WARNING❗
CERITA INI BUAT YANG MAU-MAU SAJA.
TIDAK WAJIB BACA JUGA BILA TAK SUKA.
⚠️⚠️⚠️
Setelah hampir satu tahun menjalani pernikahan, Leon baru tahu jika selama ini sang istri tak pernah menginginkan hadirnya anak diantara mereka.
Pilihan Agnes untuk childfree membuat hubungannya dengan sang suami semakin renggang dari hari ke hari.
Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Debby, sahabat Leon yang sekian lama menaruh rasa yang tak biasa pada Leon.
Badai perpisahan pun tak bisa mereka hindari.
Tapi, bagaimana jika beberapa tahun kemudian, semesta membuat mereka kembali berada di bawah langit yang sama?
Bagaimana reaksi Leon ketika tahu bahwa setelah berpisah dari istrinya, Leon tak hanya bergelar duda, tapi juga seorang ayah?
Sementara keadaan tak lagi sama seperti dulu.
"Tega kamu menyembunyikan keberadaan anakku, Nes." -Leonardo Alexander-
"Aku tak pernah bermaksud menyembunyikannya, tapi ... " -Leony Agnes-
"Mom, where's my dad?" -Alvaro Xzander-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Untuk Calon Istriku
#23
“Aku sedang dalam proses memesan sebuah rumah ke agen properti, dan bila nanti rumah itu siap, pindahlah ke sana Bersama Mama dan Al.”
“Batalkan saja niatmu,” ujar Agnes menanggapi keinginan Leon.
“T-tapi kenapa?”
“Dengar ya, Tuan Leon, Aku sangat bersyukur karena kamu terus berusaha mendekati Al, juga memperhatikannya sesuai kapasitasmu sebagai ayah kandungnya. Tapi rumah— aku rasa Al belum membutuhkannya.” Agnes menggelengkan kepalanya.
“Jelas dia butuh, dan aku ingin memberikannya sejak sekarang. Aku tak akan mempermasalahkan walau kamu dan Mama tinggal di sana, karena selama ini kalian lah yang merawat dan membesarkan Al.”
Leon pun tak mau jika Agnes menolak pemberiannya begitu saja, karena secara hukum, rumah itu untuk Al.
“Al, masih terlalu kecil, dia belum paham soal jatah warisan. Seperti kataku tadi, kita fokus dulu memikirkan cara memberitahukan pada Al tentang siapa dirimu.”
“Ini bukan warisan, ini bentuk nafkah yang berhak ia dapatkan dariku. Nafkah yang sudah seharusnya ia dapatkan dariku jika kamu tak menyembunyikan Al dariku!”
Tiba-tiba Leon merasakan ledakan emosi, hingga ia menaikkan intonasi suaranya. Mau tak mau kalimat itu kembali melukai Agnes, teringat bagaimana dulu ia selalu berhadapan dengan Debby setiap kali menelepon Leon.
“Sudah kubilang aku tak bermaksud menyembunyikan keberadaan Al darimu, sejak awal!” Agnes menegaskan.
Leon tersenyum miring, “Oh, iya. Mana buktinya, sementara meneleponku pun tidak pernah kamu lakukan.”
“Begitu, ya?” gumam Agnes dengan senyum pahit, “sudah pernah mencoba mengembalikan semua data-data, riwayat panggilan dan pesan, di ponsel lamamu? Aku yakin jika kamu lakukan itu, kamu akan tahu betapa keras usahaku untuk memberitahumu.”
Leon kembali tertawa sumbang, siapa yang percaya sementara ponsel tak pernah jauh dari jangkauannya, kecuali saat itu—
Saat ia sedang berada di titik paling rendah dalam perjalanan hidupnya, saat ia merasa semua yang ada di sekitarnya tak lagi berharga.
“Aku yakin itu hanya alasanmu saja,” tampik Leon.
Agnes berdiri dari tempatnya, wajahnya merah padam, menahan sakit dan rasa cemburu yang ia tahan sejak dulu. “Aku sudah menduga kamu tak akan mudah percaya begitu saja, sejak dulu pun begitu. Kamu selalu menganggap aku membual, aku yang membohongimu, aku menyembunyikan anakmu, dan aku yang selalu kalian sisihkan!” balas Agnes marah.
“Membual? Berbohong? Menyisihkan? Apa maksud semua itu? Aku tak per—”
“Cukup, Leon!” sela Agnes kembali geram, Leon mengelak dari semua itu, dan itu berarti segalanya bagi Agnes. Hidup Leon masih terikat pada Debby, karena itulah, semua hal yang ia katakan tak akan pernah dipercayai oleh pria itu.
“Jadi hanya segitu saja? Hanya sebesar itu saja arti keberadaanku di sisimu.” Agnes tersenyum pahit dibalik tangis yang coba ia sembunyikan. “Aku sudah mencoba jujur, tapi kamu menampik. Jadi semuanya terserah padamu!”
Dengan perasaan yang masih terselubung emosi, Agnes membuka tas dan meletakkan selembar uang merah di sana. Tak perlu menunggu dan juga Agnes tak perlu pamit, ia pergi begitu saja meninggalkan Leon yang masih sibuk mencerna setiap ucapannya.
Agnes melangkah pergi, “Nes! Nes!” seru Leon, pria bergegas mengejar Agnes namun dihalangi oleh petugas kafe karena pesanannya belum dibayar.
Leon mengeluarkan beberapa lembar uang merah cadangan yang ada di dompetnya. Sayangnya ia sudah terlambat, karena Agnes sudah berlalu pergi menaiki taksi yang kebetulan lewat di depan kafe.
“Haish!” Geram Leon, belum tahu lagi apa yang akan ia lakukan ke depan agar setidaknya hubungan mereka akan baik-baik saja kendati tak ada ikatan pernikahan.
“Bagaimana caranya agar kita bisa seperti dulu lagi, Yang. Kupikir perasaanku mulai kebal pada rasa sakit ini, kupikir tak apa jika kita dekat seperti teman dan kita tetap bisa membesarkan Al bersama-sama.”
Kedua mata Leon mulai berembun, dadanya terasa nyeri ketika membayangkan kemungkinan Agnes menjadi istri pria lain. Tapi mendekatinya sambil berharap wanita itu menjadi istrinya lagi, ternyata jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan menjelajahi luasnya samudera atlantik.
“Ternyata aku salah, aku masih serakah ingin memilikimu untuk diriku sendiri.”
***
Dalam perjalanan pulang, Agnes terus menggerutu seorang diri. “Laki-laki itu, benar-benar membuat darahku mendidih. Apakah secara alami dia memang diciptakan tanpa kepekaan? Bisa-bisanya dia bertanya begitu, apa dia tak pernah memeriksa riwayat panggilan teleponnya?”
“Aku juga mengirimkan spam pesan, alih-alih membacanya, ia justru memblokir nomorku. benar-benar—” Agnes tersenyum miris.
Taksi yang ditumpangi Agnes berhenti di depan rumah, dan ia dikejutkan dengan keberadaan seorang kurir yang sedang mengantarkan barang. “Aku tidak memesan apa-apa, kenapa ada barang yang datang?”
Agnes menggumam sambil terus melangkah masuk ke halaman rumahnya, “Terima kasih, Mas.”
“Sama-sama, Ibu. Mari—”
Kurir itu bergegas pergi meninggalkan rumah Agnes, “Mama habis belanja?” Tanya Agnes penasaran.
“Tidak, semua paket ini buat kamu. Lihat tertulis namamu di sini.”
Mama Wina menunjukkan nama Agnes yang tertera di label pengiriman.
Agnes mengerutkan keningnya, ia heran dengan kedatangan paket misterius tersebut, dan jumlahnya lebih dari 5 bungkusan.
“Dari Rama.”
Mama Wina menunjukkan kertas yang tertera nama pengirimnya. “Hubungi dia, katakan kamu sudah menerima kiriman darinya.”
Namun, belum sempat Agnes mengeluarkan ponsel, Rama lebih dahulu menghubunginya. “Halo, Mas.”
“Hai— sudah terima kiriman dariku?”
“Sudah, Mas. Tapi— apa semua ini? Kenapa banyak sekali?”
Rama tersenyum dari tempatnya, “Hmm, Entah, aku pun tak tahu, itu semua Ibu yang menyiapkan. Katanya untuk persiapan lamaran, semoga kamu dan Mama Wina menyukainya.
“Maaf, Mas, aku dan Mama pasti sudah membuatmu repot. Padahal aku bisa membelinya dengan uangku sendiri.” gumam Agnes sambil memainkan kuku di jemari tangannya.
“Itu untuk calon istriku, tak repot sama sekali. Sudah saatnya kamu menemukan tempat bersandar, dan berhentilah membuat dirimu setegar batu karang.”
###
Weeeess, Rival kembali terdepan 🏃🏻♂️➡️🏃🏻♂️➡️🏃🏻♂️➡️🏃🏻♂️➡️
Kalo sudah begini, Masih pada ngomong dalam hati lagi!? 😤
ikutan perih ei.....
Apa Leon baru tersadar jika Agnes duduk di pelaminan sama Rama
kasihan kali kau leon, gak tahu apa-apa tapi seolah semua kesalahan tertimpa padamu... kamu yg ditinggalkan, ditolak, dan harus menanggung rasa sakit sendirian... huhuhu, sakit sakit sakitnya tuh di sini... kezaaaammm kezaaaammm, othor tega bikin ibu menangisss😭