NovelToon NovelToon
ADOPSI YANG MENJADI OBSESI

ADOPSI YANG MENJADI OBSESI

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang / Crazy Rich/Konglomerat / Obsesi / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:456
Nilai: 5
Nama Author: frj_nyt

Ia ditemukan di tengah hujan, hampir mati, dan seharusnya hanya menjadi satu keputusan singkat dalam hidup seorang pria berkuasa.

Namun Wang Hao Yu tidak pernah benar-benar melepaskan Yun Qi.

Diadopsi secara diam-diam, dibesarkan dalam kemewahan yang dingin, Yun Qi tumbuh dengan satu keyakinan: pria itu hanyalah pelindungnya. Kakaknya. Penyelamatnya.
Sampai ia dewasa… dan tatapan itu berubah.

Kebebasan yang Yun Qi rasakan di dunia luar ternyata selalu berada dalam jangkauan pengawasan. Setiap langkahnya tercatat. Setiap pilihannya diamati. Dan ketika ia mulai jatuh cinta pada orang lain, sesuatu dalam diri Hao Yu perlahan retak.

Ini bukan kisah cinta yang bersih.
Ini tentang perlindungan yang terlalu dalam, perhatian yang berubah menjadi obsesi, dan perasaan terlarang yang tumbuh tanpa izin.

Karena bagi Hao Yu, Yun Qi bukan hanya masa lalu

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

24

Hujan turun rapi, tipis, seperti tirai yang sengaja diturunkan kota untuk menyembunyikan sesuatu. Hao Yu pulang dari perjalanan bisnis selama seminggu dari Jepang. Bandara internasional dipenuhi kilau lampu putih dan langkah-langkah cepat orang-orang yang selalu punya tujuan. Wang Hao Yu melangkah keluar dari pintu kedatangan dengan langkah yang sama tenangnya seperti lima tahun lalu tegak, terkendali, tak tergesa. Hanya saja, garis di wajahnya kini lebih tegas, bahu setelannya jatuh lebih mantap, dan aura dingin itu terasa lebih pekat. “Mobil sudah siap, Tuan Wang,” kata sopirnya, menunduk singkat. Hao Yu mengangguk. “Langsung ke kantor.”

“Baik.” Di kursi belakang, ia menyandarkan kepala sebentar, menutup mata. Lima tahun di luar negeri terasa seperti napas panjang yang tak pernah benar-benar memberinya lega. Ia pulang dengan perusahaan yang lebih besar, jaringan yang lebih luas, dan reputasi yang lebih berbahaya. Namun ada satu hal yang terasa asing sebuah ruang kosong yang selama ini ia isi dengan laporan, grafik, dan jarak. Ponselnya bergetar. Nama Lin Zhe muncul. “Sudah mendarat?” suara itu terdengar rapi, profesional.

“Sudah,” jawab Hao Yu singkat. “Jadwal?”

“Rapat direksi sore ini. Media minta pernyataan soal tunangan. Saya sudah siapkan draf netral.”

“Baik.”

“Dan… Yun Qi.” Hao Yu membuka mata. “Dia hari ini ada kelas sampai sore. Setelah itu—” Lin Zhe berhenti sejenak, seolah menimbang. “Ada makan malam dengan pacarnya.” Jari Hao Yu menekan ponsel sedikit lebih keras. “Aku tahu.” Ia memutus panggilan tanpa menunggu balasan. Mobil melaju, kota menyambut dengan gedung-gedung tinggi dan jalanan basah. Hao Yu menatap keluar jendela. Di balik pantulan kaca, wajahnya terlihat tenang. Di dalam, ada sesuatu yang bergerak pelan, tak sabar.

Di kampus, Yun Qi berjalan cepat menembus gerimis, tasnya dipeluk ke dada. Ia baru selesai presentasi, kepalanya masih penuh catatan dosen. Ponselnya bergetar bertubi-tubi grup kelas, pesan An Na , notifikasi berita yang sengaja ia matikan tapi entah bagaimana muncul lagi. Ia berhenti di bawah kanopi gedung fakultas, menghela napas. Fokus, katanya pada diri sendiri. Ini hidupmu sekarang. “Qi!”

Ia menoleh. Chen Rui melambaikan tangan, senyum lebarnya terlihat bahkan dari jauh. Ia berlari kecil mendekat, jaketnya basah di bahu. “Maaf telat,” katanya, napasnya sedikit terengah. “Hujan.”

“Nggak apa-apa,” jawab Yun Qi. “Kita mau ke mana?”

“Tempat biasa. Aku traktir.” Yun Qi mengangguk. Mereka berjalan berdampingan, langkah Chen Rui sedikit lebih cepat, seolah ingin segera keluar dari hujan. Yun Qi mengikutinya, pikirannya masih tersangkut pada satu nama yang berusaha ia dorong ke belakang. Di sebuah restoran kecil yang hangat, mereka duduk berhadapan. Chen Rui memesan dengan percaya diri. Yun Qi memperhatikan tangannya cara jari-jarinya bergerak, kebiasaan kecil yang dulu membuatnya tersenyum. Hari ini, entah kenapa, ia merasa menjadi penonton dari jarak yang aneh.

“Kamu kenapa?” tanya Chen Rui setelah makanan datang. “Dari tadi kelihatan melamun.” Yun Qi mengaduk supnya pelan. “Nggak. Capek aja.” Chen Rui mencondongkan badan. “Tentang berita itu?”

Yun Qi mendongak. “Berita apa?”

“CEO itu,” Chen Rui berkata ringan. “Wang Hao Yu. Semua orang ngomongin. Kamu kelihatan terganggu.” Yun Qi tersenyum tipis. “Aku cuma… kaget.”

“Wajar,” kata Chen Rui sambil tertawa kecil. “Orang kaya balik negara, kabar tunangan. Drama.” Drama, ulang Yun Qi dalam hati. Ia mengangguk, mencoba menyamakan ritme.

Sore menjelang malam, Hao Yu berdiri di kantor lantai tinggi dengan dinding kaca. Di bawah, kota berkilau seperti peta hidup. Rapat selesai lebih cepat dari perkiraan. Ia menandatangani beberapa berkas, lalu berhenti. “Lin Zhe,” panggilnya. “Ya?”

“Batalkan agenda malam ini.” Lin Zhe menatapnya, terkejut sesaat. “Media—”

“Besok.”

“Baik.” Ia ragu, lalu bertanya pelan, “Anda ingin… menemui Yun Qi?” Hao Yu menatapnya lurus. “Aku ingin melihatnya.” Itu bukan perintah yang biasa. Itu pengakuan yang nyaris tak pernah ia ucapkan.

Malam sudah turun ketika Yun Qi dan Chen Rui keluar dari restoran. Hujan berhenti, udara dingin menempel di kulit. Mereka berjalan menuju halte. Lampu jalan memantulkan bayangan panjang di aspal.

“Qi,” kata Chen Rui, berhenti. “Akhir pekan ini—” Kalimat itu terpotong.

Sebuah mobil hitam berhenti beberapa meter dari mereka. Mesin dimatikan. Pintu belakang terbuka. Seorang pria turun, langkahnya tenang, jasnya rapi meski malam lembap. Yun Qi membeku.

Ia mengenali siluet itu sebelum wajahnya terlihat jelas. Bahu yang sama, cara berdiri yang sama hanya lebih dewasa, lebih berat. “Gege…” Kata itu lolos begitu saja dari bibirnya, hampir tak bersuara.

Hao Yu berhenti tepat di hadapannya. Tatapannya turun perlahan, menyeluruh, seolah menyusun ulang sesuatu yang sudah lama ia simpan. Yun Qi berdiri di sana, rambutnya sedikit basah, mata yang dulu ia kenal kini lebih berani atau mungkin lebih rapuh. “Yun Qi,” ucap Hao Yu. Suaranya rendah, terkontrol. “Kamu… sudah besar.”

Kalimat sederhana itu menghantam lebih keras dari yang ia kira. Chen Rui menatap mereka bergantian. “Kalian… saling kenal?” Yun Qi menelan ludah. “Iya.” Ia menoleh ke Chen Rui, suaranya bergetar tipis. “Ini… Gege ku.”

Kata itu menggantung di udara. Ge. Kakak. Hao Yu mengangguk kecil pada Chen Rui. “Saya Wang Hao Yu.” Chen Rui tertegun. Nama itu wajah itu ia mengenalnya dari berita. Ia tersenyum kaku. “Oh. Senang bertemu.”

“Begitu juga,” kata Hao Yu singkat. Tatapannya kembali ke Yun Qi. “Kamu mau pulang?” Yun Qi ragu. “Aku—”

“Aku bisa antar,” sela Chen Rui cepat. Hao Yu tidak menatap Chen Rui. “Terima kasih. Saya akan mengantarnya.”

Nada itu bukan permintaan. Yun Qi merasakan dada menegang. Ia menoleh pada Chen Rui, bingung, bersalah. “Nggak apa-apa,” kata Chen Rui akhirnya, berusaha santai. “Kalian kan… keluarga.” Kata keluarga terasa asing di telinga Hao Yu. Ia membuka pintu mobil. Yun Qi melangkah masuk dengan langkah kecil, punggungnya kaku. Mobil melaju.

Keheningan menebal. Hanya suara mesin dan gesekan ban. “Kamu sehat?” tanya Hao Yu akhirnya. Yun Qi mengangguk. “Iya.”

“Kuliah?”

“Baik.” Ia ingin bertanya banyak hal. Tentang tunangan. Tentang kenapa ia ada di sini. Tentang lima tahun yang berlalu. Tapi kata-kata itu menumpuk, saling menghalangi. Hao Yu memperhatikan profil wajahnya dari samping garis rahang yang lebih dewasa, leher ramping, cara ia duduk dengan tangan di pangkuan. Dulu, Yun Qi akan menatapnya dengan mata besar, menunggu instruksi. Sekarang, ia menatap keluar jendela, seolah dunia di luar lebih aman. “Kamu terlihat… berbeda,” kata Hao Yu pelan.

Yun Qi tersenyum kecil. “Semua orang berubah.” Ia menoleh. Mata mereka bertemu dan sesuatu bergeser. Tatapan Hao Yu tidak lagi hanya protektif. Ada jeda, ada penilaian yang tidak ia kenali, dan ada kehangatan berbahaya yang membuatnya ingin menoleh cepat-cepat.

Mobil berhenti di depan asrama. “Terima kasih,” kata Yun Qi, membuka pintu. “Yun Qi,” panggil Hao Yu. Ia berhenti. “Kita perlu bicara,” katanya. “Besok.” Yun Qi ragu. “Tentang apa?”

“Banyak hal.” Ia mengangguk, lalu turun. Saat pintu tertutup, Hao Yu tetap duduk, menatap gedung asrama yang tinggi, lampu-lampunya seperti mata kecil yang mengintip. Ia menyadari satu hal yang tak bisa ia pungkiri lagi.

Yun Qi bukan anak kecil yang ia selamatkan di hujan. Dan tatapan yang baru saja mereka bagi tidak lagi bisa ia sebut sebagai tatapan seorang kakak. Di kejauhan, Yun Qi berdiri di bawah lampu, menatap mobil yang menjauh. Tangannya gemetar pelan. Nama itu kembali ke hidupnya bukan sebagai kenangan. Melainkan sebagai sesuatu yang akan mengubah segalanya.

1
@fjr_nfs
tinggalkan like dan Komen kalian ☺❤️‍🔥
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!