Nadia mengira melarikan diri adalah jalan keluar setelah ia terbangun di hotel mewah, hamil, dan membawa benih dari Bramantyo Dirgantara—seorang CEO berkuasa yang sudah beristri. Ia menolak uang bayaran pria itu, tetapi ia tidak bisa menolak takdir yang tumbuh di rahimnya.
Saat kabar kehamilan itu bocor, Bramantyo tidak ragu. Ia menculik Nadia, mengurungnya di sebuah rumah terpencil di tengah hutan, mengubahnya menjadi simpanan yang terpenjara demi mengamankan ahli warisnya.
Ketika Bramantyo dihadapkan pada ancaman perceraian dan kehancuran reputasi, ia mengajukan keputusan dingin: ia akan menceraikan istrinya dan menikahi Nadia. Pernikahan ini bukanlah cinta, melainkan kontrak kejam yang mengangkat Nadia .
‼️warning‼️
jangan mengcopy saya cape mikir soalnya heheh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Celyzia Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Pilihan mustahil itu akhirnya tiba. Di bawah temaram lampu darurat yang berkedip merah, Bramantyo berdiri di persimpangan yang akan menentukan sisa hidupnya.
"Bramantyo... pilih sekarang!" teriak Adrian melalui pengeras suara. "Lift menuju lantai dasar tempat Arka berada sudah diprogram untuk jatuh bebas dalam 120 detik. Sementara itu, gas saraf mulai dialirkan ke kamar utama tempat Nadia berdiri. Kau hanya punya satu kunci deskripsi di tanganmu. Siapa yang akan kau selamatkan?"
Nadia menatap Bramantyo dengan mata yang masih basah karena amarah, namun kini bercampur dengan ketakutan murni sebagai seorang ibu.
"Selamatkan Arka, Bram! Jangan pedulikan aku!" raung Nadia. "Jika kau membiarkan sesuatu terjadi padanya, aku bersumpah aku akan mati bersamanya!"
Bramantyo menatap tablet di tangannya. Kode deskripsi itu hanya bisa digunakan satu kali. Jika ia mengirim sinyal untuk menghentikan lift Arka, sistem ventilasi di kamar Nadia akan terkunci permanen dan mengisi ruangan dengan gas beracun. Jika ia menetralisir gas, Arka akan jatuh dari lantai 50.
Bramantyo tidak bergerak menuju komputer utama. Ia justru menatap Nadia dengan tatapan yang sangat tenang—tatapan yang belum pernah Nadia lihat sebelumnya. Tatapan seorang pria yang sudah siap melepaskan segalanya.
"Nadia," bisik Bramantyo. "Kau benar. Aku adalah monster yang selalu berusaha mengontrol takdir. Tapi hari ini, aku akan membiarkan takdir mengambil apa yang seharusnya ia ambil dariku."
Bramantyo melemparkan tablet deskripsi itu ke arah Nadia. "Gunakan itu untuk menghentikan lift Arka. Cepat!"
"Lalu bagaimana denganmu?!" teriak Nadia sambil menangkap tablet itu.
Bramantyo tidak menjawab. Ia justru berlari menuju panel ventilasi manual di sudut ruangan. Ia tahu gas itu hanya bisa dihentikan jika seseorang menutup katupnya secara fisik dari dalam saluran yang sempit—tindakan bunuh diri karena ia akan menghirup dosis mematikan secara langsung sebelum katup itu tertutup.
Nadia dengan tangan gemetar memasukkan kode ke tablet. "LIFT STOPPED. FLOOR 2." Arka selamat.
Di saat yang sama, Bramantyo sudah memanjat masuk ke saluran ventilasi. Terdengar suara besi beradu dan desisan gas yang keluar. Nadia berlari menuju saluran itu, mencoba menarik kaki Bramantyo.
"Bram! Keluar! Kita cari jalan lain!"
"Tutup pintunya, Nadia! Jaga Arka!" suara Bramantyo terdengar tercekik.
Tiba-tiba, suara ledakan kecil terdengar dari dalam saluran. Gas berhenti mengalir. Suasana menjadi sunyi senyap. Bramantyo jatuh terkulai keluar dari saluran ventilasi, wajahnya membiru, napasnya tersengal-sengal dan dangkal.
Di tengah kepanikan Nadia mencoba memberikan napas buatan pada Bramantyo, pintu kamar utama terbuka perlahan. Adrian masuk dengan langkah santai, memegang pistol berlapis emas. Ia melihat kakaknya yang sekarat dengan tawa mengejek.
"Wah, wah... sang Naga akhirnya mengorbankan dirinya demi cinta?" Adrian berjongkok di samping tubuh Bramantyo yang lemah. "Sangat puitis, tapi sangat bodoh. Sekarang Arka selamat, tapi dia tidak punya ayah. Dan kau, Nadia... kau akan ikut denganku."
Adrian menjambak rambut Nadia, memaksanya berdiri. Namun, ia tidak menyadari satu hal: Mata Bramantyo yang membiru perlahan terbuka. Dengan sisa tenaga terakhirnya, Bramantyo meraih pisau kecil yang selalu ia sembunyikan di kaus kakinya dan menghujamkannya tepat ke paha Adrian.
"AARRGGHH!" Adrian tersungkur.
Nadia tidak membuang kesempatan. Ia tidak lagi menjadi wanita yang menunggu diselamatkan. Ia meraih vas bunga kristal berat di dekatnya dan menghantamkannya ke kepala Adrian hingga pria itu pingsan bersimbah darah.
Nadia segera menekan tombol darurat cadangan yang terhubung langsung dengan tim medis pribadinya. "Lantai 50! Sekarang! Bawa Arka dari lantai 2 dan selamatkan Bramantyo!"
Tiga jam kemudian, di rumah sakit pribadi milik keluarga Dirgantara. Arka sudah tertidur di pelukan Nadia, tidak tahu betapa dekatnya ia dengan maut. Bramantyo masih di dalam ruang operasi, paru-parunya rusak parah akibat gas saraf tersebut.
Sekretaris pribadi Bramantyo mendekati Nadia dan menyerahkan sebuah amplop cokelat. "Tuan Bramantyo menyiapkan ini minggu lalu, Nyonya. Dia bilang, jika terjadi sesuatu padanya, ini adalah surat terakhir untuk Anda."
Nadia membukanya. Di dalamnya bukan dokumen saham, melainkan surat tulisan tangan yang jujur.
> "Nadia, jika kau membaca ini, mungkin aku sudah tidak ada. Aku tahu aku tidak bisa menghapus dosaku atas bayi kita yang dulu. Tapi ketahuilah, alasan aku memilihmu saat itu bukan karena suksesi, tapi karena di duniaku yang gelap, kaulah satu-satunya cahaya yang membuatku ingin tetap menjadi manusia. Jaga Arka. Jadilah Ratu yang lebih baik daripada aku menjadi Raja."
>
Tiba-tiba, lampu ruang operasi padam. Dokter keluar dengan wajah lelah namun memberikan anggukan kecil. "Dia selamat, Nyonya. Tapi... ada komplikasi. Tuan Bramantyo mengalami kelumpuhan di bagian kaki akibat kerusakan saraf gas tersebut. Dia mungkin tidak akan pernah berjalan lagi."