"Loh, Mas, kok ada pemberitahuan dana keluar dari rekening aku tadi siang? Kamu ambil lagi, ya, Mas?!"
"Iya, Mai, tadi Panji WA, katanya butuh uang, ada keperluan mendadak. Bulan depan juga dikembalikan. Maaf, Mas belum sempat ngomong ke kamu. Tadi Mas sibuk banget di kantor."
"Tapi, Mas, bukannya yang dua juta belum dikembalikan?"
Raut wajah Pandu masih terlihat sama bahkan begitu tenang, meski sang istri, Maira, mulai meradang oleh sifatnya yang seolah selalu ada padahal masih membutuhkan sokongan dana darinya. Apa yang Pandu lakukan tentu bukan tanpa sebab. Ya, nyatanya memiliki istri selain Maira merupakan ujian berat bagi Pandu. Istri yang ia nikahi secara diam-diam tersebut mampu membuat Pandu kelimpungan terutama dalam segi finansial. Hal tersebut membuat Pandu terpaksa harus memutar otak, mencari cara agar semua tercukupi, bahkan ia terpaksa harus membohongi Maira agar pernikahan ke duanya tidak terendus oleh Maira dan membuat Maira, istri tercintanya sakit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAHAGIA HINGGA AKHIR HAYAT, ATAU MALU HINGGA AKHIR HAYAT
"Ayahnya Zahra di luar jawa, Dok," sergah Pak RT.
Sepertinya yang dia maksud bukan Mas Pandu, tapi ayah kandung Zahra yang telah menikah lagi lalu menetap di luar Jawa bahkan hingga saat ini tak ada kabar berita.
Selamat.
"Oh," jawabnya namun terlihat raut wajahnya sedikit bingung.
"Dokter, apa ada masalah?"
"Gini, saya ada pasien yang butuh penanganan, korban kecelakaan. Jadi saya harus kembali ke rumah sakit. Bisa bujuk Zahra. Soalnya dia masih nggak mau ditinggal sama saya," ujarnya dengan raut begitu sungkan.
Aku pun segera melakukan perintah, memanggil Zahra yang tengah duduk di sofa masih dengan boneka barunya. Meskipun aku tak yakin bisa membujuknya, tapi sebenarnya aku sendiri juga sangat sungkan pada dokter ini.
"Oh, iya. Zahra, sini Sayang. Bunda mau bicara."
Ia mendengar dan beranjak namun tidak ke arahku. Ia
Justru memilih lari ke arah dokter Sean. Memeluk kakinya erat-erat.
"Sayang, sini, sama Bunda. Dokter harus nolongin adek. Ada adek yang sakit dan harus dikasih obat. Kasihan kalau dokternya ada di sini," ujarku lembut. Namun, ia justru mengeratkan pelukannya.
"Aku maunya sama Om. Om selalu nemenin Zahra. Ninggalin Zahra kalau kerja aja. Nggak kayak bunda."
"Bunda janji setelah ini akan sama Zahra terus, kok."
"Buktinya tadi Bunda juga pergi. Padahal katanya libur. Nanti Zahra tidur Bunda ilang. Kan, nggak ada Suster," ujarnya masih memeluk erat kaki Dokter Sean.
Aku hanya bisa menelan ludah mendengar ucapan itu, memang selama ini Bude tak pernah meninggalkan Zahra atau menitipkan Zahra pada siapapun. Paling mentok dia menitipkan padaku dan Mas Pandu. Itu pun kalau ada urusan darurat. Selebihnya ia menghabiskan seluruh waktunya bersama Zahra. Sehingga Zahra tak pernah merasa sendirian.
"Kan kemarin Bunda udah suruh Suster nemenin. Nggak sendiri, kan?" jelasku semakin lembut.
"Bunda juga bo'ong katanya mau ngajak ke mall. Tapi malah pergi nggak pulang."
Seketika Dokter Sean melirik ke arahku sekilas tapi begitu tajam, lalu ia kembali menatap ke arah Zahra, sedangkan aku hanya bisa termangu, masalah yang kami hadapi membuatku lupa akan janji yang diberikan Mas Pandu pagi itu. Aku tak menyangka dampaknya begitu besar untuk seorang anak sekecil Zahra.
"Besok ke Mall sama Om, tapi hari Minggu. Sekarang Om pulang dulu. Bunda nggak akan ninggalin Zahra.
Kalau Bunda ninggalin Zahra. Minta Pak RT hubungi Om.
Om meluncur langsung jemput Zahra. Kalau perlu Zahra nggak usah pulang-pulang ke sini lagi."
Ucapannya memang lembut namun jelas mengancam. Sebab, meskipun ia sedang berbicara pada Zahra, tatapannya mengarah ke arahku. Tajam menghujam.
Seketika Zahra mendongak menatap ke arah Dokter Sean, ia pun mengalihkan pandang ke arah Zahra.
"Beneran, Om?"
Dokter pun beringsut duduk menyamai Zahra. "Iya, ini nomornya Om. Disimpen, ya." Sebuah kartu nama ia keluarkan dari dalam dompet, sebelum akhirnya diberikan pada Zahra dan Zahra dengan sigap meraihnya lantas memasukkan ke dalam saku bajunya.
Hanya sebuah kartu, tapi mampu membuat Zahra merasa tidak sendirian. Sedangkan keberadaanku justru membuatnya ketakutan. Seburuk itukah aku di mata Zahra saat ini?
Mataku mengembun, satu-satunya yang kumiliki saat inipun sekarang meragukan aku. Dunia memang selucu ini.
"Sekarang, minta maaf sama, Bunda, gih. Masak
tinggal berdua aja berantem," ujarnya sembari menatapku, aku yang tak menyadari karena fokus pada kesedihan pun tersentak, dengan cepat aku menghapus mata yang mulai mengembun.
"Maaf, Bunda," ujarnya mengulurkan tangan tanpa menatapku. Aku langsung meraih dan memeluknya erat.
"Maafkan, Bunda Zahra," ujarku tergugu di pundak Zahra.
"Jangan terlalu diambil hati kata-kata anak kecil. Dia hanya belum tahu bagaimana cara meluapkan emosi tanpa menyakiti. Saya permisi, kalau ada apa-apa pada Zahra tolong hubungi nomor yang sudah saya beri. Zahra, Assalamu'alaikum."
Aku mengurai pelukan Zahra lantas berkata.
"Wa'alaikumsalam."
***
Malam kian merambat naik, jam di dinding telah menunjukkan pukul 11 malam. Sejak kepergian para tetangga dan Dokter Sean rumah ini, rumah terasa begitu hampa. Rumah baru dan megah, tapi seolah tak bernyawa. Hanya ada aku dan Zahra di dalamnya, mendekap luka, saling menguatkan.
Zahra telah terlelap setelah banyak permintaan yang ia minta. Entah masih marah atau memang sedang menguji kesabaranku. Tapi, dia bersikap jauh berbeda dari yang dulu. Namun, aku tak mengapa, mengembalikan perasaannya seperti semula sudah
menjadi tanggung jawabku untuk ke depannya.
Tak sengaja pandangan ini menangkap ponsel yang tengah kuisi daya. Kini pikiranku tertuju pada Arina. Ke mana anak itu? Aku sungguh ingin tahu kabar beritanya. Namun, sejak aku keluar dari rumah Mas Pandu. Ia seolah hilang di telan bumi. Berulang kali aku menghubungi namun hanya suara operator yang terdengar. Di sosial medianya pun terlihat sudah tidak pernah aktif. Kuharap tidak terjadi apa-apa padanya. Jika sampai terjadi sesuatu akibat ancaman Mas Pandu, aku tak bisa memaafkan diriku sendiri.
"Nenek, api ...," rancau Zahra ketika aku baru meletakkan kepala di atas bantal. Aku terperanjat kaget. Kulihat tubuhnya berkeringat, matanya masih tertutup rapat, tapi mulutnya terus mengeluarkan kata-kata. Ia mengigau.
"Zahra," panggilku seraya menggoncang Pelang tubuhnya.
"Bunda." Ia terbangun lalu menghambur ke dalam pelukanku.
"Zahra takut, banyak api, Bunda."
"Zahra, tenang sayang. Ada Bunda. Nggak ada api. Kamu cuma mimpi buruk."
Hal yang saat ini menjadi PR bagiku setelah Zahra bisa sedikit menerima kematian Bude adalah mengobati trauma Zahra.
"Lihat, nggak ada api. Bobok lagi, ya," ujarku seraya mengedarkan pandang ke seluruh sudut ruangan, mencoba meyakinkan Zahra.
Ia menggeleng. "Zahra takut, nanti kalau Zahra tidur tiba-tiba ada api," jawabnya seraya memelukku dengan erat. Bisa kurasakan tubuh kecilnya bergetar ketakutan. Apakah keputusanku untuk mengajak Zahra kembali ke tempat ini kurang tepat? Sebab, saat aku menunggunya di rumah sakit beberapa hari. Ia tampak tenang. Tapi begitu dia kembali ke rumah?
"Nggak, Sayang. Bunda jagain Zahra. Nggak tidur, deh," bujukku.
"Enggak, Bunda, Zahra mau Om Dokter."
Aku tersentak.
"Udah malem, Om Dokternya pasti udah tidur, Nak.
Enggak enak."
"Om Dokter nggak pernah tidur."
"Nggak pernah tidur?"
"Om Dokter itu kalau nemenin Zahra sambil baca buku, jadi nggak tidur."
"Kalong... kali nggak tidur?" gerutuku dalam hati.
"Terus Zahra maunya gimana, dong?" tanyaku dengan perasaan yang mulai tak enak. Zahra pun mengurai pelukanku lantas berkata. "Pinjem hp nya, dong, buat telepon Om Dokter." Tangannya menengadah ke arahku.
Seperti preman yang sedang meminta jatah uang.
"Hah?" Seketika aku tersentak, gaya Zahra seolah remaja yang sedang dilanda rindu. Kesambet setan dari mana ini bocah?
"Nggak beres nih, orang ini.'
"Bunda," rengek Zahra.
Dengan terpaksa aku meraih gawai yang kuletakkan di atas nakas. Lalu aku mengetik nomor yang telah disodorkan Zahra.
"Halo, assalamualaikum." Suara perempuan terdengar dari seberang sana mengangkat telepon dariku. Aku tercekat.
"Halo," ulangnya.
"Wa-wa'alaikumsalam. Maaf, maaf sekali malam-malam mengganggu. Apa benar ini nomornya dokter Sean?" tanyaku.
"Oh, iya bener, kalau boleh tahu ini siapa, ya?"
"Maira."
"Maira?"
"Oh, iya, Bu. Ada apa? Iya ini nomor saya." Kini, suaranya berganti dengan suara laki-laki. Dokter Sean mengambil alih telepon.
Ya Allah benarkan dia sudah beristri? Semoga aku tidak mengganggu aktifitas malam mereka, kalau sampai mengganggu aku tak tahu mau menaruh mukaku di mana.
"Sean, jangan lupa mandi, setelah itu kita bicara lagi."
"Hem."
Suara percakapan mereka sungguh terdengar sangat jelas di telingaku. Tampaknya aku benar-benar sudah salah waktu. Sebab, suara wanita itu terdengar tak suka dan sedikit datar pada dokter itu. Semoga tak ada pertengkaran setelah ini.
"Halo, ada apa, Bu?" tanyanya membuyarkan semua pikiran tak enakku.
"Eh, iya, Dok. Ini Zahra mau bicara. Tadi dia mimpi buruk terus terbangun nyari dokter. Maaf kalau mengganggu malam-malam seperti ini."
"Oh, iya, nggak papa. Kasih saja ke Zahra."
Kuulurkan telepon kepada Zahra, lalu dengan antusias ia meraihnya.
"Bun ini digeser?" tanyanya menunjukkan layar yang kini diubah ke panggilan Video.
Namun, tanpa menunggu jawaban dariku, dia langsung menggeser ke atas.
"Zah...."
Cepat aku menyambar jilbab yang kuletakkan di atas nakas karena wajahnya sudah terlihat.
"Malam, Zahra? Kok, sendirian? Mana Bunda?"
Tanyanya begitu panggilan berhasil diterima.
"Ada, tu," tanpa aba-aba Zahra mengarahkan layar ke arahku bahkan sebelum hijab kukenakan dengan sempurna.
"Zahra, nanti dulu, dong," gerutuku pelan.
"Oh, kenapa Zahra? Masak udah kangen?!" ujarnya dari seberang sana. Sontak mataku menyipit, tak percaya. Ini bukan hubungan terlarang antara anak-anak dan pria dewasa bukan?
"Tadi Zahra mimpi buruk, Om. Ada api di mana-mana." Zahra mulai mengadu.
"Zahra, Zahra nggak boleh inget-inget kebakaran lagi biar nggak mimpi, inget yang seneng-seneng aja. Biar mimpinya juga seneng. Ke mall misal nya."
"Mall?!" Wajah Zahra seketika berubah, binar, rona kebahagiaan terlihat jelas kala mendengar kata Mall diucapkan oleh dokter Sean. Membuat hatiku teriris.
Mall memang berjarak cukup jauh dari tempat tinggal kami. Jika menggunakan sepeda motor memerlukan waktu sekitar setengah jam lebih. Sehingga Zahra sangat jarang pergi ke sana.
"Iya, Mall, bayangin aja Minggu depan ke Mall.
Katanya mau ke Mall kan sama Om?"
Dengan antusias dia menggunakan kepalanya.
"Sekarang, bobok dulu udah mau jam 12. Om boleh
ngomong sama Bunda?"
Aku sedikit kaget saat mendengar ia ingin bicara denganku. Sekilas aku menatap ke arah kaca, memastikan wajah dan jilbab yang aku kenakan rapi tidak seperti sore makan tadi yang sempat berantakan di depannya tanpa aku sadari, meski aku tak menyadari tapi rasa malunya setengah mati.
"Bun, Om Dokter mau ngomong."
Aku bergegas mendekati Zahra ke arah ranjang lalu meraih ponsel yang ia ulurkan.
"Oh, udah mengubah panggilan, kirain?" ujarku dalam hati begitu kulihat panggilan kembali dialihkan menjadi panggilan suara.
"Iya, halo, Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
"Ada apa, Dok?"
"Maaf sebelumnya, tapi saya sarankan untuk sementara Zahra tidak tinggal di sana dulu. Agar traumanya sedikit berkurang. Meskipun bangunan telah rata, tapi sepertinya itu tidak menjamin saat melihat tempat itu dia akan lupa."
"Maksud Dokter kita harus pindah? Tapi, dok, di rumah sakit dia terlihat baik-baik saja. Tidur nyenyak."
"Anda kali yang nyenyak," katanya pelan setengah menggerutu, tapi jika tak salah itulah yang ia katakan.
"Maksudnya? Gimana?"
"Ehem ... mungkin karena di rumah sakit banyak orang, sehingga dia merasa lebih tenang. Meskipun hanya bersama Anda, tapi di sana ada perawat dan yang lainnya."
"Oh... gitu," jawabku pelan seraya memikirkan menjelaskan yang ia berikan.
"Ada rumah singgah, lumayan besar, di sana banyak anak yatim piatu dan kaum dhuafa."
"Maksudnya? Zahra harus tinggal di sana?"
"Bukan maksud saya menyuruh Zahra seperti anak yatim piatu yang hidup di sana tanpa orang tua. Anda bisa menemani. Sementara saja. Saya juga tahu, kok, kalau kalian masih punya keluarga. Ini hanya saran, tidak harus dilakukan. Keputusan sepenuhnya ada di tangan ibu dan bapak. Coba didiskusikan." Aku hanya bisa diam, menatap dan mengusap kepala Zahra yang kini sudah memejamkan matanya sembari memikirkan saran dokter Sean.
"Halo, Bu. Gini, kalau di sana banyak anak, berbeda kalau ibu hanya pindah tempat, dia justru akan semakin kesepian dengan tempat baru yang pasti tanpa teman. Berbeda kalau di rumah singgah yang saya katakan. Di sana banyak anak seusia Zahra dan seusia Bu Ayu juga ada."
Aku berpikir cukup lama.
"Kalau menurut dokter itu yang terbaik, saya pasti lakukan."
"Gini saja, sambil diskusi dengan ayah Zahra. Kita lihat beberapa hari ke depan, perkembangan Zahra. Kalau membaik ya syukur kalau masih sama ya mau bagaimana terserah Anda."
"Sean belum selesai," teriakan terdengar cukup keras menyela perbincangan kami.
"Maaf, saya tutup dulu, Zahra sudah tidur, kan?"
"Oh, iya, Dok. Sekali lagi maaf sudah mengganggu.
Sampaikan maaf juga pada ibu."
"Oh, ya, sama-sama. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
"Garang sekali istrinya, masak jam segini udah mau dua kali." gerutuku setelah layar mulai meredup.
Kurebahkan badan di sebelah Zahra. Lalu kusempatkan membuka sosial media sebelum memejamkan mata. Aku mencebik kan bibir saat kudapati foto Viona beserta Namira dan Mas Pandu terpampang di sosial media milik Viona dengan caption menggelikan 'Semoga menjadi keluarga bahagia hingga akhir hayat'.
Hah, rupanya mereka mulai terang-terangan.
"Benar-benar urat malunya putus nih Viona," gumamku.
Tanganku bekerja, otaku pun mulai mengarang cerita.
Send.
Kita lihat besok pagi hasilnya seperti apa. Bahagia
sampai akhir hayat atau malu hingga akhirnya melarat sampai akhir hayat.