NovelToon NovelToon
Love, On Pause

Love, On Pause

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:385
Nilai: 5
Nama Author: Nisa Amara

Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.

update setiap hari (kalo gak ada halangan)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

25

Waktu berjalan begitu cepat. Semua persiapan dilakukan terburu-buru namun tetap rapi, hingga tanpa mereka sadari… hari itu akhirnya tiba.

Devan berdiri di tengah altar. Tangannya mengepal pelan, berusaha menenangkan dirinya, sementara jantungnya berdegup begitu kencang. Sejak semalam ia tidak bisa tidur. Rasa gugup dan antusias bercampur jadi satu, memenuhi dadanya.

Saat pintu besar itu perlahan terbuka, semua suara seakan mereda. Jovita muncul di ambang pintu, mengenakan gaun putih lembut. Ia melangkah perlahan di atas karpet merah, dan sorakan kecil dari teman-teman mereka terdengar memenuhi ruangan.

Namun bagi Devan, hanya satu yang ia lihat, Jovita. Matanya tak berpaling sedikitpun. Senyumnya muncul tanpa ia sadari.

“Devan Manendra,” ucap penghulu, “apakah kamu bersedia menjadi suami dari Jovita Diana Juno?”

Devan menarik napas dalam-dalam, namun jawabannya meluncur mantap. “Ya, saya bersedia.”

“Jovita Diana Juno, apakah kamu bersedia menjadi istri dari Devan Manendra?”

Jovita sempat terdiam. Sebulan terakhir ia terus bergulat dengan perasaan dan pikirannya sendiri. Ada ragu, ada takut. Tapi juga ada sesuatu yang membuatnya bertahan, perasaan aman yang ia rasakan setiap kali menatap pria di depannya itu.

Akhirnya ia mengangguk tipis. “Ya, saya bersedia.”

Tatapan mereka bertemu. Sorot mata Devan yang begitu yakin membuat Jovita merasakan sedikit ketenangan di dada.

“Dengan ini, kalian sah sebagai suami dan istri.”

Devan mengambil cincin, lalu memasangkannya perlahan di jari manis Jovita. Tangan pria itu stabil, gerakannya lembut. Jovita menatapnya, menyadari tidak ada keraguan sedikit pun pada wajahnya. Tanpa sadar, ia tersenyum tipis membalas senyumnya.

Kini giliran Jovita. Jemarinya sedikit bergetar, namun ia tetap melakukan tugasnya dengan baik, memasangkan cincin di jari Devan.

“Sebagai simbol kasih sayang,” ucap penghulu, “silakan berikan kecupan pada istri Anda.”

Devan refleks menahan napas. Ia melirik para tamu yang menunggu, sebelum perlahan melangkah mendekat. Tangannya naik membingkai wajah Jovita, gerakannya hati-hati seolah Jovita bisa pecah kapan saja.

Jovita mematung. Jantungnya berdebar kencang. Saat wajah Devan makin dekat, ia spontan menutup matanya rapat-rapat.

Namun ciuman yang mendarat… bukan di bibir. Devan mengecup keningnya. Lembut. Singkat. Hangat.

Jovita membuka mata, sedikit terkejut. Ia menatap Devan dengan pertanyaan di mata, karena kebanyakan pasangan memilih bibir. Tapi entah kenapa, dada Jovita justru terasa lega. Seakan Devan tahu batasan.

Begitu acara selesai, mereka langsung menuju kamar hotel yang sudah dipesankan oleh Ami. Devan berjalan dengan langkah santai, seolah hari itu tidak ada hal yang perlu dikhawatirkannya. Berbeda dengan Jovita yang sejak tadi bersikap gelisah, pikirannya tak berhenti waspada. Matanya menyapu lorong hotel yang sepi.

“Kenapa sepi banget? Gak ada orang lain apa?” batinnya panik.

Sampai akhirnya Devan menempelkan kartu akses ke pintu kamar. Pintu terbuka, dan ia mempersilakan Jovita masuk lebih dulu.

Begitu masuk, suasana kamar menyambut mereka dengan aroma manis dan lembut. Dekorasinya… membuat Jovita langsung membeku di tempat. Di atas ranjang, dua handuk dilipat menyerupai angsa yang saling menempel, dikelilingi kelopak mawar merah. Lilin aroma terapi menyala lembut di beberapa titik ruangan.

Devan mendecak, tampak pasrah. “Kenapa mereka taruh kelopak bunga? Ujung-ujungnya juga dibuang,” gumamnya sambil menghela napas pendek.

Ia baru menoleh lagi ketika melihat Jovita berdiri canggung di sudut kamar, tampak seperti seseorang yang ingin membuka pintu dan melarikan diri secepat mungkin. Devan sampai terkekeh kecil melihatnya.

“Ada apa denganmu?” tanyanya, nada suaranya seperti mengejek tapi ringan.

“Aku…” Jovita menelan ludah. Kepalanya dipenuhi pikiran lain yang membuatnya resah. “Pesan kamar lain,” ujarnya akhirnya.

Devan mengernyit, tidak langsung mengerti. Pandangannya kembali menuju ranjang, menatap dekorasi angsa itu dalam diam. Dan setelah beberapa detik, barulah ia paham. Jovita tidak siap tidur satu ranjang dengannya. Ia pun kembali menatap Jovita.

“Tidur di sini aja,” katanya santai. “Kalau kamu pesan kamar lain, apa kata orang? Kita baru nikah tapi pisah kamar?”

Jovita terdiam. Ia tahu ucapan Devan masuk akal, tapi itu tak mengubah kenyataan bahwa ia belum siap.

“Aku akan tidur di sana,” lanjut Devan sambil menunjuk sofa panjang hitam di dekat jendela.

Jovita menatap sofa itu, lalu menatap Devan lagi. Ada sesuatu yang ia rasakan, seakan-akan pria itu selalu tahu batas, selalu memberi ruang.

“Kenapa?” tanya Devan santai. “Atau kamu aja yang tidur di sana?”

Jovita sontak berkedip cepat. Lamunannya buyar. “Gak mau. Kamu tidur aja di sana, aku gak melarang,” katanya dengan nada datarnya yang khas.

Devan terdiam sebentar, lalu terkekeh kecil. Ia melepas jasnya perlahan dan meletakkannya rapi di sofa. Gerakannya tenang, tidak tergesa, justru itu yang membuat Jovita tanpa sadar memperhatikannya. Saat Devan menggulung lengan kemejanya dan melonggarkan dasinya, pandangan Jovita terpaku.

“Kenapa?” tanya Devan sambil menoleh, sadar sejak tadi dia diperhatikan.

Jovita cepat mengerjapkan mata, seolah baru sadar sedang menatap. Ia buru-buru mengalihkan pandangan dan berjalan ke arah cermin.

“Kenapa kamu menggulung lenganmu?” tanyanya lirih. Rambutnya terasa kaku penuh hairspray, makeupnya pun belum dibersihkan sejak acara tadi.

“Menggodamu,” jawab Devan santai, seolah itu hal paling wajar di dunia.

Jovita langsung menoleh cepat. Keningnya mengernyit dalam. “Kamu…” ucapnya terhenti, lalu menegakkan tubuhnya. “Jangan sentuh aku,” lanjutnya tegas.

Devan mematung sebentar, mencoba memahami. Lalu ia malah terkekeh, nyaris tertawa.

“Kenapa aku gak boleh menyentuh istriku sendiri?”

Jovita mengatupkan bibir rapat. Tatapannya dingin namun gugup. “Pokoknya jangan. Aku gak izinkan,” katanya tanpa kompromi, lalu berlalu masuk ke kamar mandi.

Butuh waktu cukup lama sebelum Jovita keluar. Rambutnya sudah tergerai, masih sedikit basah, wajahnya bersih tanpa riasan. Ia langsung melihat Devan sedang berdiri di balkon, menikmati segelas bir sambil memandang kota malam.

Jovita, masih memakai bathrobe putih tebal, duduk pelan di sisi ranjang. Ia menarik napas pendek, berusaha menenangkan diri.

Ketika Devan berbalik, ia terkejut setengah mati. “kenapa kamu diam aja di situ? Aku kira kamu hantu.”

Jovita mendecak kesal. “Hantu apanya, sih?” gerutunya.

Devan menghela napas pendek, lalu menatapnya sekilas.

“Apa yang kamu lihat?” tanya Jovita tajam. Nada galaknya membuat Devan langsung mengalihkan pandangannya ke lantai.

Tanpa menjawab apapun, Devan melangkah masuk, meletakkan gelas bir di meja kecil, lalu masuk ke kamar mandi. Begitu pintu tertutup, Jovita mengembuskan napas panjang. Ketegangan yang ia tahan sejak tadi akhirnya sedikit mereda.

Meski ia tidak menunjukkannya, rasa takut itu nyata. Takut kalau Devan tiba-tiba akan melakukan sesuatu yang ia belum siap untuk menerimanya.

Akhirnya, sebelum Devan keluar dari kamar mandi, Jovita buru-buru menarik pakaian tidurnya dan mengenakannya. Ia bahkan sempat gemetar karena panik. Ia baru sadar… Devan tadi masuk kamar mandi tanpa membawa baju. Artinya, Devan akan keluar hanya dengan handuk.

Begitu selesai berpakaian, Jovita langsung rebahan. Ia menarik selimut tinggi-tinggi sampai menutupi dada, seperti tameng. Matanya menatap plafon kosong, pikirannya melayang jauh.

Adegan pernikahan tadi berputar lagi di kepalanya. Tatapan tamu, gaun putihnya, cincin di jari… semuanya terasa tidak nyata. Jovita mengangkat tangan, memperhatikan jemarinya yang kini dihiasi cincin pernikahan.

“Aku beneran udah nikah?” bisiknya. Matanya memanas. Rasanya aneh, bukan sedih, bukan bahagia, lebih seperti… kehilangan arah. Menikah dengan pria yang tak pernah ia bayangkan.

Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Jovita terbelalak kaget. Devan keluar hanya memakai bathrobe putih, rambutnya masih menetes.

Refleks, Jovita langsung menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhnya, bersembunyi seperti kepompong. Ia memegang selimut itu erat-erat.

Devan memandanginya dari pintu dengan wajah geli. “Ngapain begitu? Kamu mau main petak umpet?” tanyanya santai sambil mengambil bajunya dan mulai mengenakannya.

Di bawah selimut, jantung Jovita berdetak kencang. Ia belum siap menghadapi malam itu, belum sama sekali.

Detak jantungnya makin kacau saat ia merasakan kasur sedikit bergoyang. Devan naik ke ranjang, mendekatkan wajahnya ke arah selimut tempat Jovita bersembunyi.

“Dia gak bakal macam-macam, kan?” batin Jovita panik. Tangannya mencengkeram selimut makin kuat.

“Kamu tidur?” tanya Devan lirih. Ia sempat mencoba menarik sedikit selimut itu. Jovita langsung menahan sekuat tenaga, seperti perang tarik tambang.

“Kumohon jangan sekarang…,” doa Jovita dalam hati, nyaris putus asa.

Setelah beberapa percobaan, Devan akhirnya menyerah. Ia berdiri, menatap gumpalan selimut bernama Jovita itu.

“Kamu gak laper?” tanyanya tiba-tiba.

Jovita membuka mata lebar-lebar di bawah selimut. Pertanyaan itu… sama sekali tidak sesuai dengan ketakutannya.

“Ayo makan. Aku laper,” kata Devan lagi.

Perlahan, Jovita mengintip dari balik selimut, hanya menampakkan mata dan ujung hidung. Ia menatap Devan dengan curiga namun tetap waspada, memegangi selimut erat-erat.

“Ayo cari makan. Kita belum makan apa-apa dari tadi,” lanjut Devan. Tidak ada nada menggoda. Tidak ada sikap aneh. Benar-benar biasa saja.

Jovita menggeleng cepat. “Gak usah. Kamu aja,” jawabnya singkat sebelum kembali menutup diri seperti sebelumnya. Bukan karena tidak lapar… tapi dia takut meninggalkan selimut yang terasa seperti benteng terakhirnya.

Devan mendesah kecil. Lucu juga sebenarnya melihat Jovita ketakutan sendiri, padahal ia tidak berniat melakukan apapun.

“Jangan minta punyaku kalau kamu kelaparan,” ucapnya dengan nada memperingatkan.

Beberapa saat kemudian, suara ketukan terdengar di pintu. Makanan yang dipesan Devan akhirnya datang. Meski Jovita tadi menolak, Devan tetap memesannya. Ia lapar setengah mati dan ia tidak mau tiba-tiba harus berbagi kalau Jovita berubah pikiran.

“Beneran gak mau?” tanya Devan sambil membuka plastik makanan.

Suara itu membuat Jovita membuka sedikit selimutnya. Aroma gurih dari makanan langsung tercium, menusuk hidungnya. Perutnya ikut berontak, tapi ia tetap bertahan.

“Hmm. Makan aja,” balas Jovita pelan, tidak bergerak sedikit pun.

Devan mengangkat bahu. “Yaudah,” katanya, lalu mulai makan.

Ia menyantap makanannya dengan santai, sesekali melirik gumpalan selimut di kasur.

Jovita menutup mata rapat-rapat. Bukan ingin tidur… tapi berusaha bertahan dari aroma makanan yang semakin menggoda. Namun hari itu terlalu panjang, terlalu melelahkan. Secara perlahan, tanpa ia sadari, kantuk malah datang. Dalam hitungan menit, napasnya mulai teratur. Ia benar-benar tertidur.

Setelah selesai makan, Devan bangkit dari kursi dan mendekat ke kasur. Selimut itu sudah diam. tidak ada lagi gerakan gelisah dari dalamnya. Ia menunduk, memperhatikan wajah Jovita yang akhirnya terlihat.

Wajah itu tenang sekali, tidak seperti beberapa saat lalu saat terus tegang dan waspada. Rambutnya yang masih sedikit basah terurai rapi di bantal.

Devan tersenyum kecil. Tapi ia juga khawatir. Dari pagi sampai sekarang, Jovita belum makan apapun.

Saat ia hendak berdiri, tiba-tiba layar ponsel di meja menyala. Nama pengirimnya muncul jelas.

Adam.

Devan menghela napas pendek, lalu tertawa kecil dengan nada tidak percaya.

“Dia udah menikah sekarang… kenapa masih ganggu istri orang?” gumamnya kesal, seakan Adam berdiri di depannya.

Tanpa ragu, ia membuka pesan itu. Dengan wajah datar, ia menghapusnya begitu saja. Setelah itu, ia meletakkan ponsel Jovita kembali ke tempatnya, seolah tidak terjadi apa-apa.

Ia melirik Jovita lagi sebelum mematikan lampu kecil di samping ranjang, lalu berjalan menuju sofa untuk beristirahat.

To be continued

1
Nindi
Hmm jadi penasaran, itu foto siapa Devan
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Blueberry Solenne
🔥🔥🔥
Blueberry Solenne
next Thor!
Blueberry Solenne
Tulisannya rapi Thor, lanjut Thor! o iya aku juga baru join di NT udah up sampe 15 Bab mampir yuk kak, aku juga udah follow kamu ya😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!