Edward terkejut saat istrinya yang hilang ingatan tiba-tiba mengajukan gugatan cerai kepadanya.
Perempuan yang selama empat tahun ini selalu menjadikan Edward prioritas, kini berubah menjadi sosok yang benar-benar cuek terhadap apapun urusan Edward.
Perempuan itu bahkan tak peduli lagi meski Edward membawa mantan kekasihnya pulang ke rumah. Padahal, dulunya sang istri selalu mengancam akan bunuh diri jika Edward ketahuan sedang bersama mantan kekasihnya itu.
Semua kini terasa berbeda. Dan, Edward baru menyadari bahwa cintanya ternyata perlahan telah tumbuh terhadap sang istri ketika perempuan itu kini hampir lepas dari genggaman.
Kini, sanggupkah Edward mempertahankan sang istri ketika cinta masa kecil perempuan itu juga turut ikut campur dalam kehidupan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perhatian kecil
Usai memarkirkan mobil di depan rumah, Edward langsung menggendong Silva masuk ke dalam kamar. Dibaringkannya perempuan itu ke atas tempat tidur dengan hati-hati.
Kemudian, Edward memasangkan selimut untuk menutupi tubuh wanita itu hingga bagian dada.
"Istirahatlah! Aku mau kembali ke rumah sakit dulu."
Edward mengusap puncak kepala Silva lalu berdiri hendak pergi dari sana.
"Ed, jangan pergi!" cegah Silva. Dia tiba-tiba bangun kemudian memeluk lengan kiri Edward dengan erat.
"Tapi, aku sudah janji ke Nana kalau aku akan kembali ke rumah sakit untuk menemaninya, Sil."
"Tapi, kepalaku pusing sekali, Ed," ujar Silva beralasan. "Kamu di sini saja, ya! Toh, Nana juga sudah ada yang menemani."
Silva sengaja memegang kepalanya sambil berakting menahan rasa sakit.
"Berbaringlah!" Edward membantu Silva untuk merebahkan kepalanya diatas bantal.
Dan, perempuan itu tentu saja tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Dia langsung mengalungkan lengannya di leher pria itu dengan erat.
"Sil, lepas! Apa yang kamu lakukan?"
"Tolong jangan pergi! Kamu tahu kalau aku takut sendirian, kan?"
Air mata Silva mulai menetes. Ia menangis dengan ekspresi yang benar-benar menyedihkan.
Dan, seperti biasa, Edward pasti akan langsung luluh jika Silva menunjukkan sisi lemahnya.
"Baiklah. Aku nggak akan kemana-mana. Aku akan temani kamu di sini," ujar Edward yang akhirnya mengalah.
Mendengar keputusan Edward, Silva langsung tersenyum lebar. Ia memeluk pria itu erat-erat. Sementara, Edward sendiri diam-diam mengirimkan pesan kepada Nana.
Edward yakin, Nana pasti akan mengerti.
[Na, kondisi Silva sedang nggak baik-baik saja. Dia nggak bisa ditinggal. Jadi, aku nggak bisa kembali ke rumah sakit untuk menemani kamu. Kamu sama Rossa dulu, ya! Besok, aku janji akan temani kamu selama 24 jam penuh.]
Terkirim.
*
Ting!
Kening Nana tampak berkerut saat mendengar bunyi dari ponselnya. Dia yang sedang berbincang ringan bersama Dylan dan Rossa sontak mengecek pesan yang masuk.
Seketika, Nana langsung tersenyum miring saat membaca pesan yang dikirimkan oleh Edward.
"Pesan dari siapa, Na?" tanya Rossa.
"Dari Edward," jawab Nana.
"Dia bilang apa?"
Nana lalu menunjukkan isi pesan Edward kepada sang sahabat.
"See? Dia beneran nggak balik ke sini, kan?"
Rossa menggeram kesal. Ternyata, Edward tidak serius dalam memperjuangkan Nana. Tetap saja, Edward menempatkan Nana di prioritas kedua setelah Silva.
"Gimana proses perceraian kamu, Na? Apa sudah ada kemajuan?" tanya Rossa kemudian.
"Mungkin, surat panggilan sidang sebentar lagi akan datang."
"Aku sudah nggak sabar untuk melihat laki-laki plin-plan itu menangis, Na."
"Aku juga," sahut Nana tersenyum.
Nana tidak berharap bahwa Edward akan menangis karena kehilangan dirinya. Namun, Edward pasti akan menangis karena pria itu akan kehilangan banyak uang setelah bercerai dengan Nana.
"Na, apa kamu lapar? Mau aku pesankan sesuatu?" tanya Dylan.
"Aku mau cake stroberi dari Heaven's Cake," jawab Nana.
"Oke. Aku pesan sekarang."
Pria itu melangkah sedikit menjauh dari Nana dan Rossa. Ia menelepon sang asisten pribadi untuk membelikan apa yang Nana minta.
"Ekhem!" Rossa berdehem sambil menyenggol lengan sang sahabat.
"Belum cerai saja, sudah ada yang perhatian. Gimana kalau sudah cerai? Pasti, yang antri mau jadi pacar kamu jauh lebih banyak, Na," bisik Rossa ditelinga Nana.
Mata Nana langsung mendelik. Dia mencubit perut Rossa hingga sang sahabat langsung meringis kesakitan.
"Sakit, Na!" protes Rossa.
"Jangan bicara sembarangan, Ros! Aku dan Dylan cuma sahabat masa kecil."
"Jangan bohong!" sahut Rossa. "Aku tahu kalau diantara kalian ada cerita yang belum selesai. Jujur saja! Dylan cinta pertama kamu, kan?"
"Rossa!" Mata Nana melotot. Dia memperingatkan Rossa untuk berhenti menggodanya.
"Apa, Na?" sahut Rossa tertawa. "Kalau aku jadi kamu sih, pasti Dylan sudah ku pepet. Secara, dia jauh lebih tampan dan muda dibanding Edward. Belum lagi, dia juga putra tunggal dari salah satu orang terkaya di negara kita."
Nana kehilangan kata-kata. Mendadak, pipinya memerah karena merasa malu. Sepasang matanya tampak memperhatikan wajah Dylan yang masih fokus menelepon dengan seksama.
Ya, sahabat masa kecilnya itu memang sangat tampan. Selain itu, Dylan memiliki kepribadian yang begitu hangat dan baik.
Memang sulit bagi setiap wanita untuk menahan diri agar tak jatuh cinta pada putra mahkota keluarga Ferrel tersebut.
Tiba-tiba, terbersit sebuah pertanyaan dalam benak Nana.
Andai dulu Dylan tidak pindah ke luar negeri, akankah kisah mereka akan berbeda?