NovelToon NovelToon
Jejak Janda Di Jantung Duda

Jejak Janda Di Jantung Duda

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Identitas Tersembunyi / Bullying dan Balas Dendam / Duda
Popularitas:275
Nilai: 5
Nama Author: Elena A

Elena hanya ingin menguji. Setelah terbuai kata-kata manis dari seorang duda bernama Rd. Arya Arsya yang memiliki nama asli Panji Asmara. Elena melancarkan ujian kesetiaan kecil, yaitu mengirim foto pribadinya yang tak jujur.

Namun, pengakuan tulusnya disambut dengan tindakan memblokir akun whattsaap, juga akun facebook Elena. Meskipun tindakan memblokir itu bagi Elena sia-sia karena ia tetap tahu setiap postingan dan komentar Panji di media sosial.

Bagi Panji Asmara, ketidakjujuran adalah alarm bahaya yang menyakitkan, karena dipicu oleh trauma masa lalunya yang ditinggalkan oleh istri yang menuduhnya berselingkuh dengan ibu mertua. Ia memilih Ratu Widaningsih Asmara, seorang janda anggun yang taktis dan dewasa, juga seorang dosen sebagai pelabuhan baru.

Mengetahui semua itu, luka Elena berubah menjadi bara dendam yang berkobar. Tapi apakah dendam akan terasa lebih manis dari cinta? Dan bisakah seorang janda meninggalkan jejak pembalasan di jantung duda yang traumatis?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elena A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pulau Tanpa Nama

Suara gedoran di pintu ruang medis beradu dengan raungan sirine kapal yang makin memekakkan telinga. Kapal perang besar itu miring hampir lima belas derajat setelah rudal pertama menghantam dek belakang. Elena berdiri mematung, menatap alat pemicu kecil di tangannya, benda yang bisa mengakhiri segalanya, termasuk sisa-sisa napas digital pria yang dia cintai.

"Nyonya Elena! Buka pintunya! Kita harus ke sekoci sekarang!" teriak Bram dari luar, suaranya bersaing dengan bunyi ledakan lain di kejauhan.

Tapi Elena nggak bergerak. Matanya terpaku pada layar monitor di depannya. Di sana, wajah digital Panji terlihat sedang menderita. Garis-garis kode yang membentuk wajahnya terdistorsi, ditarik-tarik oleh bayangan hitam yang nggak lain adalah virus kesadaran Renata.

"Dek Anin... tolong..." suara Panji terdengar parau, terputus-putus oleh noise statis. "Dia... dia sudah masuk ke protokol nuklir... Dia mau... menghapus semuanya..."

Lalu, layar itu mendadak berubah jadi putih bersih. Wajah Renata muncul dengan senyum yang jauh lebih mengerikan dari sebelumnya. Matanya kosong, hanya berisi barisan angka hijau yang bergerak cepat.

"Elena, Sayang," suara Renata bergema di seluruh ruangan, terdengar sangat manis tapi dinginnya sampai ke sumsum tulang. "Terima kasih sudah membawakan kuncinya. Panji terlalu lemah untuk memegang kekuatan sebesar ini. Tapi aku? Aku akan menciptakan dunia yang baru, di mana nggak ada lagi pengkhianatan, karena nggak akan ada lagi manusia yang tersisa untuk berkhianat."

Elena merasa perutnya mual. "Kamu gila, Renata! Kamu mau membunuh miliaran orang?!"

"Aku hanya sedang melakukan 'format ulang', Elena. Dan kamu... kamu akan menjadi orang pertama yang melihat indahnya cahaya ledakan itu."

Tiba-tiba, pintu medis hancur berantakan. Bukan karena didobrak Bram, tapi karena diledakkan dari luar. Asap mengepul, dan dari balik kabut hitam itu, muncul sosok yang seharusnya sudah mati, Heru.

Setengah wajah Heru hangus terbakar, kulitnya mengerut merah menyeramkan, dan matanya hanya sisa satu. Dia menodongkan pistol tepat ke arah jantung Elena.

"Berikan pemicu itu, wanita jalang!" raung Heru. Suaranya pecah, seperti gesekan amplas pada besi. "Bapak Handoyo memerintahkanku mengambil pemicu itu. Dengan benda itu, kami bisa mengambil alih kendali dari si gila Renata!"

Elena mundur sampai punggungnya membentur meja operasi. "Handoyo masih hidup?"

"Orang seperti dia nggak gampang mati! Sekarang, ayo berikan!"

Elena melihat ke arah monitor lagi. Panji muncul kembali di pojok layar, sangat kecil, seperti sedang terhimpit. "Dek Anin... aktifkan... sekarang... Jangan biarkan dia... memiliki kuncinya..."

"Tapi kalau aku tekan ini, kamu hilang selamanya, Aa!" jerit Elena. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang kotor oleh abu ledakan. "Aku nggak bisa kehilangan kamu lagi!"

"Aku sudah hilang sejak di bunker itu, Dek Anin," bisik Panji, dan kali ini suaranya terdengar sangat mirip dengan Panji yang asli, penuh kelembutan dan kepasrahan. "Ini bukan cinta kalau aku membiarkanmu dan seluruh dunia hancur demi ego digital ini. Bebaskan aku, Dek Anin. Kumohon..."

Heru melangkah maju, jarinya sudah menempel di pelatuk. "Hitungan ketiga! Satu... dua..."

Pada detik itu, emosi Elena meledak. Dia teringat Adrian yang mati demi melindunginya. Dia teringat suaminya yang rela jadi hantu demi menjaganya. Dan sekarang Panji, meminta hal yang paling menyakitkan, kematian kedua di tangan orang yang paling dia sayangi.

"Maafin aku, Aa," bisik Elena lirih.

Elena nggak memberikan pemicu itu ke Heru. Sebaliknya, dia menempelkan alat pemicu itu ke perutnya sendiri, tepat di titik di mana micro-SD Phoenix berada. Alat itu mengeluarkan jarum kecil yang menyuntikkan kode penghancur langsung ke dalam aliran darahnya yang terintegrasi dengan sistem satelit.

"TIDAK!" Heru berteriak dan menarik pelatuknya.

DOR!

Peluru Heru menyerempet bahu Elena, membuatnya terjatuh ke lantai. Tapi sudah terlambat. Lampu indikator di alat pemicu itu berubah dari merah menjadi biru cerah.

Seluruh kapal bergetar hebat. Bukan karena rudal, tapi karena sebuah denyut elektromagnetik (EMP) raksasa terpancar dari tubuh Elena sebagai pusatnya. Semua peralatan elektronik di ruangan itu meledak mengeluarkan percikan api.

Layar monitor besar itu berkedip liar. Wajah Renata menjerit tanpa suara sebelum akhirnya hancur menjadi bintik-bintik cahaya. Wajah Panji menatap Elena untuk terakhir kalinya. Dia nggak tersenyum, tapi tatapannya penuh dengan kedamaian. Dia menggerakkan bibirnya, tanpa suara, tapi Elena tahu apa yang dia katakan, "Aku mencintaimu."

Dan kemudian, suasana benar-benar gelap total.

Kapal perang itu mulai tenggelam dengan cepat. Air laut mulai masuk ke dalam lorong-lorong. Bram berhasil menerobos masuk ke ruang medis dan menemukan Elena tergeletak di lantai, memegangi bahunya yang berdarah. Heru sudah tewas tertimpa reruntuhan plafon saat ledakan EMP tadi.

"Elena! Ayo bangun! Kita harus keluar!" Bram memapah Elena keluar menuju dek.

Di luar, pemandangan sangat kacau. Rudal-rudal di udara mendadak kehilangan navigasi dan jatuh meledak di laut lepas. Sistem Phoenix telah mati total. Hantu digital Panji dan monster digital Renata telah musnah.

Bram membawa Elena ke sebuah sekoci terakhir. Mereka meluncur ke laut tepat saat kapal besar itu terbelah dua dan tenggelam ke dalam kegelapan samudera.

Elena duduk di sekoci, menatap laut yang kini sunyi. Tidak ada lagi suara di kepalanya. Tidak ada lagi denyut panas di perutnya. Dia merasa sangat kosong. Sangat sendirian.

Tiba-tiba, Sari yang ikut di sekoci itu menepuk pundak Elena. "Lihat itu, Elena."

Di ufuk timur, matahari mulai terbit. Cahayanya yang keemasan membelah cakrawala, memberikan warna pada dunia yang hampir saja musnah.

"Semuanya sudah berakhir," bisik Sari.

Namun, Elena merasakan sesuatu di dalam saku jaketnya. Getaran kecil. Sangat lemah.

Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya. Ponsel yang seharusnya mati total karena ledakan EMP tadi. Layarnya retak, tapi menyala redup.

Ada sebuah pesan suara masuk. Tanggal pengirimannya tertera, 10 Tahun yang lalu.

Elena menekan tombol play dengan tangan gemetar.

"Halo, Elena. Ini Adrian. Jika kamu mendengar ini, artinya protokol Phoenix sudah berakhir dan kamu selamat. Maafkan aku atas semua rahasia ini. Tapi ada satu hal yang harus kamu tahu. Kunci yang kamu telan itu... dia tidak hanya menghancurkan sistem. Dia menyalin satu data terakhir ke dalam memori ponsel ini sebelum semuanya hangus. Data itu adalah lokasi di mana dia berada."

Elena mengernyit. "Dia siapa?"

Suara Adrian di rekaman itu terdengar makin berat. "Panji yang asli tidak pernah ada di bunker itu, Elena. Tubuh yang kamu lihat... itu adalah klon biologis yang diciptakan Renata untuk mengelabui sistem. Panji yang asli... dia masih ada di suatu tempat, tertidur dalam statis, menunggu kamu menjemputnya."

Jantung Elena hampir berhenti berdetak. Selama ini dia mencintai siapa? Selama ini siapa yang dia selamatkan?

Elena menatap peta koordinat yang mendadak muncul di layar ponselnya. Koordinat itu menunjuk ke sebuah pulau terpencil di utara Indonesia, sebuah tempat yang dijuluki, "Pulau Tanpa Nama".

Dan di bawah koordinat itu, ada sebuah pesan teks tambahan yang baru saja masuk... tepat saat itu juga.

"Dia belum bangun, Elena. Tapi aku tahu kamu datang. “B."

Elena menoleh ke arah Bram. "Bram... siapa 'B'?"

Bram menatap ponsel Elena, wajahnya mendadak pucat pasi. "B bukan Budi, Elena. B adalah... Bapak Handoyo. Dia sudah di sana lebih dulu."

Di kejauhan, sebuah helikopter hitam muncul dari balik matahari terbit, terbang rendah menuju arah koordinat tersebut. Elena menyadari permainan ini belum berakhir. Dia baru saja membunuh hantu Panji, tapi sekarang dia harus bertaruh nyawa untuk menemukan jiwa Panji yang asli sebelum Handoyo melenyapkannya selamanya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!