Tidak ada yang istimewa dari sarapan pagi itu—kecuali cinta diam-diam yang menyatu di setiap sendok yang terangkat.
“Yok, yok. Langsung makan aja,” ucap Johan pelan, nadanya ringan tapi cukup tegas untuk memulai.
Namun Putri buru-buru menegur, “Doa dulu, Bang.”
Johan terdiam sesaat. Ada seulas senyum yang muncul begitu saja di bibirnya. “Iya, maaf. Kali ini Putri yang mimpin, ya.”
Putri tersenyum. Senyum seorang gadis kecil yang mulai tumbuh jadi wanita, tapi masih percaya bahwa setiap rezeki harus dimulai dengan doa. Tangannya ditangkupkan, matanya terpejam rapat, dan suaranya lirih tapi penuh keyakinan:
“Bismillahirrahmanirrahim... Allahumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa wa qinaa ‘adzaa bannaar.”
Artinya: “Ya Allah, berkahilah kami dalam rezeki yang telah Engkau berikan kepada kami dan peliharalah kami dari siksa api neraka.”
"Aamiin," ucap mereka bersamaan, dalam satu tarikan napas yang terasa khusyuk.
Lalu mulailah mereka makan. Suara garpu beradu dengan piring, sesekali diselingi tawa dan gurauan. Pagi itu mungkin seperti pagi-pagi lainnya. Tapi bagi mereka, pagi itu adalah anugerah yang tak bisa dibeli—momen kecil yang diam-diam menyembuhkan banyak luka.
Putri menoleh pada Liana, matanya berbinar. “Kak Lia, nanti malam kita belajar bareng lagi, ya. Seru ternyata belajar sama Kakak.”
Liana tersenyum, senyum yang menyimpan banyak cerita tak terucap. “Iya, Put. Kakak juga masih banyak yang belum ngerti. Nanti kamu yang ajarin, ya.”
Surya mendengus sambil meneguk air putih. “Hus, jangan ngobrol waktu makan. Betul nggak, Bang Jo?” katanya sambil sok-sokan jadi penjaga etika makan.
Johan mengangkat alis, menatap Surya penuh arti. “Kamu juga ngomong, Sur.”
Surya tertawa kecil. “Nah, tuh! Bang Jo juga ngobrol. Jadi siapa yang mau marahin kita?”
Tawa pun pecah. Ringan, sederhana, dan tulus. Tak ada yang bisa menggantikan momen seperti ini. Tidak kekayaan, tidak pula jabatan. Hanya kebersamaan yang membungkus luka dengan tawa.
Setelah sarapan usai, Surya dan Putri pamit. Waktu menunjukkan setengah tujuh pagi. Hari kembali menuntut kesibukan masing-masing.
Sementara itu, Johan berbalik menatap Liana yang masih duduk diam di meja makan.
“Kamu ikut aku, Li? Aku mau ke rumah sakit, tempat Kalmi dirawat. SD card yang kemarin ditemukan di perutnya masih ada di sana. Aku mau cek apakah masih bisa dibaca. Siapa tahu... itu petunjuk besar.”
Liana mengangguk pelan. “Aku ikut, ya. Nanti... boleh aku minta diantar ke makam Broto? Semalam aku mimpi dia lagi.”
Johan memandangnya sejenak, lalu mengangguk. “Oke. Habis dari rumah sakit, kita langsung ke sana.”
Perjalanan ke rumah sakit hanya dua puluh menit. Tapi bagi Liana, perjalanan itu seperti sepotong kontemplasi. Ia duduk diam, menatap keluar jendela. Separuh wajahnya masih dibalut perban, menutupi luka yang belum pulih. Seperti hatinya.
Sesampainya di rumah sakit, mereka segera menuju kamar Kalmi. Di dalam, Kalmi terlihat lebih segar. Desi duduk di sampingnya, mengipasi perlahan.
“Mi, ini gue bawa kamera. Mana SD card-nya?” tanya Johan sambil membuka tas kecil di tangannya.
Kalmi mengambil benda kecil itu dari bawah bantal. “Nih, Jo.”
Johan menerimanya dengan hati-hati. Ia memasukkan SD card itu ke kamera. Sebuah klik terdengar. Tapi layar kamera tak menampilkan gambar apa pun. Hanya pesan dingin:
“Err 02. Card cannot be accessed. Reinsert / change card or format with camera.”
Sejenak, udara di ruangan itu seperti ikut berhenti.
Johan menarik napas panjang, menahan kecewa. “Rusak kayaknya.”
Kalmi mengangkat alis. “Tenang. Gue ada kenalan yang bisa benerin. SD card gue dulu juga pernah rusak, dan dia bisa nyelametin isinya.”
“Serius, Mi? Oke deh, gue langsung bawa sekarang. Sekalian gue nganter Lia ke makam Broto.”
Kalmi tersenyum. “Baik-baik di jalan, Jo. Keep safety first.”
Johan tertawa pendek. “Sok Inggris banget, anjing.”
Kalmi tak kalah usil, menirukan suara anjing dengan gaya dramatis. “Wuk, wuk, wuk.”
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Seorang dokter masuk dengan wajah serius. “Ada yang bawa anjing, ya?” tanyanya tanpa ekspresi.
Desi, Johan, Kalmi, dan Liana langsung menoleh serempak. Tawa yang tadinya ditahan akhirnya pecah juga, memenuhi ruangan dengan kehangatan yang tak biasa.
“Ssstt! Ini rumah sakit, bukan pasar,” tegur dokter itu, tapi senyum kecil di sudut bibirnya tak bisa disembunyikan.
“Maaf, Dok. Mereka memang nggak bisa diam kalau udah ngumpul. Habis ini saya usir, kok,” sahut Desi, berseloroh.
“Berhubung udah diusir, yuk, Li, kita jalan sekarang,” ujar Johan, mengajak Liana yang sudah berdiri di samping pintu.
Langkah mereka meninggalkan ruangan dengan ringan, tapi hati mereka masih membawa bayang-bayang peristiwa yang belum selesai.
Setelah berpamitan pada Desi, Kalmi, dan dokter yang sempat menegur mereka, Johan dan Liana melanjutkan perjalanan menuju makam Broto. Hanya lima belas menit waktu yang dibutuhkan. Tapi di dalam detik-detik yang mengalir itu, ada jarak yang lebih panjang dari sekadar kilometer. Ada kenangan. Ada luka.
Begitu tiba, Liana turun dari mobil dengan langkah pelan, seakan kaki-kakinya berat membawa beban yang tak kasatmata. Makam Broto berdiri hening di ujung pekarangan. Tanahnya masih merah, masih basah. Nisan sederhana berbalut doa.
Johan memilih tetap di mobil. Ia tahu, ada luka yang tak bisa ditemani, hanya bisa disaksikan dari jauh.
"Aku tunggu di sini, ya, Li. Ambil waktu sebanyak yang kamu butuh. Curahkan semuanya," ucap Johan, lirih namun penuh makna.
Liana mengangguk. Tak ada kata, hanya embun yang mulai jatuh dari pelupuk matanya. Langkahnya tertatih menuju pusara, lalu bersimpuh. Di hadapan nisan itu, ia menangis. Bukan karena lemah. Tapi karena mencintai terlalu dalam, hingga dunia tak sanggup memeluknya lagi.
Sementara itu, Johan menunduk di dalam mobil. Ia menghubungi kontak yang diberikan Kalmi, mencari alamat tempat perbaikan SD card. Namun, saat ia melirik ke kaca depan, sorot matanya berubah tajam.
Seorang pria asing duduk di atas motor Ninja, menatap ke arah Liana sambil berbicara di telepon. Gerak-geriknya mencurigakan. Dan seperti yang Johan duga, tak lama kemudian, pria itu turun dari motor dan berjalan pelan menuju arah Liana. Ada yang janggal di matanya. Ada niat jahat di langkahnya.
Johan tak menunggu lebih lama. Ia keluar dari mobil, berlari secepat mungkin.
“Serahkan SD card itu!” bentak pria tersebut sambil mengacungkan sebilah samurai ke arah Liana. Matanya tajam. Nafasnya memburu. Ketegangan menggantung di udara, seperti petir yang belum sempat menyambar.
Johan tertegun. Jantungnya berdebar. Dari mana orang ini tahu? Siapa yang membocorkan informasi?
Namun sebelum Johan sempat bergerak, Liana mengambil tindakan. Dalam posisi jongkok di depan makam Broto, ia menendang kaki pria itu keras dan tepat. Lelaki itu goyah, jatuh. Liana bangkit, dan tanpa ragu, menghantam wajahnya dengan tendangan kedua. Pria itu roboh. Tak sadarkan diri. Lia melakukan gerakan yang diajarkan guru nya, tepat didepan makamnya. Seperti nya Broto tersenyum didalam sana.
Perban di pipi Liana agak terlepas. Tapi ia tetap tegak.
“Luka kamu nggak kenapa-kenapa, Li?” tanya Johan, cemas.
Liana tersenyum tipis, menghapus sisa air mata di wajahnya. “Tenang, Jo. Sudah kering. Sekarang aku lebih siap dari sebelumnya.”
Johan mengangguk. Wajahnya tegang. “Sepertinya kita sudah dibuntuti. Kita harus segera pergi sebelum ada yang datang lagi.”
“Ya. Ayo,” jawab Liana, singkat namun tegas.
Mereka meninggalkan pekuburan itu. Dalam diam, dalam gelisah. Tapi juga dalam keberanian yang kian menguat. Mobil Johan melaju menuju toko tempat SD card akan diperbaiki. Ia tak tahu apa yang akan ditemukan, tapi ia tahu: ini langkah penting.
Setibanya di sana, mereka disambut pemilik toko—seorang pria paruh baya dengan kacamata bulat dan mata yang menyimpan pengalaman. Johan menjelaskan kondisi kartu memori itu, dan si pria mulai bekerja. Pelan, teliti, seolah sedang merakit masa depan dari serpihan yang nyaris hilang.
Sementara itu, Johan dan Liana duduk di sudut toko. Tak banyak bicara. Tapi pikiran mereka penuh. Mereka tahu, di dalam kartu kecil itu, mungkin tersembunyi kebenaran yang selama ini tertutup kabut.
Beberapa saat kemudian, pemilik toko datang membawa kabar baik. “Kartu ini rusak. Tapi saya berhasil menyelamatkan sebagian besar datanya,” ucapnya, menyerahkan hasilnya.
Johan segera membuka laptop. Jemarinya bergetar saat membuka folder demi folder. Dan… muncullah beberapa video, foto, dan rekaman yang terekam di hari-hari terakhir. Sorot matanya berbinar, namun ia tak membiarkan emosi menguasa.
Ia menyalin semua file ke laptopnya. Ia kirimkan ke email-nya sendiri. Ke email Kalmi. Ke semua tempat aman yang bisa ia pikirkan.
"Ini... bukti penting, Li," ucap Johan dengan suara berat. "Mulai sekarang, kita harus lebih hati-hati."
Liana menatapnya dalam-dalam. "Aku tahu, Jo. Tapi aku juga tahu… kita tidak akan mundur."
Hari itu, mereka meninggalkan toko dengan kepala tegak. Tapi di dalam hati, mereka sadar—ini baru permulaan. Jalan keadilan panjang, gelap, dan penuh duri. Tapi mereka siap berjalan.
Apa pun yang terjadi setelah ini, mereka akan tetap melangkah.
Karena beberapa luka tidak untuk disembuhkan. Tapi untuk diperjuangkan.