"Oke. Dua Cinnamon Pumpkin Chai latte," jawab gue sambil mencatat di kasir. Gue perhatikan dia. "Kalau mau sekalian nambah satu, gue kasih gratis, deh!"
"Lo kira gue butuh belas kasihan lo?" Nada suaranya ... gila, ketus banget.
Gue sempat bengong.
"Bukan gitu. Lo, kan tetangga. Gue juga naruh kupon gratis buat semua toko di jalan ini, ya sekalian aja," jelas gue santai.
"Gue enggak mau minuman gratis. Skip aja!!"
Ya ampun, ribet banget hidup ini cowok?
"Ya udah, bebas," balas gue sambil mengangkat alis, cuek saja. Yang penting niat baik sudah gue keluarkan, terserah dia kalau mau resek. "Mau pakai kupon gratis buat salah satu ini, enggak?"
"Gue bayar dua-duanya!"
Oke, keras kepala.
"Seratus sebelas ribu," sahut gue sambil sodorkan tangan.
Dia malah lempar duit ke meja. Mungkin jijik kalau sampai menyentuh tangan gue.
Masalah dia apa, sih?
────୨ৎ────
Dear, Batari Season IV
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benci Ailsa Batari
Pokoknya gue enggak mau balik ke cafe itu lagi. Gue benar-benar jadi bajingan waktu itu, dan mending tetap seperti itu.
Keluarga Batari sudah bikin gue sama Hazerrie susah, dan gue malas banget berurusan sama mereka lagi. Walaupun mungkin Ailsa enggak tahu apa yang terjadi, tapi dia tetap saja bagian dari keluarga itu.
Gue kaget waktu dia tersinggung gara-gara sikap kasar gue, walaupun dia sok santai. Gue memang enggak pernah ramah ke dia atau siapa pun dari keluarganya. Tapi gue juga enggak mau balik ke sana dan terlihat bego lagi.
Gue mengeluh, soalnya gue enggak pernah bisa menolak permintaan Mama sama Nenek.
Gue: Tapi Nauru enggak mau beli Teh Labu atau apalah itu. Malas ke sana lagi.
^^^Mama: Berenti lebay deh. Kamu udah hampir seminggu enggak ke sana. Mama yang lahirin kamu, ingat? Mama berhak dapet Chai Latte Labu dari kamu. Sumpah deh, kayaknya ada sesuatu di minuman itu. Bisa enggak kamu tanyain dia, ada bubuk kayu manisnya atau enggak? Kalau Mama tahu bahannya, bisa Mama bikin sendiri di rumah.^^^
Ya, ampun.
Itu berarti gue harus ngobrol sama dia.
Dan gue ragu banget dia masih mau ngomong sama gue setelah terakhir kali gue ke sana.
Gue: Mama masih inget kan, keluarga Batari pernah ngerusak hidup Nauru sama Hazerrie? Duh, Mama nih.
^^^Mama: Ailsa Batari masih kecil waktu itu, dia enggak salah apa-apa. Mama ngajarin kamu lebih baik dari ini, Nauru. Toh kita juga enggak tahu orang tuanya tahu soal kejadian itu atau enggak. Kalau dibalik, kamu mau enggak disalahin buat kesalahan Papa kamu? Udah deh, ambil itu Latte Labu dan stop drama. Cari tahu, apa aja rahasia di minuman itu, buat Mama.^^^
Gue pakai jaket terus pergi, gym sudah kosong tinggal Jamed yang lagi mengepel lantai.
"Mau pulang?" tanya dia.
"Iya. Sampai ketemu besok."
"Eh, Nauru," panggil dia lagi.
Gue balik badan. "Apaan?"
"Cuma ada satu cara buat ngalahin tukang bully, lo tahu, kan?"
Gue senyum, sudah bisa tebak dia bakal ngomong apa, tapi tetap saja senang meledek dia. "Diamin aja?"
Dia tertawa, suaranya menggema di gym. "Enggak. Tonjok aja muka brengseknya."
Gue geleng-geleng kepala terus angkat tangan. "Gue pikir-pikir dulu, deh."
Gue memang ingin menghajar Rahardian, tapi gue juga tahu, berantem sudah bukan tujuan gue lagi.
Sekarang fokus gue, properti dan investasi. Duit besar bisa bantu bangun bisnis, bantu keluarga, dan menjamin masa depan gue.
Gue tahu kalau latihan keras, mungkin gue bisa survive dari amukannya Rahardian. Postur, kelincahan, dan umur ada di pihak gue.
Rahardian itu pendek, enggak terlalu teknikal, tapi dia punya hook kanan yang mematikan. Kadang kayak kartu joker, sering bikin lawannya KO dalam sekejap. Dan yang gue salut, dia kuat banget, sering kena hajar keras, tapi tetap bisa bangkit lagi.
Gue keluar, cuma ada butiran hujan jatuh dari langit. Mama sudah tahu kalau hujan bakal makin deras. Dia, kan seumur hidup tinggal di Royale Blossom.
Gue jalan ke pintu sebelah, buka pintu, dan menemukan Ailsa di belakang kasir. Tempatnya hampir kosong, sebentar lagi juga tutup.
Dia melihat ke atas, mata birunya langsung mengunci ke mata gue. Dia punya beberapa bintik di hidung, rambut cokelat jatuh rapi ke bahu, sama bibirnya, seksi, sih. Sayangnya, dia seorang Batari.
Dia enggak menyapa gue. Cuma mengangkat satu alis, menunggu gue melakukan hal bego lagi.
Gue berdehem waktu mendekati meja. "Bisa pesan dua Chai Latte labu, take away?"
Dia memperhatikan gue sebentar sebelum memasukan pesanan di bill. "Seratus sebelas ribu."
Kali ini, gue taruh duit langsung di tangan dia, bukan di meja lagi. Dia masukkan duit ke kasir, terus mulai bikin minuman.
Gue garuk tengkuk, tahu banget kalau dia benci sama gue. Dan jujur saja, dia punya alasan kuat buat cuek sama gue. Gue mending diam, soalnya ngobrol sama Batari itu biasanya berakhir buruk.
"Boleh nanya enggak, ini minuman isinya apa?"
"Lo kira gue mau ngeracunin lo, Nauru?" suaranya datar, dan entah kenapa, gue malah suka dia enggak jaim.
"Gue ragu ... Lihat tuh baju tahanan yang lo pakai, lo kayaknya bukan orang baik-baik," celetuk gue. Langsung menyesal.
"Jelas lo enggak tahu kalau oranye warna favorit gue." Dia senyum. Sial, senyumnya bikin otak gue nge-lag.
"Oranye tuh warna baju tahanan, atau baju tukang sampah." Gue sandarkan badan di meja saat dia memutar badan buat menuangkan air panas.
Pandangan gue otomatis mengikuti lekuk tubuhnya ....
Stop.
Sudah lama gue enggak stress release, jelas gue butuh cewek. Malam ini kayaknya gue harus mampir ke Bar.
Dia balik badan, bibirnya mencibir sedikit. "Lo jangan sok tahu."
Sindiran itu kena, banget di hati gue. Dia sadar gue bersikap begini karena keluarganya. Tapi dia mungkin enggak tahu separah apa kejadian dulu.
Gue enggak benci mereka karena kaya, tapi karena mereka pembohong dan berengsek. Bukan berarti Ailsa juga seperti mereka, tapi tetap saja, dia keluarga mereka.
"Oke. Warna favorit lo oranye. Gue catat. Sekarang, kasih tahu dong, apaan rahasianya minuman ini? Mama gue terus-terusan nanya."
Dia taruh gelas di depan gue, kasih senyum kecil.
"Lo mau gue kasih tahu semua rahasia gue, padahal kemarin lo bersikap kayak bajingan di sini?"
"Iya, emang."
"Oke, setidaknya lo akuin."
"Gue enggak suka ngelak."
Tatapannya langsung menancap, "Tapi gue juga enggak suka diperlakuin kayak sampah. Lo bahkan enggak kenal gue."
"Gue tahu banyak."
"Tapi lo tetap balik ke sini buat kedua kalinya, dan nanyain hal yang lo enggak tahu."
Dia menyilangkan tangan di dada, otomatis mengangkat dikit belahan dadanya.
Sweater oranye itu enggak ketat, tapi cukup buat bikin gue sadar, kalau dia lagi enggak pakai bra.
Gue paksa mata buat balik ke wajahnya.
Otak gue sudah mengacau.
Gue butuh pelepasan.
Sial.
"Gue ke sini karena Mama sama Nenek enggak berhenti spam gue."
"Oke. Gini aja ... kalau lo balik lagi dan bisa ngurangin sikap sok lo itu, gue kasih tahu bahannya. Atau, suruh Mama lo telepon ke sini."
"Serius?"
"Apa gue kelihatan bercanda?" Dia angkat satu alis, lidahnya menahan di pipi.
"Jadi lo benaran enggak bakal kasih tahu?"
Dia cuma menyatukan jempol sama telunjuk, terus bergerak mengunci bibirnya.
Bibirnya merah muda, terlihat lembut banget, bikin gue memikirkan hal-hal konyol.
Sial.
Gue buru-buru ambil pesanan gue, sempat melirik dadanya sebentar, lalu kabur keluar.
Gue keluar dari situ tanpa tahu resep minuman itu, ditambah nafsu pula. Sekarang gue benar-benar lebih membenci Ailsa Batari daripada saat pertama masuk tadi.
"Konyol banget lo," gumam gue sebelum memutar badan dan buka pintu.
"Bukan gitu caranya dapetin resep gue, Tuan Nauru," katanya di belakang.
"Jangan ngarep," dengus gue sambil keluar.
Mood gue?
Hancur.
Mama harus telepon sendiri kalau mau dapat resep itu.
Gue?
Gue enggak bakal balik ke situ lagi, titik.
sampe Nauru akhirnya mau minuman gratis di cafe Ailsa 🤭
walau di cerita awal, Caspian itu adiknya tapi disini jd kakaknya, gpplah. mohon lanjutannya Thor 🙏🙏🙏🙏