NovelToon NovelToon
Tumbal Rahim Ibu

Tumbal Rahim Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari Saat Hamil / Kumpulan Cerita Horror / Rumahhantu / Matabatin / Iblis
Popularitas:547
Nilai: 5
Nama Author: Mrs. Fmz

​"Ibu bilang, anak adalah permata. Tapi di rumah ini, anak adalah mata uang."
​Kirana mengira pulang ke rumah Ibu adalah jalan keluar dari kebangkrutan suaminya. Ia membayangkan persalinan tenang di desa yang asri, dibantu oleh ibunya sendiri yang seorang bidan terpandang. Namun, kedamaian itu hanyalah topeng.
​Di balik senyum Ibu yang tak pernah menua, tersembunyi perjanjian gelap yang menuntut bayaran mahal. Setiap malam Jumat Kliwon, Kirana dipaksa meminum jamu berbau anyir. Perutnya kian membesar, namun bukan hanya bayi yang tumbuh di sana, melainkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lapar.
​Ketika suami Kirana mendadak pergi tanpa kabar dan pintu-pintu rumah mulai terkunci dari luar, Kirana sadar. Ia tidak dipanggil pulang untuk diselamatkan. Ia dipanggil pulang untuk dikorbankan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17: Alasan Dimas Pergi ke Kota

Kirana mengencangkan cengkeramannya pada secarik kertas usang Laksmi, ia tahu ini bukan lagi masalah utang atau melarikan diri, ini adalah pertempuran untuk hidupnya, dan ia harus menemukan Alasan Dimas Pergi ke Kota untuk mengerti di mana kelemahan mereka.

Bayangan Dimas semakin besar di lantai kayu. Kirana tahu ia tidak bisa bersembunyi. Ia harus menghadapi Dimas, tetapi tidak sebelum mendengar apa yang terjadi di Pendopo. Ia melompat kembali ke dalam kamar, tetapi tidak mengunci pintu. Ia hanya menutupnya sedikit.

Ia bersembunyi di balik lemari, menempelkan telinganya ke dinding kayu. Jantungnya berdetak seirama dengan langkah kaki Dimas yang kini berhenti tepat di depan pintu kamarnya.

Dimas tidak masuk. Ia berbicara kepada seseorang yang pasti adalah Nyi Laras.

"Ibu! Kenapa mereka sudah datang? Aku bilang nanti malam! Aku belum sempat menyelesaikan administrasinya!" Suara Dimas terdengar panik, tidak seperti suara dinginnya tadi.

Nyi Laras menjawab dengan nada mendesis, suaranya pelan tetapi tajam, menembus dinding. "Kau terlambat, Dimas. Utangmu di Jakarta sudah kadaluarsa. Mereka di sana tahu bahwa ‘barang’ sudah sampai. Tuan Tuan itu datang untuk memastikan."

"Memastikan apa? Aku sudah bawa 'dokumen' yang diminta!"

"Dokumen itu palsu. Mereka tidak bodoh," potong Nyi Laras. "Mereka tidak butuh kertas, mereka butuh bukti fisik. Mereka ingin melihat janin itu sudah terikat pada waris kita sebelum mereka mau menghapus total semua utangmu."

Kirana menahan napas. Janin? Terikat pada waris?

Dimas merengek seperti anak kecil. "Tapi janin itu butuh dua hari lagi, Bu! Jumat Kliwon! Kalau mereka melihatnya sekarang, prosesnya bisa gagal! Jimat itu akan bereaksi buruk!"

"Jimat tidak akan bereaksi buruk kalau kau menuruti instruksi. Kau pikir kenapa aku menyuruhmu pergi ke kota dengan alasan konyol? Itu untuk menjauhkanmu dari prosesi awal. Keberadaanmu yang penuh keraguan bisa mengganggu daya Senggama Raga," jelas Nyi Laras, terdengar menghina.

Kirana mengernyit. Senggama Raga? Dia pasti berbicara tentang ritual.

"Aku takut, Bu. Aku takut Kirana tahu. Dia hampir melihatku tadi di Pendopo," kata Dimas.

"Biarkan saja dia tahu. Dia hanya wadah. Otaknya sudah tumpul oleh jamu. Dia tidak bisa kabur. Rumah ini bukan terbuat dari kayu, Dimas. Rumah ini terbuat dari sumpah dan tumbal," Nyi Laras tertawa pelan. "Kucingku sudah mencakarnya tadi. Itu peringatan."

Kirana menyentuh bekas cakar di perutnya. Nyi Laras mengakui perbuatannya.

"Sekarang, cepat. Kau bilang kau mau ke kota? Aku ingin kau kembali ke sana," perintah Nyi Laras.

"Untuk apa lagi, Bu? Dokumennya palsu!"

"Aku butuh sesuatu yang lain. Sesuatu yang akan menjaga Waris ini tetap aman saat kita menerima Tuan Tuan itu di Pendopo," ujar Nyi Laras. Suaranya terdengar makin dekat, seolah ia bergerak menuju kamar Kirana.

"Apa itu, Bu?" tanya Dimas.

"Pergi ke pasar gelap di kota. Cari tukang emas tua yang buta. Bilang, kau perlu Penangkal Kuningan Tujuh Lapis," Nyi Laras berbisik. "Itu akan membuat Waris ini kebal dari semua kekuatan luar, meskipun kau sendiri yang membawanya lari. Cepat!"

Kirana terperangah. Penangkal? Nyi Laras menyuruh Dimas mengambil jimat perlindungan untuk janin itu?

Dimas kini membuka pintu kamar Kirana tanpa mengetuk. Kirana dengan cepat menutup matanya, berpura-pura tidur pulas di ranjang.

Dimas berdiri di samping ranjang, menatapnya lama. Kirana bisa merasakan panasnya tatapan itu, bercampur rasa bersalah dan kebencian.

"Aku akan kembali dengan jimat itu, Kirana," bisik Dimas. "Tunggu aku. Kita akan bebas dari utang ini."

Ia mendengar Dimas pergi. Suara mobilnya dihidupkan lagi, kali ini lebih cepat dan penuh desakan.

Kirana membuka mata. Dimas benar benar pergi ke kota untuk mengambil Penangkal Kuningan Tujuh Lapis itu. Jika Penangkal itu bisa melindungi bayinya, itu bisa menjadi senjatanya.

Ia melompat dari ranjang. Waktu habis. Tamu Tak Diundang itu ada di Pendopo, Nyi Laras ada di sana, dan Dimas pergi.

Ini adalah kesempatan emas. Ia harus mengunci Pendopo, mengambil Penangkal Kuningan, dan mencari Balai Kambing di hutan sebelum Jumat Kliwon tiba.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!